Yose tahu jika seharusnya dia tak melakukan hal ini. menerima tawaran dari Lara ketika mengajaknya untuk berangkat ke sekolah bersama pagi ini.
Namun sayangnya mulut Yose dan hatinya tak bisa diajak kompromi hingga akhirnya dia mengiyakan ajakan dari Lara.
"Baik, sepertinya bukan ide yang buruk," ucap Yose tadi ketika mereka masih ada di toko kue neneknya.
Dan saat ini, mereka berdua sedang duduk di bus bagian kursi paling belakang tanpa berbicara sepatah kata pun.
Yose tanpa sengaja melirik ke arah tangan Lara. Ia baru sadar jika tangannya saat ini sedang diperban dan terluka. Dan rasa penasarannya muncul begitu saja, hingga mulutnya bertanya pada wanita tersebut.
"Tangan Anda—apa baik-baik saja?" tanya Yose sambil melihat tangan Lara.
Dengan cepat Lara menyembunyikan tangannya dan Yose tahu jika pertanyaannya itu membuat Lara tidak nyaman.
"Tidak apa-apa," jawab Lara sungkan. "Ini—saya terjatuh kemarin di kamar mandi." Ia tak mungkin mengatakan hal yang sebenarnya pada Yose, kan?
"Oh—semoga saja lukanya cepat sembuh karena itu tangan kanan untuk menulis di papan kan?"
"Iya, semoga saja," sahut Lara.
Kemudian mereka berdua diam lagi. Hening. Dan Yose tak tahu mengapa menjadi gugup duduk di samping wanita tersebut.
Kakinya bahkan tak sengaja goyang karena gugup. Lara yang meliriknya terkekeh dan melirik kaki Yose.
"Sepertinya kaki Anda akan kelelahan sebelum jam olahraga dimulai," ledek Lara.
Yose langsung menekan kedua lutunya dengan tangannya agar tidak membuatnya malu lagi.
"Sepertinya begitu," sahut Yose dengan wajah yang merah.
Lelaki itu berdiri ketika ada seorang bapak-bapak duduk di sebelah Lara dan memperhatikan paha mulus Lara yang saat itu kebetulan mengenakan rok pendek selutut.
"Anda mau ke mana?" tanya Lara.
"Bisakah kita bertukar duduk? Saya tidak bisa terlalu lama duduk di sebelah jendela," jawab Yose dengan tatapan wajah yang aneh.
Lara yang merasa ada yang tidak biasa dengan Yose pun akhirnya menggeser duduknya ke samping.
"Ehemm!" Yose berdeham dan melirik tajam ke arah bapak-bapak yang langsung memalingkan wajahnya.
Jika saja Yose tidak memergokinya tadi, mungkin Lara sudah menjadi objek fantasi menjijikan oleh lelaki tersebut.
"Terima kasih," ucap Lara ketika mereka baru saja turun dari bus.
"Terima kasih untuk apa?" tanya Yose pura-pura tidak tahu. Padahal dia menahan senyumnya saat ini.
"Untuk yang tadi." Lara menurunkan roknya ke bawah, dan wajahnya memerah karena malu.
"Mungkin seharusnya saya harus mengenakan rok yang lebih panjang. Atau mungkin celana panjang agar tidak terjadi hal seperti tadi lagi."
"Benar, sebaiknya begitu."
Lara melirik ke arah Yose, kemudian dia memperhatikan penampilan lelaki yang ada di sampingnya itu tampak ada yang lain.
Dari mulai sepatu dan juga bajunya. Sama sekali berbeda dengan yang ia kenakan kemarin.
Hari ini bajunya terlihat baru dan sangat mahal. Tetapi sangat cocok untuk Yose.
Dia juga mengubah gaya tatanan rambutnya menjadi lebih mirip seperti seorang CEO muda. Rambut yang ia tarik ke belakang dan menyisakan sedikit di bagian depan. Jujur saya, Lara baru sadar kalau lelaki yang ada di sampingnya itu lebih tampan.
Padahal ketika mereka bertemu di toko kue beberapa waktu yang lalu. Yose hanya mengenakan kausnya yang sangat sederhana. Dan juga sepatu kets ala anak muda.
"Anda sepertinya berbeda hari ini," ucap Lara pelan.
"Apakah ini sebuah pujian?" kekeh Yose sambil menatap Lara dari samping.
Kedua pandangan itu saling bertemu untuk beberapa detik hingga kemudian mereka alihkan karena canggung.
Debaran aneh yang ada di jantung Yose sudah mulai tak menentu. Selalu berdebar jika dia berada di samping Lara seperti saat ini.
"Iya, Anda seperti orang lain hari ini. Dan saya baru menyadarinya sekarang."
Yose diam.
"Ini—yang membelikan baju adalah istri saya," ucap Yose tak ingin berbohong.
Gayanya yang keren tak lepas dari sentuhan istrinya yang saat ini masih tidur di atas ranjangnya yang empuk.
"Istri Anda memiliki selera yang sangat bagus," puji Lara.
Lara teringat dengan dirinya sendiri, selama ini dia sama sekali tidak mengurus pakaian suaminya lantaran lelaki yang baru saja memukulnya tadi malam itu tak pernah mau Lara menganggu gaya berpakaiannya.
Ah! Teringat dengan Adrian membuat Lara tanpa sadar menyentuh satu sisi pipinya.
**
Reina sudah terbiasa terbangun dengan makanan enak yang ada di atas meja di dapur setiap pagi. Karena setiap pagi Yose selalu memasakan sarapan untuknya meski ia tak pernah menyuruhnya.
Reina melirik ke arah post it yang tertempel di samping piringnya. Ia tanpa sadar tersenyum membaca tulisan tersebut.
"Aku sudah mencari tahu di internet tentang makanan yang baik untuk ibu hamil muda, jadi makanlah dan jangan makan di luar lagi."
"Bodoh, padahal aku tak pernah menyuruhnya untuk melakukan ini." Reina tersenyum, meski berkata seperti itu tapi dia senang juga mendapatkan perlakuan yang cukup istimewa dari Yose.
"Anggap saja ini untuk membayar pakaian yang aku belikan kemarin," gumam Reina sambil menyuapkan sesendok nasi ke mulutnya.
Setelah selesai sarapan Reina pun akhirnya bersiap untuk mengunjungi Daniel di penjara.
Dia harus ke penjara karena sudah beberapa minggu ini tak berkunjung ke sana. Ia takut kalau Daniel akan menganggapnya telah melupakannya atau apapun itu.
Ketika sampai di sana, Reina entah mengapa menjadi gugup ketika akan mengunjungi Daniel. Apa karena sudah lama tak bertemu dengannya?
"Bagaimana kabarmu?" tanya Daniel dari balik kaca yang menghubugnkan mereka berdua.
"Baik," jawab Reina dengan pandangan mata berkaca-kaca.
"Anak kita? Baik-baik saja kan? Sepertinya perutmu masih kecil ya Reina."
Reina mengelus perutnya sendiri. "Iya, belum terlalu kelihatan, padahal usianya sudah hampir enam minggu."
"Kamu harus banyak makan, agar anak kita sehat."
"Aku banyak makan kok."
"Apa suamimu baik?"
"Tentu, dia juga yang memasakkanku setiap har—" Reina seperti salah bicara, seharusnya dia tidak mengatakan hal itu pada Daniel.
"Syukurlah kalau begitu, aku senang mendengarnya. Apa—kamu menyukainya?" Pertanyaan yang lebih mirip seperti jebakan itu terlontar dari bibir Daniel.
"Tidak, kamu jangan khawatir masalah itu. Aku bisa mengatasi perasaanku."
Daniel tersenyum. "Aku belum pernah melihat suamimu, kuharap suatu hari nanti aku bisa melihatnya."
"Untuk apa? Dia sangat biasa saja. Dia adalah lelaki miskin dan tidak memiliki gaya yang bagus."
Daniel terkekeh.
"Entah mengapa aku iri mendengar kamu mengatakan hal itu."
Reina mengerutkan keningnya dalam. Bingung dengan kalimat Daniel barusan.
"Sepertinya kamu sangat mengenalnya."
"Tidak, Daniel. Jangan berkata seperti itu. Aku dan dia—"
"Kuharap kamu bisa menungguku selama lima tahun. Aku di sini belum ada satu tahun, tapi kenapa rasanya sangat lama sekali ya," desah Daniel.
"Kamu tak perlu cemas, Daniel. Aku hanya mencintaimu."
"Kuharap itu benar Reina."