Makan sendiri, hanya membuat Reina bertambah sedih saja. Dia malah mengingat kejadian yang seharusnya tidak ia ingat-ingat lagi. kejadian di mana membuat malamnya menjadi mimpi buruk setiap hari.
"Sebaiknya aku makan lalu tidur." Reina memaksakan diri untuk menelan makanannya, meski dia tak ingin makan.
Dia harus bangkit dan kuat. Tak bisa lemah karena masalah sepele yang ia sendiri tak mengerti. Mengapa dia kecewa ketika Yose lebih memilih untuk pergi?
**
Hujan semakin deras—tapi keinginan Yose untuk menemui Lara tak surut malam itu.
Perasaannya sudah tak enak ketika mendengar Lara menangis di ujung telepon. Dia menduga jika di balik menangisnya Lara karena masalah suaminya.
Setengah jam lewat sedikit, Yose sampai di sebuah kafe yang buka dua puluh empat jam. Dia gegas masuk dan mencari bayangan Lara.
Tak lama dia menemukan wanita itu sedang duduk dan memainkan gelasnya yang sudah kosong.
"Maaf, aku terlambat," kata Yose dengan terengah.
"Apa aku menganggumu?" tanya Lara.
"Tidak," jawabnya mantap.
"Bagaimana dengan istrimu? Apa dia sudah membaik?"
"Hmm, dia sudah kumasakkan makanan sebelum aku ke sini." Yose menjawab setiap pertanyaan yang diajukan oleh Lara. Dia tak ingin membuat perasaan Lara menjadi lebih buruk karena malam itu.
"Kamu kenapa? Apa—kamu ada masalah dengan suamimu?"
Lara diam dan hanya menatap Yose dengan pandangan sendu. Lalu dia tersenyum ketika melihat wajah Yose yang begitu mencemaskannya.
"Aku tak pernah melihat wajah suamiku sendiri cemas seperti ini," kata Lara. Ia tersenyum. "Dia tidak mengizinkanku untuk ikut study tour nanti karena harus menginap," lanjutnya.
Yose duduk setelah memesan minuman dua cokelat hangat untuk dirinya dan Lara. Minuman hangat memang sangat cocok untuk susasa dan cuaca yang seperti ini.
"Lalu?"
"Dia memarahiku, dia menamparku karena aku tak mau mengikuti apa katanya."
"Men—menampar katamu?"
Lara mengangguk seakan hal itu lumrah dilakukan oleh suaminya.
"Dan kamu tidak melawannya?"
"Untuk apa? Toh aku juga yang akan kalah."
Yose membuang napasnya dengan kasar. Seumur-umur dia tak pernah berbuat kasar dengan wanita karena neneknya mengajarkan padanya untuk bersikap lembut pada wanita.
"Makanya aku ingin bertemu denganmu."
Yose diam.
"Karena setelah bertemu denganmu, perasaanku mulai membaik."
"Syukurlah kalau begitu."
Lalu keduanya mengobrol di kafe tersebut sampai larut. Karena suami Lara pasti sudah ambruk setelah mabuk, pasti dia tak akan tahu kalau istrinya sedang keluar saat ini.
Lara sudah hafal dengan tabiat buruk suaminya itu. sampai dia bersedia untuk diantarkan oleh Yose dengan mobil Reina.
"Masuklah, kupikir perasaanmu sudah mulai membaik," ucap Yose. Tadinya Lara tak ingin pulang karena malas bertemu dengan suaminya.
Tapi karena paksaan dari Yose akhirnya wanita itu mau juga untuk pulang ke rumah. Sebab bisa berbuntut panjang jika Lara masih dengannya sampai pagi.
Belum lagi, Yose masih ada Reina yang sedang tidak bagus kondisinya di rumah.
"Kamu—hati-hati di jalan," ucap Lara sebelum turun.
"Baiklah."
Lara turun dengan malas. Sebenarnya dia masih ingin berlama-lama dengan Yose. Dia bahkan tak akan bosan jika bersama dengan lelaki itu sampai berhari-hari, karena hanya dengan Yose dirinya merasa sangat nyaman.
Lara bergerak menuju pintu rumahnya, rumah yang lebih mirip seperti neraka baginya.
Dan ketika masuk—pemandangan yang sudah ia duga muncul. Di mana ada banyak pecahan piring dan juga botol minuman milik Adrian.
"Aku tak akan merapikannya atau membereskannya, aku sudah lelah denganmu. Dan aku ingin tidur."
Lara melewati Adrian yang tangannya menggantung di atas sofa dengan kepala yang ada di lantai.
Ia akan tidur seperti itu sampai pagi. Dan ketika badannya mulai pegal, maka dia akan menyalahkan Lara.
**
Yose masuk ke dalam rumah dengan lampu yang masih menyala. Meja makan sudah bersih hanya saja piring kotor bekas Reina masih ada di atas wastafel.
Dia pun langsung mencuci agar Reina tidak perlu mengerjakannya. Bahkan Yose juga berinisiatif untuk membersihkan ruang tamu dan ruang keluarga yang kotor.
Lalu setelah selesai, dia masuk ke dalam kamar Reina. Wanita itu sudah tidur lelap tanpa selimut. Yose bergerak mendekati Reina kemudian menyelimuti wanita itu dengan selimut yang ada di bawah kakinya.
Namun ketika Reina bergerak, Yose terkejut. Tetapi Reina tidak terbangun, dia hanya merubah posisi tidurnya.
Yose duduk di tepi ranjang, kemudian menatap wajah wanita itu. lagi-lagi dia terkejut ketika melihat mata Reina terbuka tiba-tiba.
Yose kemudian berdiri karena takut.
"Kamu sudah pulang?" tanya Reina.
"Hmm—baru saja."
"Aku akan mandi," lanjut Yose lagi.
Reina dengan matanya yang setengah berat menatap Yose masuk ke dalam kamar mandi. Lalu matanya kembali tertutup dan kembali ke alam mimpinya.
Setidaknya dia tenang karena Yose sudah pulang malam itu. dalam tidurnya Reina bahkan tersenyum.
Yose keluar setelah beberapa menit dengan rambut yang basah. Dia mengeringkannya sebentar kemudian mengenakan bajunya.
Ia lalu duduk di samping Reina yang sudah tidur lagi. Jam sudah jam dua belas lewat, ternyata dia bersama dengan Lara menghabiskan waktu selama tiga jam lebih.
Pikiran Yose kini berkelana ke mana-mana, memikirkan Reina. Lalu … lamunannya terhempas ketika dia merasakan kalau pangkuannya terasa berat.
Ketika dia menatap ke bawah, ternyata kepala Reina sudah ada di sana tanpa sadar.
Yose bingung harus berbuat apa, ia tak bisa melakukan hal yang ingin dia lakukan. Apalagi wanita itu adalah Reina.
"Bisakah kamu mengusap kepalaku sampai pagi?" tanya Reina.
Mata Yose melebar, kemudian dia membelai kepala Reina dengan lembut. Reina terus bergumam, tapi Yose yakin jika itu bukanlah umpatan.
"Rasanya nyaman sekali." Kalimat itu terdengar paling jelas di antara gumaman Reina yang lain.
Yose tersenyum tapi dia tak membelai kepala Reina sampai pagi, karena setelah jam dua. Dia ketiduran dengan posisi duduk seperti itu.
Reina yang membuka matanya, dapat melihat wajah Yose dengan jelas.
Mata, hidung dan yang yang terakhir adalah bibirnya.
"Kenapa kamu menuruti semua perintahku?" tanya Reina pelan. "Apa karena uang? Kasihan? Atau takut padaku?"
Reina lalu memalingkan wajahnya. Menatap kedua kaki Yose. Kepalanya masih ada di atas paha lelaki itu, dan entah mengapa tiap kali dia bersama dengan Yose. Reina tak pernah bermimpi buruk lagi.
"Sepertinya kamu seperti dream catcher," kekeh Reina.