Tanganku reflek melayangkan tamparan ke pipi Juna.
"Lancang!" desisku sembari menatap tajam cowok itu.
"Si-Siena ... gue—"
"Jangan berani-berani sentuh gue!" Aku berteriak kearahnya sambil menepis tangannya yang hendak menyentuhku.
Aku mundur—berusaha menjauh dari jangkauan Juna. Kemudian, tubuhku merosot, air mataku kembali menetes. Aku membenamkan wajah di antara kedua lutut dan mulai terisak-isak. Kenapa mereka dengan mudahnya mencium dan menyentuhku? Apakah aku terlihat seperti gadis murahan? Ya. Pasti Bang Dika beranggapan seperti itu, sehingga dengan mudahnya dia mencampakkanku.
"Naa, sorry. Gue ... gue nggak berniat bertindak kurang ajar. Please, maafin gue."
"Pergi," kataku dingin. Aku masih enggan untuk mengangkat wajahku.
"Naa ... please. Gue minta maaf," Juna mengiba.
"Gue bilang pergi!" Aku berteriak sembari mendorong Juna yang tengah berjongkok di depanku hingga ia jatuh tersungkur.
"Gue nggak akan ninggalin lo dengan keadaan yang sedang kacau. Silakan lo nangis, teriak-teriak, pukul gue, maki gue, tapi jangan ngerokok dan biarin gue tetep di sini," katanya keras kepala. "Gue nggak akan ganggu lo," sambungnya.
Juna benar-benar menepati janjinya. Dia hanya duduk diam di sebelahku—tak bicara sepatah kata pun. Cowok itu bahkan rela meninggalkan pelajaran demi menemaniku.
"Lo balik ke kelas aja sana!" perintahku dengan pandangan lurus ke depan. Aku menyandarkan tubuhku pada dinding.
"Nggak, ah. Gue nggak tenang ninggalin lo sendirian di tempat kayak gini," ujarnya.
Aku menoleh, membuat tatapan mata kami bersirobok.
Melihat tatapan pemuda itu, membuatku mengangkat alisku sebelah. "Lo nggak berpikir gue bakalan bunuh diri, kan?" tanyaku.
Juna mengedikkan bahu tak acuh seraya berkata, "Siapa yang tau?"
Aku memelototinya, sama sekali tak menyangka Juna berpikiran aku akan melakukan hal bodoh seperti itu.
"Makasih, loh, udah ngasih ide," kataku ketus.
"Sama-sama," balasnya.
"Dasar gila," gerutuku.
"Because of you," sahutnya.
Tanpa bisa kutahan, ujung bibirku melengkung ke atas.
"Lo cantik kalau lagi senyum gini," kata Juna pelan. Matanya menatapku lekat.
Pujian sederhana darinya membuat wajahku terasa terbakar. Aku berpaling, tak ingin terlihat merona di hadapan Juna.
"Apaan, sih? Gombal," gumamku.
Kudengar suara tawa cowok itu. Kemudian, dia mengelus rambutku. "Lo serem banget kalo lagi ngamuk. Tapi, pas udah rada tenang, lo bahkan bisa senyum hanya dari hal yang sederhana. Itu yang gue suka dari lo," katanya.
"Sekarang ..." Juna menarik kedua ujung bibirku ke atas yang membentuk sebuah senyuman. "Nah, gini baru cantik," sambungnya.
"Makasih," kataku pelan.
Juna hanya membalas perkataanku dengan senyumannya. Suasana kembali hening. Kami duduk bersisian sembari menatap langit ibu kota yang penuh polusi.
"Kalau capek, nyender aja di bahu gue. Nggak apa-apa, kok. Biar mirip adegan di novel-novel alay."
Perkataan Juna kembali membuatku terkekeh. "Kok, lo bisa tau? Lo baca, ya? Berarti lo alay juga, dong?" ejekku.
Juna memutar-mutar bola matanya, kemudian menarik kepalaku agar bersandar di bahunya. "Suruh nyender aja susah amat. Alay, ya, alay, dah," gerutunya.
Aku kembali terkekeh. "Gue baru tau lo punya bakat ngelawak?"
Kulihat dia langsung tersenyum jemawa. "Apa, sih, yang nggak bisa dilakuin Babang Juna? Pinter, ganteng, lucu, baik hati, pengertian—"
"Jomblo," potongku sembari menahan tawa.
Juna memutar bola mata, kemudian mencebik. "Biarin, yang penting ganteng," kilahnya, kemudian memeletkan lidahnya.
"Buat apa ganteng tapi jomblo," ejekku, kemudian tergelak.
Juna melipat tangannya di dada dengan wajah ditekuk. "Awas, lo. Kalau sampai nanti jatuh cinta sama gue, terus lo nembak, lo bakalan gue tolak dengan senang hati. Biar nanti lo galau tujuh turunan," katanya tak mau kalah.
Aku terbahak-bahak dan membuat ekspresi Juna semakin cemberut.
***
Maaf, Bang. Naa pergi sama Juna, mau nyari buku buat referensi tugas sekolah. Abang udah kenal Juna, kan? Nanti biar dianter pulang sama Juna sekalian.
Aku memasukkan ponselku ke tas setelah membalas pesan dari Bang Ares, kemudian, berjalan menghampiri Juna yang tengah menungguku di motornya. Dia membantuku mengenakan helm.
Kami melaju menuju pusat perbelanjaan yang jaraknya tak terlalu jauh. Juna dengan lincah menyelap-nyelip di antara kendaraan yang terjebak macet. Suka atau tidak, hal seperti ini sudah menjadi makanan sehari-hari masyarakat yang tinggal di ibu kota.
Ketika keluar dari toko buku, kami tak sengaja berpapasan dengan beberapa teman Juna. Katanya, mereka saling mengenal karena mengambil pelajaran tambahan di tempat yang sama. Kami saling sapa dan berbasa-basi satu sama lain.
"Jun, kok, lo nggak pernah bilang kalau punya saudara cantik gini?" celetuk salah seorang di antara mereka.
"Iya. Mentang-mentang cakep, diumpetin terus," kata yang lainnya ikut menimpali.
Aku dan Juna saling bertukar pandangan, kemudian tergelak. Entah sudah keberapa kalinya ada yang mengira kalau kami bersaudara.
"Saudara? Dia tetangga gue. Udah kenal dari masih bayi." Juna menjelaskan status kami kepada teman-temannya.
"Oh ... tetangga." Cowok yang pertama kali mengira aku dan Juna bersaudara manggut-manggut. "Tapi kalian beneran mirip. Udah kayak kakak-adek," sambungnya.
"Ya, dari dulu memang banyak yang bilang kayak gitu," kataku masih dengan senyum tersungging di bibir.
"Jalan bareng, yuk? Biar makin seru." Salah seorang dari mereka menawarkan.
Aku menoleh pada Juna, lalu Juna menggeleng. "Sorry. Kita mesti balik. Gue mesti pulangin anak orang. Takut kemaleman," tolak Juna sopan.
Teman-temannya mengerti, dan kami berpisah tak lama setelah itu.
***
Jun, makasih ya buat hari ini. Gue seneng bisa jalan sama lo.
Tak lama pesan itu terkirim, kemudian muncul tanda dua centang biru yang berarti pesan telah dibaca.
Sama-sama. Kalau lo seneng, gue juga ikut seneng.
Aku berbaring telentang di kamarku sembari menatap langit-langit. Tugas sekolah sudah selesai kukerjakan. Jam menunjukkan hampir pukul sepuluh malam. Cacing-cacing di perutku mulai menggelar konser, tanda bahwa mereka minta diberi makan.
Aku keluar kamar, lalu berjalan menuju dapur. Aku mengambil sepotong cheesecake dan susu dari dalam kulkas. Lupakan diet. Bodo amat masalah berat badan. Kalau lapar ya makan, tidak perlu ditahan. Itu yang selalu diajarkan Bang Dika padaku.
Kira-kira, sekarang Bang Dika sedang apa, ya? Apa dia makan tepat waktu? Eh, kenapa aku jadi memikirkannya? Siena bodoh! Untuk apa memedulikannya? Paling dia sedang bersenang-senang, mungkin menginap di tempat pacar barunya.
Baru beberapa suapan, terdengar suara pintu depan terbuka. Rupanya dia masih ingat pulang. Aku memilih fokus pada makananku dan akan mengabaikan keberadaan Bang Dika.
"Loh, Siena makan apa? Padahal Kakak bawain makanan buat kamu," kata suara yang mulai tidak asing di telingaku.
Aku mendongak. Pacar baru Bang Dika kini berdiri di hadapanku dengan senyum sumringah. Tangan Bang Dika melingkar di pinggangnya. Bolehkah aku mencakar wajahnya sampai hancur? Aku benar-benar muak melihat senyum palsu itu.
Aku menarik napas panjang, kemudian meletakkan sendok. "Makasih banyak atas perhatiannya, tapi aku udah kenyang," kataku sambil tersenyum. Aku berdiri kemudian melangkah pergi meninggalkan pasangan yang tengah dimabuk cinta itu.