Reina terbangun dari tidurnya ketika terdengar suara berisik masuk ke dalam telinganya.
Ketika ia melirik, rupanya sudah jam sembilan pagi dan pasti staff restoran bagian dapur sudah datang pagi ini.
"Tidurku nyenyak sekali," gumam Reina. Dia lantas duduk dan memandang ke arah jendela. Tirai berwarna lilac itu sudah terbuka, padahal tadi ketika dia masuk ke dalam sana tirai tersebut masih tertutup rapat.
"Sudah bangun?" tanya Indra ketika dia masuk ke dalam ruangan. Membawakan cokelat hangat yang mengepulkan asap yang menggoda.
"Kamu yang membukanya?" Reina melirik ke arah tirai.
"Iya, kupikir sudah waktunya kamu harus bangun. Kenapa tidur di sini? Apa ada masalah dengan suamimu?"
"Kupikir tebakanmu tidak terlau salah, maksudku. Bisa jadi," jawab Reina dan menerima cokelat panas buatan dari Indra.
Indra kemudian duduk di depan Reina dan memandang wanita itu. sampai Reina salah tingkah dan menatap ke arah lain.
"Sepertinya kamu banyak berubah," ucap Indra pelan.
"Berubah? Apanya? Wajahku? Tubuhku? Ya, karena aku hamil makanya aku berubah."
"Bukan," sambar Indra.
"Sikapmu."
Reine tersenyum.
"Dan sekarang kamu sudah bisa tersenyum, apa lelaki itu yang mengubahmu?"
"Siapa? Suamiku? Mana mungkin."
Indra menggedikkan pundaknya. "Who know's, Reina. Tapi aku merasa kamu seperti itu. dan kamu sekarang sudah bisa mengontrol emosi kamu tidak seperti dulu."
"Apa itu artinya bagus?"
"Hmm bagus sekali." Indra kemudian berdiri. "Aku akan kembali ke anak-anak, kalau kamu masih butuh istirahat pulang saja ke rumah. Karena aku masih bisa mengatasinya. Restoran baik-baik saja sejauh ini."
"Aku bosan di rumah," gumam Reina sambil memandang ke mana Indra pergi dan tak mendengar kalimat terakhir Reina.
Ya, dia bosan. Sejak dia tahu kalau Yose ada sesuatu dengan Lara, rekan satu pekerjaannya.
Herannya, padahal dia bisa saja menyuruh Yose mengusirnya. Tetapi kenapa tak dia lakukan?
Apa Reina sudah mulai lemah pada lelaki itu? Sampai dia tak bisa mengusir Lara yang jelas bukan siapa-siapa.
Dan akhirnya, karena perasaannya mulai tak enak. Reina menghubungi Yose.
Cukup lama sampai lelaki itu mengangkat telepon darinya.
"Iya, ada apa?" tanya Yose. Terdengar suara berisik. Sepertinya dia sudah sampai di sekolahan.
"Apa wanita itu sudah pulang?"
"Hmm, sudah."
"Kamu mengantarnya?"
Diam. Yose tak bisa menjawabnya.
"Kamu mengantarnya?" tanya Reina mengulang.
"Iya, aku mengantarnya tadi."
"Bagus."
KLEK
Reina memutus sambungannya secara sepihak, membuat Yose yang ada di ujung telepon terheran-terheran.
Tadi … usai mereka melakukan hal yang tak seharusnya dilakukan itu. Yose langsung bergegas masuk ke dalam kamar mandi dan membersihkan dirinya. Sementara Lara menunggu Yose di ruang tamu.
Lara melihat sebuah foto pernikahan yang menggantung di ruang tamu. Keduanya tampak serasi meskipun pernikahan mereka hanyalah di atas kontrak.
Lara mendekati foto tersebut dan melihatnya secara dekat. Dia dapat melihat kalau Reina memang cantik, sangat cantik malah. Semua apa yang wanita inginkan didapat oleh wanita itu, termasuk Yose meski dia harus membayarnya dengan uang.
Lara tersenyum ketika melihat foto Yose yang mengenakan jas berwarna hitam. Rambutnya ditata ke belakang, berbeda dengan biasanya. Yang bisa terbang ketika ada angin menerpanya.
Tanpa sadar, tangannya mengelus wajah Yose. Lara rupanya sudah terjatuh dalam hati Yose. Dia sudah mulai luluh. Dan mungkin benar-benar mencintainya.
"Aku sudah selesai, mau berangkat kapan? Aku akan mengantarmu," kata Yose.
"Hmm, sekarang saja. Tapi sepertinya aku tidak masuk ke sekolah dulu."
"Karena wajahmu?"
"Iya, aku tak mau ada yang menggunjing masalah wajahku ini. meski mereka sebenarnya sudah tahu."
Yose tertegun, kemudian menangkup kedua sisi wajah Lara. Lalu dengan kecupan kecil, dia menghujani di kening Lara kemudian puncak hidung kemudian bibir.
"Bukankah ini sangat gila?" tanya Lara sambil tertawa.
"Iya benar, aku tergila-gila denganmu."
"Jangan berkata seperti itu, bagaimana kalau sampai ada orang yang dengar?"
Yose tersenyum, dan meraih tangan Lara. Mengenggamnya erat dan keluar bersama dari rumah itu.
Namun ketika mereka melangkahkan satu langkah kakinya di depan rumah. Tangan Lara langsung ia tarik. Tak ingin ada yang tahu hubungan mereka terlebih dahulu.
"Aku akan duluan kalau begitu," kata Yose meninggalkan Lara di belakangnya.
Lara mengangguk, dan menatap punggung lelaki tersebut.
Rasanya memang gila, mengapa dia malah nyaman dan terjatuh ke dalam pelukan lelaki yang sudah beristri itu? padahal ada Galih yang masih single dan menyukainya, dan akan membantunya untuk keluar dari cengkeraman suaminya, Adrian.
Namun kembali lagi, semuanya tergantung pada hati. Tak akan ada yang tahu ke mana hati itu akan terjatuh dan berlabuh. Dan Lara pun tak akan menyangka jika ternyata hatinya lebih memilih Yose yang menyelamatkannya dari lelaki kasar yang bernama Adrian.
Ketika sudah sampai di halte bus, Lara duduk di samping Yose. Diam-diam lelaki itu mengenggam tangan Lara, tapi ditepisnya pelan.
"Kenapa?" bisik Yose.
"Jangan sekarang," balasnya dengan berbisik.
"Lalu kapan?"
"Tadi kan sudah," kekeh Lara.
Dan hanya dengan lelaki itu, dia bisa tertawa dan terus tersenyum seperti ini.
Sementara itu, Adrian yang menunggu Lara di rumah uring-uringan karena tidak mendapatkan bayangan istrinya di dalam rumah.
Lara salah memperhitungkan, seharusnya dia pulang lebih awal sebelum Adrian bangun.
Dia mencari Lara dan memanggil wanita itu, tapi tak ada sahutan suara dari istrinya.
"Lara! Di mana kamu!" seru Adrian semakin marah karena rumah semalaman dalam keadaan tidak dikunci.
"Kabur ke mana dia," gumam Adrian.
**
Lara berdiri ketika sudah tiba di halte dekat rumahnya. namun tangannya diraih oleh Yose karena lelaki itu ingin mengantarkannya.
"Jangan, aku tak mau kamu kena masalah."
Yose menatap Lara sendu.
"Kamu yakin tidak apa-apa? Hubungi aku kalau kamu diperlakukan kasar oleh suamimu."
"Aku menghapus nomormu untuk sementara waktu."
"Kenapa?"
"Aku tak mau kita ketahuan." Bus berhenti dan Lara buru-buru untuk lekas turun. "Sampai nanti," ucapnya sebelum dia benar-benar turun dari bus.
Yose menghela napasnya, dia merasa tidak enak ketika melihat perempuan itu turun dan melambai ke arahnya ketika sudah berdiri di halte.
"Semoga tidak terjadi apa-apa."
**
BRUAAK!
Seluruh barang yang ada di atas meja terlempar ke atas lantai tepat ketika Lara masuk ke dalam rumahnya.
Dia melihat Adrian dalam keadaan seperti orang gila lagi saat ini.
Mencoba mengabaikan, Lara langsung masuk ke dalam kamar, tapi tangannya malah diraih kasar oleh Adrian.
"Lepaskan, aku tak mau bertengkar di sekarang," geram Lara menahan kesal.
"Kamu habis dari mana? Kamu pasti dari rumah lelaki lain kan?"
"Bukan urusanmu."
"Urusanku, karena kamu adalah istriku!!!" sentak Adrian marah.
Lara berdecih dan menatap tajam pada Adrian. "Aku istrimu, atau samsak tinju bagimu?"