"Maukah kamu menikah denganku?" Sebuah kotak cincin dibuka. Cincin cantik berwarna putih berhiaskan permata di tengahnya membuat seorang wanita berdecak kagum karenanya.
"Kamu melamarku? Kamu mau menikahiku?" tanya Lara dengan senang sekaligus bahagia.
Dia tidak menyangka jika Adrian akan mengajaknya untuk menikah secepat ini.
"Aku ingin menjadi seorang lelaki yang selalu ada di sampingmu, Lara."
Lara pun tersenyum, apalagi ketika cincin itu disematkan oleh Adrian. Ya, Adrian, kekasihnya yang melamarnya beberapa bulan yang lalu dan mengajaknya untuk membina rumah tangga.
Tak menyangka, jika Adrian ternyata akan sekasar ini padanya. Rasa cintanya yang berlebihan pada Lara hanya menyakiti hati dan tubuh perempuan itu.
Bagaikan samsak tinju, Adrian tak ragu memukul Lara jika ada sesuatu yang tak sejalan dengan keinginannya.
Dan itu sudah terjadi beberapa bulan ini, sejak Lara sah menjadi istrinya.
**
"Aku sudah muak dipukuli, Adrian. Tak bisakah kamu membiarkanku hidup tenang untuk sekali saja?" tanya Lara dengan wajah memelas.
Adrian diam. Dia memandang luka memar di wajah Lara. Bahkan ada yang meninggalkan bekas luka di sana.
Ketika tangan Adrian ingin membelai wajah Lara. Wanita itu menghindari karena spontan. Itu adalah bentuk dari perlindungan diri dari Lara karena sudah terlalu disakiti oleh Adrian.
"Jangan sentuh aku," desis Lara. "Aku ingin tidur hari ini, jadi jangan ganggu aku," ucapnya kemudian masuk ke dalam kamar.
Adrian yang baru kali ini melihat Lara yang wajahnya memar karenanya sedikit luluh.
Dia terkadang tak habis pikir mengapa dirinya mampu melakukan hal tersebut untuk wanita yang ia cintai tersebut. Apakah karena pengaruh alkohol?
Adrian dalam penyesalannya sendiri. Dia mengutuk perbuatannya yang sudah membuat Lara menjadi seperti ini.
"Yah, aku adalah suami yang buruk," gumam Adrian.
**
Yose menatap ponselnya. Rasanya sangat sepi ketika tak ada Lara di sekolah. Ruang guru terasa hampa karena dia tak bisa mengobrol dengan wanita itu hari ini.
Namun hari ini, dia sangat bahagia ketika dia melakukan penyatuan dengan Lara. Rasanya … membuatnya semakin ingin melindungi Lara.
Kepalanya saat ini terbayang bagaimana wajah Lara tadi. Bagaimana mata teduh itu memandang, dan juga desahan yang membuatnya bergairah.
Mengapa semuanya harus terjadi padanya ketika dia sudah menikah dengan wanita lain?
Namun rasa penyesalannya pada Reina langsung hilang seketika, saat dia ingat jika pernikahannya dengan Reina hanyalah di atas kertas.
Dan kini, belum ada sehari dia tak bertemu dengan Lara. Rasanya rindu itu sudah menyelimuti hatinya. Ingin mengirimkan pesan pada Lara, tapi harus ia tahan. Karena Lara mengatakan untuk tidak menghubunginya sementara waktu.
Telepon Yose berdering. Ia pikir itu adalah Lara, tapi ternyata itu Reina.
Ketika dia melirik jam besar di dinding ruang guru, ternyata sudah waktunya makan siang. Tapi kenapa Reina ingin menghubunginya?
"Ada apa?" tanya Yose.
"Malam ini, aku mengundang rekan-rekanmu untuk datang ke restoranku," jawab Reina di ujung telepon. "Aku ingin merayakan ulang tahunku."
Ulang tahun? Reina? Hari ini? Yose tak lantas langsung percaya.
"Sepertinya mereka tak bisa, Reina."
"Apa kamu sudah meminta mereka?"
"Belum."
"Lalu kenapa kamu mengatakan tak bisa?"
"Itu—"
"Ah ya sudahlah kalau tidak bisa!"
KLEK
Telepon terputus, dan Yose hanya memandang ponselnya dengan terkejut. Seharusnya dia tidak kaget dengan sikap Reina yang kasar seperti itu.
Tapi, apakah dia benar berulang tahun hari ini?
**
"Kamu ingin hadiah apa untuk ulang tahun kamu tahun ini?" tanya Indra ketika dia sedang makan siang dengan Reina di ruangan makan khusus staff.
"Apa kamu bisa membelikanku mobil?" kekeh Reina.
"Untuk apa? Kamu sudah mempunyainya kan? Yang lain, maka aku akan mengabulkannya."
"Tak ada, aku sudah terlalu tua untuk menginginkan hadiah."
"Oh ya, aku lupa kalau kamu pasti akan merayakan ulang tahun yang romantis dengan suamimu."
"Bukan. Mana mungkin. Dia sama sekali tidak romantis," gumam Reina. Ia menyisakan makanannya, rasanya tak enak sekali.
Rasa mual di dalam perutnya menganggunya hari ini.
Indra yang melihatnya melirik ke arah Reina. "Apa kamu baik-baik saja?" tanya Indra khawatir.
"Hm, Ndra. Sepertinya aku ingin pulang cepat hari ini."
Indra mengangguk. "Pulang saja, aku akan mengurus sisanya."
"Gaji karyawan?"
"Sudah beres."
Reina tersenyum kemudian meninggalkan ruang makan tersebut.
Naik ke atas, dia mengambil tas dan cardigannya. Ia tak pulang, dia berbohong pada Indra. Karena setelah dari restoran, dia akan mengunjungi Daniel yang ada di penjara.
Dia sudah lama tak mengunjungi lelaki itu, makanya rasa bersalah terus bergelayut dalam hatinya.
**
Daniel keluar dari dalam dan tersenyum menatap Reina. Dia juga merasakan rindu pada kekasih yang sedang mengandung anaknya tersebut.
"Telepatiku terkirim juga rupanya," kata Daniel.
Reina terkekeh. "Iya, aku merindukanmu makanya aku ke sini."
Daniel menatap wajah Reina yang pucat. Ia merasa kalau kekasihnya itu tidak sedang baik-baik saja.
"Apa kamu sedang sakit?" tanya Daniel.
"Efek kehamilan, jadi biasa. Bagaimana kabarmu?" tanya Reina.
"Yah, seperti ini. Aku semakin jelek berada di sini, aku takut kamu akan lari dariku kalau aku terlalu lama di sini."
"Mana mungkin, kamu masih sama seperti dulu."
"Benarkah?"
Reina mengangguk.
"Selamat ulang tahun Reina, maaf karena tahun ini aku tak bisa merayakan ulang tahun bersamamu."
"Kamu mengingatnya saja sudah lebih dari cukup."
Lalu mereka berdua pun, mengobrol sampai jam kunjung habis. Daniel yang masih betah mengobrol dengan Reina tak bisa berbuat apa-apa. Dia harus patuh pada peraturan.
"Aku akan ke sini lagi minggu depan," kata Reina.
Daniel mengangguk. "Aku akan menunggumu."
Melihat punggung lelaki itu masuk, dan menghilang dari pandangan Reina. Membuatnya merasa bersalah karena telah sempat menduakannya dengan Yose.
Dan ternyata hari ini adalah benar hari ulang tahun Reina. Dia tidak berbohong pada Yose hanya untuk sekadar mencari perhatian.
**
Reina terkejut ketika dia pulang, di meja makan sudah banyak makanan tersaji. Dan semua itu adalah makanan yang dimasak oleh Yose.
Dia sempat tertegun untuk beberapa saat sampai akhirnya Yose membuyarkan lamunannya.
"Karena tidak merayakannya di restoranmu, jadi kupikir kita masih bisa makan bersama di rumah," ucap Yose.
"Kamu—yang memasak semuanya?"
Yose mengangguk.
"Duduklah, apa mau mandi dulu?"
Reina menarik kursinya, rasa lapar karena makan sedikit tadi siang tak bisa diabaikan olehnya. Ia mengambil nasi dan juga lauk lainnya tanpa bersuara.
Dia lebih banyak diam daripada sebelumnya, membuat Yose merasa aneh pada diri Reina.
"Apa kamu baik-baik saja?" tanya Yose.
"Tidak, aku tidak baik-baik saja. Aku terluka dan kesepian." Suara Reina bergetar. Matanya mengambang basah dan membuat Yose merasa bersalah.