Masih pagi saja keadaan Reina sudah memburuk. Entah apa karena kandungannya atau jawaban Yose yang membuatnya tak puas dan senang.
Namun pagi itu Reina benar-benar tak ingin sarapan pagi dengan Yose.
"Kamu tak sarapan pagi ini?" tanya Yose ketika dia sudah menata makanan di atas meja.
Reina mengabaikan Yose dan berjalan melewatinya untuk mengambil air putih.
"Makan saja dengan wanita itu," desis Reina datar. Dia kemudian masuk kembali ke dalam kamar dan menarik selimutnya.
Dia pemilik restoran—tak wajib pergi ke sana jika tidak mendesak, jadi untuk hari ini dia ingin malas-malasan di rumah. Ya, sepertinya itu lebih baik daripada pergi ke restoran dan membuat suasana di sana menjadi buruk.
Lama berada di kamar, Reina melihat Yose masuk dan meraih handuk. Dia langsung masuk ke dalam kamar mandi tanpa mengatakan apapun.
Mata Reina mengerjap. Dia ingin disapa oleh Yose. Tapi dia juga benci ketika lelaki itu bicara.
"Ndra, aku tidak akan ke restoran hari ini," ucap Reina ketika dia meraih ponselnya.
"Kamu mau ke mana?" tanya Indra di ujung telepon.
"Aku mau main dengan teman."
"Jangan aneh-aneh, ingat kandunganmu."
"Hmm, ya. Bahkan suamiku sendiri tidak sebawel kamu."
Reina terkikik dan saat itulah Yose keluar dan menutup kembali pintu kamar mandi. Dia melirik Reina tapi lalu memalingkan wajahnya.
Yose benar-benar tak mau membuat masalah dengan wanita itu untuk sementara waktu. Ya, alasannya sangat jelas kalau dia tak ingin membuat Reina mood-nya memburuk.
"Hmm, terima kasih karena sudah memberikanku KADO untuk ULANG TAHUNKU." Reina sengaja menekankan kalimat itu hingga membuat Yose merasa tersindir.
"Cuma kamu yang ingat hari ulang tahunku," kekeh Reina. Dia sangat sengaja untuk menyindir Yose.
Sementara itu Yose mulai berpikir dan menebak. Jika Reina pasti marah lantaran dirinya melupakan ulang tahunnya kemarin dan hanya memberikannya makan malam biasa.
Ya, dia adalah Reina. Wanita yang sejak lahir sudah ada sendok emas di mulutnya. Jadi mana mungkin dia akan terima jika ulang tahunnya hanya dirayakan sangat sederhana seperti itu.
Buru-buru mengenakan bajunya. Yose kemudian menata rambutnya.
Ia melihat ke arah Reina, dan wanita itu sedang sibuk mengscrool layar ponselnya. Sangat asik sampai tak menyadari jika Yose sudah berdiri di samping ranjang.
"Aku berangkat dulu," pamit Yose.
"Hmm."
Yose membalikkan tubuhnya.
"Titip salam buat wanita itu—wanita caper itu," ucap Reina lagi.
Yose menoleh sebentar dan menghela napasnya. Dia harus sabar dan kuat menghadapi Reina. Karena wanita itu masih dalam fase hamil muda.
"Kalau kamu pulang dan aku tidak ada, itu berarti aku pergi dengan teman-temanku."
"Ke mana?" tanya Yose.
"Bukan urusanmu. Urusi saja wanita itu."
Yose menelan ludahnya sendiri. Dia mengerti jika Reina tidak menyukai Lara, tapi sejak tadi dia sudah terlalu sering mendengarkan Reina terus menyebut nama wanita itu berulang kali.
Apa Reina cemburu? Ah mana mungkin, batin Yose.
**
Seakan melupakan kejadian di rumah tadi. Yose tampak bahagia bisa bersama dengan Lara hari ini.
Galih cuti, jadi tak ada yang memata-matainya seperti biasanya.
"Istriku marah," ungkap Yose ketika dia sedang berjalan di koridor berdua dengan Lara.
"Marah? Apa karena aku kemarin?"
"Ah mana mungkin, Reina tidak peduli padaku, jadi mana mungkin dia marah soal itu. kemarin dia ulang tahun dan aku tidak percaya padanya, makanya dia marah."
"Bagaimana kalau kamu membelikannya kado."
"Kado? Aku tidak tahu kado apa yang cocok untuk Reina."
"Gaun? Kalung emas? Sepatu yang cantik? Tas mahal?" Lara memberikan pilihan pada Yose, tapi lelaki itu menggelengkan kepalanya cepat.
"Aku tidak tahu hal apa yang disukai oleh Reina, gaun, kalung dan sepatu. Seleranya sangat tinggi, aku takut jika tidak sesuai dengan seleranya."
"Benar juga." Lara mengangguk.
Yose menatap wajah Lara dari samping, bekas pukulan itu sudah menghilang. Namun dia penasaran bagaimana dia pulang kemarin.
Namun tak sempat bertanya, Lara sudah harus masuk ke dalam kelasnya. Dan Yose masih lurus lagi menuju lapangan basket.
**
Indra merasa dirinya ditatap oleh seseorang dari balik punggungnya ketika dia mengenakan dasi. Dan benar, ketika dia menoleh, ia mendapatkan Adelia, sahabatnya menatapnya tak suka.
"Reina lagi? Kamu perhatian sekali ya sama dia?" sindir Adel.
"Kami cuma berteman, jangan berpikiran macam-macam."
"Apa dia tahu kalau kita tinggal di satu atap?"
"Tidak."
"Cih! Kamu takut kan, kalau dia sampai tahu? Sadarlah Indra, Reina itu tak akan pernah menyukaimu."
"Berhenti mengatakan itu, aku sudah tahu dan sadar diri," balas Indra. Dia kemudian mengambil kunci mobilnya dan gegas menuju lift di apartemennya.
Tinggal bersama dengan Adelia sebenarnya bukan idenya. Melainkan ide orang tua Indra yang menyuruhnya untuk menjaga wanita yang sudah menjadi temannya sejak kecil itu.
Antara menjadi kekasih atau sahabat, sebenarnya hubungan mereka berdua sangat samar. Mereka memiliki hubungan saling menguntungkan, tidak lebih.
Adelia membutuhkan tumpangan rumah untuk kuliah di sana. Sementara Indra membutuhkan seseorang yang bisa mengurusnya di apartemen. Saling menguntungkan memang, tapi Adelia terkadang tersiksa dengan perasaannya yang bertepuk sebelah tangan pada Indra.
**
Lampu masih padam, Yose sudah bisa menduga jika Reina belum pulang malam itu. padahal dia sudah berniat ingin memberikan sebuah hadiah ulang tahun untuk Reina.
"Belum pulang," desis Yose. Ia menyalakan lampu satu persatu kemudian mendapatkan rumahnya berantakan.
"Pasti tadi ngamuk."
Yose mengambil ponselnya yang bergetar, dan neneknya memanggilnya malam itu.
"Yose, kamu sudah pulang?" tanya neneknya dari ujung telepon.
"Sudah nek, ada apa? Apa nenek sedang tidak sehat?"
Neneknya tertawa kecil.
"Bukan, kamu lekaslah ke sini. Istrimu ada di sini."
"Hah? Reina nek?"
"Memangnya siapa lagi istri kamu, Yose?"
"Oh, oke nek. Yose ke sana sekarang."
Yose keluar lagi menuju ke toko roti neneknya, ia sangat takut kalau sampai Reina membuat gara-gara di toko neneknya.
**
Neneknya menatap bingung Reina, sejak kapan wanita itu sangat betah berada di toko rotinya? Bahkan dia membantu untuk melayani pembeli yang datang ke sana.
"Reina, kamu kan lagi hamil. Lebih baik kamu istirahat saja di lantai dua," kata Nenek Yose.
"Saya ingin membantu hari ini," tolak Reina.
Entah habis dari mana Reina terjatuh dan membenturkan kepalanya. Tapi dia benar-benar berubah di hadapan neneknya yang dulu sempat ia bersikap kasar padanya.
"Yose sudah nenek telepon dan dia mau ke sini," kata nenek Yose lagi.
Senyum samar terbit di bibir Reina. Apa ini salah satu dari rencana Reina?
"Nek!" panggil Yose dengan napas yang terengah-engah. Dia menatap Reina yang berada di belakang etalase kuenya terkejut.
"Kamu kenapa? Kamu takut aku akan membakar toko kue nenekmu ya?" sindir Reina.
Ya, sebenarnya itu yang ada di pikiran Yose.