Chereads / Bedbrother / Chapter 27 - Benci

Chapter 27 - Benci

Aku terhuyung. Telingaku berdenging, pipiku terasa kebas. Sudut bibirku terasa perih. Aku menatap Bang Dika yang kini tengah menatap tajam padaku. Kulirik sekilas, tangan yang ia gunakan untuk menamparku mengepal di sisi tubuhnya.

"Abang tega nampar aku demi dia?" kataku lirih.

Air mataku mulai menetes. Kali ini, aku tak bisa dan tak ingin menahannya. Aku menyentuh pipiku yang terasa nyeri. Namun, bukan rasa sakit karena tamparan yang membuatku menangis, tetapi karena dia sudah tega menamparku demi gadis lain. Dan itu membuat hatiku terasa sesak.

"Siena—"

"Jauh-jauh dari gue!" hardikku ketika gadis itu hendak mendekat.

"Minta maaf."

Aku menatap Bang Dika tak percaya. Dia benar-benar memaksaku untuk meminta maaf? Aku sama sekali tak sudi untuk merendahkan diri di hadapan seseorang yang tak lebih baik dariku.

"Nggak mau dan nggak akan pernah terjadi," sahutku keras kepala.

Bang Dika menatapku tajam dan aku balas menatapnya tajam.

"Gue bilang minta maaf!" Bang Dika kembali berteriak.

Aku tersenyum miris melihat perubahannya. Dia yang dulu lemah lembut, sekarang menjadi seseorang yang begitu kasar.

"Minta maaf sama Dara atau lo pergi dari apartemen ini."

Perkataan Bang Dika menghantamku dan mengempaskanku ke jurang kegelapan. Dia benar-benar membuangku. Ia hanya menginginkan tubuhku. Perasaan dan pernyataan cintanya padaku waktu itu palsu.

"Dika, nggak perlu sampe ngusir Siena. Dia cuma lagi marah," kata gadis itu berusaha membujuk Bang Dika.

"Dia harus belajar menerima keadaan," sahut Bang Dika datar.

"Lo ngusir gue?" tanyaku sembari menggeleng tak percaya. "Lo ngusir gue demi pelacur itu? Sebenernya apa yang dia kasih ke lo? Keprawanan dia? Atau apa, huh?" teriakku.

Aku menoleh pada Dara. "Lo puas udah bikin Bang Dika ngusir gue? Sekarang lo seneng, 'kan?"

Gadis itu hanya menangis sembari menggumamkan permintaan maaf ketika aku meneriakinya. Ia tak membalas perkataanku sama sekali. Dan itu membuatku semakin membencinya. Bang Dika pasti akan semakin membela dia.

Aku mengembalikan atensiku pada Bang Dika. "Lo mau gue pergi, 'kan? Oke! Gue akan pergi dari sini sekarang juga!"

Aku mendorong tubuh Bang Dika, kemudian ke kamar untuk mengambil semua barang-barangku. Ketika keluar, Dara berusaha mencegahku agar tidak pergi disertai air mata buayanya. Aku yakin, hatinya kini tengah bersorak-sorai dengan kepergianku.

Aku mendekat pada Bang Dika. Air mata sudah membanjiri wajahku. Aku melayangkan tamparan ke wajahnya dengan sekuat tenaga. Jangankan berusaha mencegahku pergi dan meminta maaf karena sudah menamparku, dia hanya bergeming seperti seonggok batu. Wajahnya tak menunjukkan ekspresi apa pun.

Aku mengusap air mataku kasar, lalu berkata, "Makasih buat semua yang udah lo kasih sama gue—segala sandiwara lo selama bertahun-tahun. Makasih banyak! Satu yang harus lo tau." Aku menunjuk dadanya. "Lo nggak lebih dari seorang pengecut! Lo.berengsek! Lo.bajingan! Gue.benci.lo!" Aku mendorong tubuh Bang Dika, berjalan melewatinya, kemudian menutup pintu depan dengan keras.

***

Aku duduk di sudut taman yang gelap karena tak mendapatkan cukup pencahayaan. Aku dan Bang Dika sering menghabiskan waktu di sini. Namun, sekarang aku di sini—sendirian. Air mataku tak henti-hentinya mengalir. Wajahku sakit, tetapi hatiku jauh lebih sakit. Bang Dika benar-benar sudah mencampakanku.

Aku mengabaikan ponselku yang terus saja berdering. Yang kuinginkan hanyalan Bang Dika datang ke sini dan meminta maaf. Dia memelukku dan mengatakan bahwa tadi hanya terbawa emosi sesaat. Namun, itu tidak mungkin. Mustahil.

Dia tak pernah mencintaiku. Ia mempermainkanku. Bang Dika hanya menginginkan tubuhku, tidak lebih. Sekarang, sudah ada yang menggantikan posisiku. Aku tidak lebih dari sampah yang tak berguna.

Aku tetap bergeming ketika hujan mulai turun. Tak kuhiraukan rasa dingin yang menusuk ataupun rasa sakit di wajahku. Air mataku melebur bersama derasnya air hujan, berharap kepedihan yang kurasakan ikut larut.

Apa yang harus kulakukan?

"Kenapa kamu nggak angkat telpon dari Abang?"

Aku mendongak. Bang Ares berdiri di hadapanku dengan sebuah payung di tangannya. Entah bagaimana caranya dia bisa mengetahui keberadaanku.

"Bangun. Kita pulang," ujar Bang Ares sedikit berteriak agar suaranya tidak tertelan oleh berisiknya hujan.

Aku menggeleng pelan. "Naa nggak mau pulang ke apartemen Bang Dika lagi. Bang Dika udah ngusir Naa," kataku.

"Kita pulang ke rumah Aunty," sahut Bang Ares.

"Naa nggak kepingin pulang. Naa mau sendirian," kataku lagi.

"Kalau gitu pulang ke apartemen Abang," putusnya.

Mendengar Bang Ares yang keras kepala membuat emosiku kembali naik. Aku muak selalu dipaksa untuk ini-itu. Aku bosan selalu saja diatur. Aku juga manusia yang punya otak dan pemikiranku sendiri.

"Udah dibilangin, Naa mau sendiri dulu, Bang! Ngerti nggak, sih? Naa bosen diatur-atur! Naa bisa jaga diri sendiri! Sekarang Abang pergi!" teriakku.

Aku bangkit, kemudian menyeret koperku menjauhi Bang Ares. Namun, baru beberapa langkah, pandanganku mengabur. Setelah itu, aku tak mengingat apa-apa lagi.

***

"Naa, makan dulu, ya?" bujuk Bang Ares.

Aku menatap Bang Ares yang kini duduk di samping tempat tidur tanpa mengeluarkan sepatah kata pun. Aku berbalik memunggungi Bang Ares, kemudian menarik selimut hingga menutupi kepalaku.

Terdengar dia menghela napas, lalu berkata, "Naa, semenjak sadar, kamu belum makan apa-apa. Makan, ya? Supaya kamu bisa minum obat."

Aku bergeming di bawah selimut. Air mataku kembali menetes. Kenapa Bang Ares tidak membiarkanku mati saja? Kenapa dia membawaku ke sini? Kenapa dia tidak jahat saja seperti Bang Dika?

Semalam, aku sudah berada di apartemen Bang Ares ketika tersadar. Dia bahkan memanggil dokter untuk merawatku, karena aku menolak untuk ke rumah sakit.

"Kalau kamu tetep keras kepala, Abang akan kasih tau Aunty kalau kamu di sini dan lagi sakit."

Aku menyingkap selimut, berbalik, lalu menatap Bang Ares tajam.

Seolah sama sekali tak terintimidasi oleh tatapanku, Bang Ares justru tersenyum lebar. Dia membantuku duduk, kemudian mulai menyuapiku sup krim.

Aku mendesis merasakan perih di sudut bibirku.

"Pelan-pelan, Sayang," ujar Bang Ares. Pemuda beriris biru itu menyuapiku dengan sangat telaten.

"Udah kenyang," tolakku ketika Bang Ares menyodorkan kembali sendok yang penuh dengan sup krim.

"Baru beberapa suap," katanya. "Dikit lagi, ya?" bujuk Bang Ares.

Aku menggeleng, kemudian menunjukkan gestur hendak muntah. Untungnya, dia mau mengerti dan tidak memaksaku. Bang Ares mengulurkan beberapa butir obat, kemudian aku meminumnya.

"Kamu mau cerita? Dan, kenapa pipi kamu bengkak kayak gini?" tanya Bang Ares seusai mengoleskan salep di wajahku yang lebam.

Aku menggeleng. "Bukan apa-apa, cuma kepleset di kamar mandi karena semalem buru-buru," dustaku. Bang Ares tak perlu mengetahui kejadian yang sebenarnya. Aku tidak ingin persahabatan mereka yang sudah terjalin selama bertahun-tahun rusak karenaku.

Bang Ares hanya berkata, "Ya, udah. Kapan pun kamu mau cerita, tinggal bilang sama Abang." Dia tak memaksa atau mendesakku untuk bercerita mengenai kejadian semalam, dan aku menghargainya.

"Makasih," kataku pelan.

Alis Bang Ares terangkat sebelah.

"Makasih, karena Abang udah mau rawat Naa," terangku.

Dia tersenyum, kemudian mengusap puncak kepalaku. "Nggak apa-apa, Sayang. Kan, kamu pacar Abang," ujarnya. "Tapi ... Abang mau minta maaf sama kamu," sambungnya.

Aku mengernyit. "Maaf buat?" tanyaku bingung.

Bang Ares menggaruk tengkuknya. "Ng ... anu. Kamu janji jangan marah sama Abang, ya?"

Aku mengangguk cepat.

"Anu ... semalem, karena Abang panik liat kamu pingsan. Badan kamu juga basah kuyup, jadi ...." Bang Ares berhenti. Ia terlihat ragu untuk melanjutkan kalimatnya.

"Jadi?"

"Jadi ... Abang yang gantiin baju kamu," gumam Bang Ares.

Aku terdiam, berusaha memproses perkataan Bang Ares. Hubungan antara aku yang pingsan, hujan, baju basah, Bang Ares. Seketika, aku langsung membelalak. Aku membuka mulut, kemudian mengatupkannya kembali. Tak tahu harus berkata apa.

"Tapi Abang nggak liat apa-apa, kok. Abang juga nggak ngapa-ngapain, selain gantiin baju kamu. Beneran. Abang nggak tau kalo kamu punya tato gambar sayap di atas anu."

Aku memelototinya, kemudian mengambil bantal. Namun, Bang Ares sudah memelesat keluar kamar ketika aku melemparkan bantal.

"ABAAANG!!!"