"Bang, bangun!"
Dia bergeming.
"Bang ... bangun, ih!"
"Hn ...."
Bang Dika hanya menggeliat, kemudian kembali tertidur. Aku mengusap wajah frustrasi. Bagaimana agar dia mau bangun? Haruskah aku menyiramnya dengan air (keras)?
"Astataaang! Bang, bangun!" Aku berteriak sembari mengguncang-guncang tubuh Bang Dika.
"Sayang, kenapa, sih? Abang masih ngantuk," gumamnya dengan mata masih setengah terpejam.
Aku mengerucutkan bibir. "Naa nggak bisa tidur," rengekku.
Sekarang sudah hampir pukul dua dinihari, dan aku belum bisa tidur. Bahkan, dengkuran dan aroma tubuh Bang Dika yang biasanya ampuh menidurkanku sama sekali tidak mempan.
Bang Dika membuka matanya, lalu menatapku lembut. "Kenapa, hm? Sini, biar Abang peluk," katanya. Ia menarik tubuhku mendekat, kemudian mendekapku dalam pelukannya. Bang Dika kembali memejamkan mata, lalu mengusap-usap punggungku dengan lembut sembari bersenandung.
Bukannya mengantuk, mataku justru semakin terbuka lebar. Jemariku bergerak menyusuri setiap lekuk wajahnya, mulai dari mata, hidung, bibir, kemudian rahangnya. Aku sibuk mengagumi betapa sempurnanya ciptaan Tuhan yang satu ini.
"Bang," panggilku.
"Hmm," Bang Dika menyahut dengan gumaman.
"Naa nggak ngantuk."
Dia membuka mata, kemudian menatapku. "Kenapa, sih, Sayang? Kamu mikirin apa? Bilang sama Abang. Kamu ada masalah, hm?" tanyanya lembut.
Aku menggeleng. "Nggak, kok. Aku nggak mikirin apa-apa," dustaku.
Tentu saja aku masih kepikiran perkataan Bang Dika tadi.
"Terus?" Bang Dika menaikkan alisnya sebelah.
"Nggak. Cuma kangen aja sama Abang. Aku sayang banget sama Abang," kataku.
Entah kenapa, hatiku tiba-tiba merasa sangat sedih.
"Abang juga sayang banget sama Adek," balas Bang Dika, kemudian mengecup keningku.
"Nonton film, yuk, Bang?" ajakku.
Dahi Bang Dika berkerut. "Jam segini?" tanyanya.
Aku mengangguk yakin.
"Tapi besok kamu harus berangkat ke sekolah, loh? Kalau kamu ngantuk di kelas, gimana?"
"Aku nggak bakal ngantuk. Beneran, deh," sahutku yakin.
"Beneran?"
"Naa nggak ngantuk, Bang. Percuma juga, aku nggak bakal bisa tidur. Temenin aku nonton film, ya? Please?" aku memohon dengan memasang ekspresi memelas.
Bang Dika menghela napas, kemudian mengangguk. "Oke," desahnya.
***
Kami duduk di ruang tv beralaskan karpet. Aku juga membawa beberapa bantal dan selimut. Bahkan, aku menyempatkan diri untuk memasak mie instant sebagai teman nonton. Diberi tambahan cabai rawit, sawi, telur, sosis, dan beberapa butir bakso, juga saus sambal, cukup membuat liurku menetes. Aku menawari Bang Dika, tetapi dia menolak. Masih kenyang, katanya. Tak ketinggalan juga susu dan beberapa makanan ringan.
"Lo ini mau nonton tv apa ngeronda? Banyak bener makanannya," cetus Bang Dika.
"Biar nggak gabut pas nonton, Bang," kataku.
Bang Dika memutar bola mata. "Awas, ya, kalo nanti ngeluh berat badan lo naik? Nggak gue kasih makan sekalian," gerutunya.
Aku mencebik. "Teganya pacarku ini," kataku merana.
Dia mendecakkan lidah, kemudian mengusap wajahku. "Nggak usah drama gitu, Neng. Mau nonton film apa?" tanyanya.
"Itu, Bang. Yang No Escape, kemarin Bang Ares ngirimin itu, katanya bagus, kalau nggak yang Green Miles. Film lama, sih, tapi kata Bang Ares keren."
Tak lama, film dimulai. Kami memilih untuk menonton Green Mile lebih dulu. Film ini menceritakan tentang kehidupan di sebuah penjara khusus untuk tahanan yang sudah divonis mati. Awalnya, nama tempat itu Last Mile, tetapi untuk memperhalus, diubahlah menjadi Green Mile. Sesuai dengan warna lantai penjaranya, yaitu hijau.
Saat sedang asik-asiknya nonton, Bang Dika mulai mengganggu konsentrasiku. Bukan dengan cara cabulnya, tetapi dia terus saja mencolekku sambil berbisik-bisik.
"Sayang?" Nada bicara Bang Dika menjadi setengah merengek.
Aku menghela napas, kemudian mengalihkan atensiku dari layar televisi.
"Kenapa, sih, Bang?" tanyaku.
"Bagi mienya. Tega bener makan mie sendiri-sendiri," gerutunya.
"Dih, enak aja. Bikin sendiri sana. Ini punya Naa. Salah sendiri, tadi Naa tawarin nggak mau," omelku tak jelas dengan mulut dipenuhi mie. Aku menjauhkan mangkuk berisi mie yang baru berkurang sedikit dari jangkauan Bang Dika.
"Atuhlah, males, Sayang. Abang minta punya kamu aja. Kamu bikin lagi sana. Biar filmnya dipause dulu," kata Bang Dika seraya merebut mangkuk mie dari tanganku.
"Ih, Abang mah tega bener. Naa juga males, Bang. Siniin, ah! Lagi enak juga, gangguin aja," omelku sembari berusaha merebut kembali hakku atas semangkuk mie di tangan Bang Dika.
Bang Dika lebih sigap. Dengan cepat dia menjauhkan mangkuk dari jangkauanku.
"Kamu cinta sama Abang apa nggak?"
Aku mengernyit dengan perubahan topik yang begitu ekstrem. Namun, aku tetap saja mengangguk di tengah kebingungan yang kurasakan.
"Iya, lah. Abang nggak percaya?" tanyaku.
Bang Dika menghela napas, kemudian menggeleng dramatis. "Gimana Abang mau percaya, kalo perkara mie aja kamu nggak mau ngalah?"
Aku mendelik mendengar teorinya. "Ih, nggak ada hubungannya ya ngerelain mie sama cinta! Nggak nyambung banget. Modus!" omelku.
"Ada lah. Kalo kamu cinta, jangankan cuma semangkuk mie, pabriknya pun kamu bakal usahain kalo Abang minta," katanya kekeh. Sungguh, orang tua ini menyebalkan sekali. Tidak mau mengalah sedikit pun.
Aku mengembuskan napas kasar, kemudian menatap Bang Dika datar. "Ya, udah. Naa cintaaa ... banget sama Abang. Ambil aja. Biar Naa bikin lagi," kataku mengalah.
Bang Dika menyeringai puas. "Nah, gitu, dong. Ini baru pacarnya Abang yang paling cantik dan paling nurut di seluruh alam semesta," pujinya dengan begitu berlebihan.
Aku memutar bola mata, kemudian mencebik. "Nggak usah lebay gitu, Bang. Geli," ejekku.
Aku pergi ke dapur untuk membuat mie lagi. Sepuluh menit kemudian, aku sudah kembali pada posisiku di sebelah Bang Dika ditemani semangkuk mie. Kini, aku bisa makan sembari menonton filmnha dengan damai.
Kedamaianku tak berlangsung lama. Bang Dika mulai mengomel dan mengomentari tiap adegan film. Dan itu cukup mengganggu.
"Anjir! Itu Percy nyebelin banget, dah. Kalo gue ketemu makhluk model begituan, udah gue getok kepalanya pake martil."
"Itu cuma film, Bang," kataku datar.
"Tetep aja, nyebelin banget, Sayang."
Hatiku masih saja berdesir ketika Bang Dika memanggilku begitu. Aku sama sekali tidak menyangka hubungan kami bisa sejauh ini.
Bang Dika melontarkan umpatan begitu kasar ketika si Percy ini kembali membuat ulah saat eksekusi. Percy dengan sengaja tidak membasahi spons, yang menyebabkan eksekusi salah satu tokoh di film ini berubah menjadi bencana. Proses eksekusi yang harusnya berlangsung cepat berubah menjadi sesuatu yang sangat menyakitkan dan juga mengerikan dengan tubuhnya yang hangus terbakar.
Aku hanya bisa menghela napas, kemudian menggeleng-geleng melihat tingkah Bang Dika.
Untung cinta, batinku.
Aku kini bersandar di lengan Bang Dika. Mie dan beberapa bungkus makanan ringan sudah bersemayam dengan tenang di perutku. Mata Bang Dika berfokus pada layar televisi, sedangkan aku fokus menatap wajahnya.
Dia—cinta pertamaku.
Air mata kami berderai kala John akhirnya dieksekusi mati. Ketika film selesai, kami saling menatap dan tawa kami pun pecah.
Betapa konyolnya tingkah laku kami selama nonton. Mulai dari marah-marah, berteriak, tertawa, menangis. Film ini memainkan emosi kami.
Kami berlanjut pada film kedua yang berjudul No Escape. Kisah tentang perjalanan sekelompok anak muda yang merupakan selebgram. Baru beberapa menit film berjalan, kantukku mulai datang.
Aku merapatkan tubuhku pada Bang Dika, kemudian memeluknya. Dia mulai mengusap-usap punggungku, lalu mencium keningku.
"Kalo udah ngantuk bobo aja," bisiknya lembut di telingaku.
Kudengar dia bersenandung. Mataku terasa semakin berat, dan aku pun terlelap.