Lara pergi ke toko kue nenek Yose setelah pulang sekolah. Entah mengapa itu sudah menjadi rutinitas Lara akhir-akhir ini.
Namun hari ini dia datang karena merasa bersalah pada nenek Yose sebab tidak menghabiskan kue yang ia buat kemarin.
"Nenek, aku datang!" sapa Lara ketika dia berhasil membuka toko kue nenek Yose.
Namun di toko itu sepi, bahkan dia mencium bau gosong yang berasal dari arah dapur.
Tanpa berpikir panjang Lara langsung berlari ke arah dapur dan menemukan nenek Yose sedang tergeletak di atas lantai dapur.
"Nenek!" pekik Lara panik.
Dia langsung menghubungi ambulans pada saat itu juga dan membawanya ke rumah sakit.
Ketika di rumah sakit Lara terus khawatir karena takut jika terjadi apa-apa dengan nenek Yose tersebut.
Lara merogoh tasnya dan menghubungi Yose. Yose harus tahu apa yang sedang terjadi dengan neneknya saat ini. Dan akhirnya Lara gagal untuk menghindar dari lelaki tersebut.
Karena setelah Lara menghubungi Yose, lelaki itu datang tak lama kemudian dengan wajah tak kalah panik. Namun dia datang sendirian tidak bersama dengan istrinya.
"Bagaimana keadaan nenek?" tanya Yose pada Lara.
"Nenek sedang ditangani oleh dokter, semoga saja tidak apa-apa," jawab Lara.
Dokter muncul sesaat kemudian dan mengatakan pada Yose kalau neneknya hanya kelelahan dan membutuhkan istirahat ekstra karena umurnya yang sudah tidak muda lagi.
"Lebih baik kegiatannya dikurangi karena nenek Anda kelelahan hingga jatuh pingsan seperti tadi," ucap dokter yang baru saja menangani nenek Yose.
"Baik Dok."
Yose merasa bersalah pada neneknya, karena meskipun dia sudah bekerja nyatanya tak bisa membuat neneknya untuk diam di rumah saja seperti saat ini.
Dia harus pingsan karena kelelahan bekerja.
Yose masuk ke dalam ruang perawatan neneknya disusul oleh Lara. Lelaki itu langsung duduk di samping brankar di mana neneknya berbaring.
Ia mencium tangan neneknya karena merasa dirinya tidak bisa menjadi cucu yang baik untuknya.
"Maafkan Yose, Nek." Yose berkata dengan lirih, bahkan ia menangis setelah melihat neneknya berbaring tidak berdaya seperti ini.
Lara melangkah pelan kemudian dia menepuk bahu Yose untuk menguatkan lelaki itu.
"Terima kasih karena sudah membantu nenek saya, Bu Lara," ucap Yose.
"Tidak apa-apa, tapi sepertinya kita harus membereskan toko nenek Anda karena tadi masih berantakan."
Lara jadi teringat, kalau tadi dia telat datang sebentar saja mungkin toko itu akan hangus terbakar.
"Iya, besok saya akan mengurusnya. Lebih baik Bu Lara kembali ke rumah karena pasti suami Anda mencari Anda saat ini."
"Baiklah," sahut Lara sedikit kecewa.
Anehnya dia ingin berlama-lama dengan lelaki itu saat ini. Ingin menguatkan lelaki itu setelah melihat betapa putus asanya dia menatap wajah neneknya.
Dua puluh menit kemudian, Yose melihat sebuah tangan terulur dengan membawa sekaleng kopi untuknya.
"Ini untuk Anda," ucap Lara membuat Yose terkejut.
"Anda—belum pulang?" tanyanya.
"Belum."
Yose menerima uluran kopi tersebut dan mengucapkan terima kasih pada Yose.
"Saya ingin mengatakan pada Anda, bahwa saya tidak marah pada Anda. Saya hanya bingung dengan perasaan saya sendiri, jadi jangan khawatir." Lara pergi setelah mengatakan itu pada Yose.
Sementara lelaki itu, setelah mendengarkan ungkapan hati dari Lara, ia mencerna kalimat tersebut
"Bingung dengan perasaannya?" tanya Yose pada dirinya sendiri.
"Tunggu dulu—jangan-jangan—" Yose melirik ke arah pintu keluar, tapi sudah tak ada bayangan Lara di sana.
***
"Tunggu dulu!" panggil Yose, ia kemudian berlari mengejar Lara yang berhenti ketika mendengar suara dari Yose.
"Ada apa?" tanya Lara, ia memaksakan senyumnya pada lelaki yang tengah berdiri dengan napas terengah-engah itu.
"Besok—apa Anda bisa membantu saya untuk membereskan toko nenek saya? Mungkin terkesan tidak sopan tapi—"
"Saya akan membantu Anda besok," potong Lara dan membuat Yose tersenyum lega.
Sepertinya ada kesalahpahaman antara mereka berdua saat ini. Dan besok, Yose berniat akan meluruskannya dan menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi.
Ya, sepertinya itu akan lebih baik.
**
Reina terbangun dari tidurnya. Ia terhempas dari mimpi buruknya malam itu. Ketika dia melirik jam di dinding, waktu sudah menunjukkan pukul satu malam. Dan Yose yang tadi pamit hendak ke rumah sakit belum kembali sampai sekarang.
Aneh memang—ketika Reina kemarin tidur ditemani oleh Yose dia sama sekali tidak mengalami mimpi buruk itu. Tapi setelah dia tidur sendirian lagi, dia terus dihantui mimpi buruk yang membuat dirinya selama ini terus merasa ketakutan.
Darah yang berada di tangannya, dan raut wajah lelaki yang hendak memperkosanya saat itu. Terus terbayang di kepala Reina.
Suara deru mesin mobil terdengar masuk ke dalam pekarangan rumah. Reina gegas turun dan keluar dari kamarnya.
Dia pasti Yose, lelaki itu pasti sudah pulang saat ini, pikir Reina.
Perasaan Reina sedikit membaik ketika tahu jika itu adalah Yose. Lelaki itu membuka pintu dan melihat Reina sedang duduk dengan ekspresi wajah datarnya.
"Kamu belum tidur?" tanya Yose.
"Seperti yang kamu lihat, aku tak bisa tidur karena menunggumu," jawab Reina.
"Kamu menungguku?" Yose berdiri di depan kulkas dan meminum air putih yang ada di dalam botol.
"Aku takut kalau ada maling masuk, makanya aku tak bisa tidur," ucap Reina asal. Dia masih gengsi untuk mengatakan kalau dirinya baru saja mendapatkan mimpi buruk.
"Bagaimana dengan nenekmu?" Kali ini Reina bertanya dan Yose tidak menyangka jika wanita itu penasaran dengan kabar neneknya.
Karena biasanya wanita itu tidak peduli atau bahkan tidak mau tahu dengan keluarga satu-satunya yang Yose miliki.
Wajar sih, apalagi mereka menikah bukan karena cinta melainkan karena kebutuhan masing-masing. Sama seperti yang Gavin dulu katakan, hubungan mereka seperti simbiosis mutualisme.
"Nenekku sudah baik-baik saja. Temanku Gavin membantuku untuk menjaganya. Oh ya, aku akan tidur di sofa malam ini," kata Yose dia duduk di seberang Reina.
"Tidurlah di kamar," kata Reina pelan.
Yose menatap wajah Reina dan menganggap jika kalimatnya barusan adalah karena telinganya salah dengar.
Yose malah berbaring di atas kasur alih-alih pergi ke kamar bersama dengan Reina malam itu.
"Kamu tuli ya?!" bentak Reina. Membuat Yose tersentak kemudian bangun lagi. "Tidurlah di kamar malam ini?"
"Tunggu dulu, bukankah kamu tidak suka kalau aku tidur di sampingmu?"
Yah, Reina memang tidak suka jika Yose tidur di dalam kamar bersama dengannya.
"Karena kamu takut aku berbuat macam-macam padamu," lanjut Yose ketika Reina hanya diam saja.
"Tidak, aku tidak akan berpikir seperti itu lagi," sahut Reina. "Aku mimpi buruk dan aku tak bisa tidur kalau terus bermimpi seperti itu."
Membayangkannya saja sudah membuat Reina bergidik ngeri. Yose yang mengamati wajah dan ekspresi Reina penasaran sebenarnya mimpi apa yang Reina alami, mengapa sampai membuat wanita itu menyerah dan menyuruh dirinya tidur di dalam kamarnya.
"Mimpi hantu?" tanya Yose.
"Lebih buruk dari itu." Reina berdiri. "Masuklah ke kamar tapi kamu harus mandi dulu sebelum naik ke atas kasurku."