Jam sembilan, Reina melirik jam di dinding kemudian bersiap pergi dengan Indra menuju pasar daging untuk mendapatkan supplier daging yang baru untuk restoran mereka.
"Jadi pergi?" tanya Indra, dia membuka pintu ruangan Reina dan melihat wanita itu sudah berdiri.
Hubungan keduanya sebenarnya adalah teman. Tetapi terkadang Indra membatasi jarak mereka berdua di depan karyawan lain agar tidak menimbulkan kesalahpahaman.
"Jauh apa dekat?" tanya Reina. Dia meraih tasnya kemudian merapikan rambutnya sekali lagi.
"Uhmm—lumayan sih, kenapa? Mabuk di perjalanan?"
"Bukan, akhir-akhir ini aku lebih suka menghabiskan waktu di kasur, apa karena bayi di dalam kandunganku, ya?"
Indra tersenyum, kemudian membiarkan pintu itu terbuka untuk temannya yang juga atasannya. Setelah Reina keluar dari ruangannya, Indra menutupnya dengan berhati-hati.
Ia menuruni undakan tangga yang terbuat dari kayu itu di sisi Reina sambil melihat keadaan temannya tersebut.
"Aku bukan orang tua, jadi jangan seperti ini," gumam Reina.
Masih jam sembilan, restoran belum buka. Mereka akan buka jam sebelas siang ketika jam makan siang tiba.
Lalu tutup ketika jam sepuluh malam. Mungkin beberapa kali melakukan lembur jika ada pelanggan dadakan yang ingin makan sampai jam sebelas malam, tapi melebihi jam itu restoran tak mau menerima pesanan lagi.
Indra berlari ke arah mobil inventaris restoran, membuka pintu untuk Reina lalu setelahnya dia masuk ke dalam mobil. Ia yang akan mengendarai mobil tersebut karena yang tahu tempatnya adalah Indra. Lagipula akan tampak aneh jika menyuruh Reina yang menyupir.
"Aku sudah mengingatkanmu ya, kalau di sana pasti akan bau amis," ucap Indra.
"Oh ya, daging babinya bagaimana? Kudengar stok juga habis, apa supplier daging babi kita menaikkan harganya juga?" Bukannya menanggapi pernyataan dari Indra tetapi malah mengalihkan pembicaraan.
"Tidak, mungkin memang harga daging sapi memang lagi naik. Tapi hanya oknum mereka yang menaikkannya sangat tinggi." Indra melirik Reina yang asik dengan tabletnya, dia mencari-cari perabotan untuk restorannya nanti.
"Aku ingin mendekor ulang restoranku," desah Reina. Dia tampak asik melihat chochin dan andon, penerangan yang terbuat dari kertas.
"Sepertinya itu bawaan bayi ya," kekeh Indra. "Tapi kalau memang bagus untuk dekor restoran kenapa tidak kita coba saja."
Reina senang ketika mendengar temannya setuju dengan idenya untuk memperbaharui desain restorannya. Semakin indah restorannya mungkin banyak pelanggan yang banyak berkunjung ke sana.
Apalagi sekarang banyak anak muda yang menyukai tempat makan yang Instagramable.
"Ah, aku tak sabar ingin melihatnya nanti," gumam Reina senang.
**
"Pak! Arini kakinya terkilir!" seru salah satu murid Yose. Saat itu Yose sedang melihat murid lelakinya bermain basket, karena saat itu dia tengah mengajar pelajaran olahraga.
Yose menoleh kemudian melihat Arini sedang merintih kesakitan di ujung lapangan.
Ia langsung berlari kemudian menghampiri Arini yang katanya terjatuh dari gawang. Dia memang sangat hobi melakukan hal berbahaya seperti saat ini, dia memanjat gawang dan belum sampai di atas tubuhnya terjatuh di atas rumput lapangan.
Yose memperhatikan kaki Arini, kemudian ia segera menggendong muridnya tersebut di punggungnya.
Namun tanpa Yose ketahui Arini sedang tersenyum dan mengacungkan jempol pada teman yang memberi tahu Yose tadi.
"Kita ke UKS sekarang, kamu tenang saja," ucap Yose panik. Dia akan merasa sangat bersalah kalau sampai terjadi apa-apa pada Arini.
Dia akan dianggap lalai karena tidak memperhatikan muridnya.
Dan itu benar terjadi, siangnya ibu Arini datang ke sekolah marah-marah karena menilai Yose tidak becus mengurus muridnya.
Ia dimarahi oleh ibu Arini di depan guru-guru lainnya di ruang guru. Yose sangat malu, apalagi Lara melihat hal tersebut.
"Bapak bisa tidak jadi guru! Kalau tidak bisa lebih baik berhenti daripada nanti banyak korban murid yang lainnya!" bentak ibu Arini.
Kepala sekolah yang mendengar keributan tersebut langsung keluar. Dia membawa masuk ibu Arini dan Yose masuk ke dalam ruangannya. Dan membicarakannya di dalam.
Yose diam saja ketika ibu Arini terus menyalahkannya. Bahkan dia tak bisa melawan karena ibu Arini sangat bawel dan tak bisa dilawan.
"Begini Bu, karena Arini sudah diperiksa—dan keadaannya tidak parah lebih baik ibu tenang saja. Dan jangan membuat keributan seperti tadi," ucap kepala sekolah mencoba untuk menenangkan.
"Anda bisa mengatakan hal itu karena bukan anak Anda yang mengalami kan?!" Kepala sekolah langsung terkejut karena dia ikut di salahkan oleh ibu Arini.
"Maafkan saya, saya akan bertanggung jawab—"
"Bertanggungjawab apa?! Anda tahu kan kalau Arini itu seorang ballerina?"
Yose menggelengkan kepalanya. Namun sesaat kemudian, suara menggelegar memenuhi ruangan kepala sekolah.
"Memangnya itu semua sepenuhnya salah suami saya?!" Reina tampak marah, dia langsung ke sekolah ketika tadi mendapatkan kabar dari Yose jika dia mengalami hal tersebut.
"Anak ibu saja yang tak bisa diam, kenapa juga dia harus memanjat gawang, memangnya suami saya yang menyuruhnya?! Memangnya anak ibu monyet manjat di gawang?" tanya Reina.
Kepala sekolah pusing mendadak. Keributan besar terjadi di ruangan tersebut.
Lara yang melihat Reina sedang membela Yose merasa kalau dirinya seperti tak ada apa-apanya dibandingkan dengan wanita yang berani itu.
"Kaki anak ibu patah? Atau cacat? Tidak kan?"
"Lho kok Anda jadi menyumpahi anak saya seperti itu?!" Ibu Arini tak terima anaknya dikatai seperti itu oleh Reina.
"Apa perlu saya bawa kasus ini ke pengadilan?" kata Reina asal. "Lalu saya meminta detektif hanya untuk menyelidiki kasus ini, untuk mengetahui siapa yang salah sepenuhnya?" tanya Reina dengan berani.
Ibu Arini berdeham, dia benar-benar tak bisa berkata-kata dan melawan Reina.
"Dasar penyihir," gumam Ibu Arini kemudian pergi dari ruangan kepala sekolah tersebut.
Lutut Yose melemah, pun dengan kepala sekolah.
"Kenapa kamu tidak melawan? Memangnya itu salah kamu?" tanya Reina tidak terima.
"Aku—aku juga tidak tahu."
"Jangan mau ditindas orang lain," gerutu Reina. Ia menyapa kepala sekolah kemudian meminta waktunya untuk meminjam Yose beberapa saat.
"Kamu—bukannya sedang mencari supplier? Kenapa bisa sampai di sini? Pekerjaan kamu sudah selesai?" tanya Yose.
"Aku langsung ke sini begitu tahu kamu dapat masalah."
Yose membulatkan matanya. "Heh?"
"Ah sudahlah, aku lapar. Dan ingin makan," ucap Reina.
Ia melihat Lara diam-diam memperhatikan mereka berdua dari kejauhan. Reina sengaja menempel pada Yose agar Lara cemburu.
"Kamu belum makan?" tanya Yose.
"Mana mungkin aku bisa makan kalau mendengar kamu dapat masalah."
"Oke, kalau begitu kita makan di kantin. Aku akan membelikanmu makanan enak."
Reina mengulum senyumnya. Ia meraih ponselnya kemudian menghubungi Indra.
"Ndra, kamu cari makan di luar ya. Aku mau makan dengan suamiku di kantin."
"Oke kalau begitu," jawab Indra.
Yose melirik ke arah Reina, dia tak tahu kalau wanita itu akan melakukan hal tersebut padanya. Membela dan marah-marah pada ibu yang bahkan tak bisa ia tangani.
"Aku tahu kamu lemah pada wanita, tapi setidaknya kalau kamu memang tak salah jangan biarkan harga diri kamu diinjak-injak seperti tadi," ucap Reina.
"Hanya aku yang boleh semena-mena padamu, mengerti?!" lanjut Reina.