"Sayang?"
Aku melirik pada Bang Ares yang sedari tadi duduk di sampingku sembari memasang tampang memelas. Aku mendengus, kemudian kembali memfokuskan diri pada novel di tanganku.
"Sayang, jangan marah, dong. Abang nggak sengaja liat tato kamu. Lagi pula, Abang panik, Sayang. Kamu, kan, tau kalo Abang tinggal sendirian. Abang mau bawa kamu ke rumah Aunty, tapi katanya kamu nggak mau pulang. Semalem itu darurat. Maafin Abang, Sayang," pinta Bang Ares.
Aku meletakkan novel yang tengah kubaca, lalu beralih menatap pemuda beriris biru itu. "Bisa nggak, jangan diungkit lagi masalah tatonya?" kataku datar.
"Makanya maafin Abang." Bang Ares merengek seperti anak kecil.
Aku menarik napas panjang, kemudian mengembuskannya perlahan. "Oke, tapi jangan bahas soal itu lagi. Lupain apa yang udah Abang liat. Naa malu tau," ucapku.
Senyum di bibir Bang Ares merekah, kemudian ia mengangguk-angguk penuh semangat. "Iya. Abang janji nggak akan ngomongin itu lagi."
"Bang," panggilku setelah kami terdiam cukup lama.
"Ya, Sayang?" tanya Bang Ares lembut.
"Bisa deketan lagi, nggak?"
Bang Ares bergeser mendekat.
"Naa capek," keluhku sembari menyandarkan kepala ke bahu pemuda itu.
Dia membelai rambutku dengan lembut tanpa berkata apa-apa. Kupejamkan mata, tetapi bayangan kejadian semalam langsung terlintas. Aku masih ingat bagaimana rasanya tamparan itu. Cara Bang Dika menatapku, dia bukan lagi kakak yang selama ini aku kenal. Teriakan-teriakan itu menggema di benakku.
"Naa? Sayang? Kamu kenapa?"
Suara Bang Ares mengembalikanku pada kenyataan. Ketika membuka mata, kulihat kecemasan di wajahnya. Entah sejak kapan, wajahku sudah basah oleh air mata. Tanganku mencengeram kuat kaus yang dikenakan Bang Ares.
"Naa takut," lirihku.
"Sstt, ada Abang di sini, Sayang. Kamu nggak perlu takut," bisik Bang Ares menenangkan.
"Semalem Naa berantem sama Bang Dika," tuturku. "Bang Dika sekarang udah berubah. Dia udah nggak sayang sama Naa."
"Nggak boleh kayak gitu, Sayang. Mungkin Dika lagi banyak masalah. Setau Abang, Dika, tuh, sayang banget sama kamu," ujar Bang Ares masih sambil mengusap punggungku.
"Kalau sayang, kenapa dia tega tampar aku?" cetusku.
Kurasakan tubuh Bang Ares menegang. Ekspresinya berubah kaku. "Dika nampar kamu?" tanyanya.
Aku hanya mengangguk sambil terisak.
Bang Ares menyentuh pipiku yang masih memar. "Bukannya kamu bilang ...."
"Berengsek!" umpatnya. "Abang harus bikin perhitungan sama Dika."
Selama mengenalnya, aku sama sekali belum pernah melihat Bang Ares marah seperti sekarang.
Aku menggeleng sembari menggenggam tangannya. "Jangan pergi. Naa butuh Abang," pintaku lirih. Aku menatapnya memohon. Selain karena tidak ingin terjadi keributan, aku juga tidak mau kalau Bang Dika sampai terluka. Betapa bodohnya aku.
Perlahan, ekspresinya kembali melembut. Dia mengeratkan pelukannya padaku, kubalas dengan melingkarkan kedua tanganku di pinggangnya. Bang Ares mengecup puncak kepalaku.
***
"Selamat pagi, Sayang?" seru Bang Ares ceria sembari mengarahkan kamera padaku.
Aku menggeliat, kemudian mengucek mataku. "Astaga, Abang. Minggir, ah. Baru bangun tidur, juga. Iseng banget," omelku sembari menarik selimut menutupi wajahku.
Kebiasaan menyebalkan Bang Ares, yaitu suka sekali memvideokan aku yang baru saja bangun tidur. Katanya, aku terlihat imut ketika baru bangun. Hallah! Muka kucel, rambut acak-acakan, imut apanya, coba?
Sudah hampir seminggu aku tinggal di apartemen Bang Ares, dan selama itu pula aku tidak berangkat ke sekolah. Bang Dika juga sama sekali tak menghubungiku. Jangankan datang mencariku, menanyakan kabar dan keberadaanku saja tidak. Ah, terserahlah!
"Bangun, Sayang. Udah siang. Kebluk bener jadi cewek," goda Bang Ares disertai gelak tawa.
"Matiin dulu kameranya," seruku dengan tetap menutupi wajahku.
"Iya, iya, udah Abang matiin," kata Bang Ares masih dengan sisa tawanya.
Aku menyingkap selimut, dan reflek melemparkan bantal ke arah Bang Ares. "Kan, Abang bohong lagi! Nyebelin!" pekikku sembari memukul-mukul cowok beriris biru itu dengan bantal. Dia terus saja tergelak-gelak sembari berusaha mengarahkan kamera padaku.
"Aduh! Ampun, Sayang." Bang Ares memohon tetapi di suaranya masih ada tawa yang tersisa.
Dia meletakkan kamera di nakas, kemudian memelukku. "Jalan-jalan, yuk?" ajaknya.
Aku mendongak menatapnya. "Ke mana? Emangnya Abang nggak kerja?" tanyaku.
"Kamu maunya ke mana? Kalau nonton gimana? Hari ini jadwal Abang kosong, Sayang," ujarnya, kemudian mengecup keningku.
Aku suka dengan perlakuannya padaku yang amat lembut. Bang Ares selalu berusaha membuatku nyaman ketika bersamanya. Namun, aku tidak merasakan perasaan seperti pada saat sedang aku berdua dengan Bang Dika-belum.
"Boleh," sahutku. "Nanti mampir ke toko buku boleh nggak? Ada novel yang mau Naa beli. Sama ...."
Aku menggigit bibir. Bingung untuk menyatakan permintaanku ini. Bang Ares menatapku penuh tanya.
"Kenapa, Sayang? Kamu ada masalah?" tanyanya khawatir.
Aku menggeleng. "Bukan. Naa baik-baik aja. Emm ... Naa mau balik ke rumah Ibu. Naa nggak mau ngerepotin Abang terus. Lagi pula, Ibu kayaknya udah tau kalo Naa pergi dari apartemen Bang Dika," tuturku.
Kulihat sekelebat kekecewaan di matanya. Namun, dengan cepat dia menutupinya dengan senyuman. "Nggak apa-apa, dong, Sayang. Mana mungkin Abang ngelarang kamu pulang ke rumahmu sendiri? Kecuali, kalo kamu udah jadi istri Abang," godanya disertai seringai nakal.
"Dih, Naa masih kecil. Belum mikirin nikah," tukasku.
"Abang bakalan tungguin sampe kamu siap," katanya.
Aku berdecak sembari menggeleng-geleng. "Apaan, sih? Pagi-pagi udah ngaco," gerutuku.
Dia terkekeh pelan. "Nanti abis jalan-jalan, Abang anter kamu pulang," ujar Bang Ares.
Aku memeluk Bang Ares, kemudian mendaratkan sebuah kecupan di pipinya. "Makasih, Abang. Naa sayang sama Abang," kataku.
"Sayang doang? Nggak cinta?" tanya Bang Ares dengan senyum menggoda.
Beralasan ingin bersiap-siap, aku melepaskan diri dari pelukan Bang Ares secepat kilat, kemudian langsung melesat ke kamar mandi. Aku tak ingin menyakiti perasaannya dengan mengatakan kalau aku belum bisa membalas perasaannya. Padahal, akulah yang meminta dia untuk menjadi kekasihku-pelarianku. Aku sangat menyayanginya, tetapi belum bisa mencintainya.
***
"Aaa ...."
Bang Ares menyuapkan sesendok penuh es krim ke dalam mulutku. Setelah sesiangan ini menghabiskan energi dengan berkeliling pusat perbelanjaan, ke toko buku, menonton film, dan juga bermain di wahana permainan, sekarang kami tengah makan siang di salah satu restoran di area foodcourt. Dia memperlakukanku dengan sangat manis, seolah di dunia ini hanya ada kami berdua.
Bang Ares tak memedulikan tatapan iri dari orang-orang karena perlakuannya padaku. Bahkan, tadi aku menyesali perbuatanku dengan berkata lelah, karena dia langsung saja menggendongku. Aku harus menyembunyikan wajahku dengan membenamkannya di pundak Bang Ares.
"Naa udah kenyang," kataku sembari menggeleng ketika Bang Ares kembali menyodorkan sendok penuh es krim.
"Dikit lagi, Sayang. Sesuap lagi, deh," bujuknya.
Aku menggeleng keras kepala. "Nggak mau. Dari tadi katanya sesuap lagi, tapi hampir habis satu gelas," tukasku.
Bang Ares terkekeh. "Oke. Abang habisin ini dulu," ujarnya sembari menunjuk makanan di meja kami. "Setelah ini mau ke mana lagi, Sayang?"
"Pulang aja, Bang. Naa udah capek. Lagian udah sore juga," sahutku.
Bang Ares mengangguk, kemudian kembali fokus ke makanan di hadapannya.
"Sini, biar Abang yang bawa belanjaannya," kata Bang Ares sembari mengambil alih tas belanjaan dari tanganku. Selain membeli beberapa buku, dia juga memaksaku untuk membeli barang-barang lainnya. Padahal aku sudah menolak, tetapi tetap saja. Bukan Antares Bagaskara namanya kalau dia tidak keras kepala.
Kami berjalan menuju parkiran mobil. Tangan kanan Bang Ares membawa barang belanjaanku, sedangkan tangan kirinya bertaut dengan tanganku. Senyuman terus tersungging di bibirnya.
Aku menyukai caranya memperlakukanku. Hubungan kami bukan hanya soal interaksi fisik, berapa sering kami saling bersentuhan dan berciuman. Ciuman di bibir bahkan hanya beberapa kali, selebihnya hanya sekedar ciuman di pipi atau di kening. Tak ada seks sama sekali. Dia membuatku merasa nyaman dan dihargai. Haruskah aku benar-benar membuka hati untuknya? Apakah hatiku memang sudah siap untuk menjalin hubungan baru?