Aku sudah membolak-balik posisi tidurku, mulai dari telentang, tengkurap, miring, bahkan sampai menutup telingaku menggunakan bantal. Namun, kehebohan dua makhluk tak tahu malu di kamar sebelah tetap terdengar dan begitu mengganggu. Oh, Tuhan. Ini bahkan sudah lewat tengah malam. Tak bisakah mereka agar tidak terlalu heboh? Desahan dan geraman mereka benar-benar membuatku tidak bisa tidur. Menjijikan!
Sebenarnya mereka sedang bercinta atau apa? Dulu, aku bahkan tak seheboh itu ketika having fun dengan Bang Dika. Argh! Sial! Haruskah aku merobohkan pintu kamar Bang Dika dan memberitahu agar menggunakan sedikit urat malu mereka? Bagaimanapun, di apartemen ini masih ada aku. Tidakkah mereka berpikir kalau-kalau olahraga malam mereka terdengar olehku?
Aku berbaring telentang sambil menatap langit-langit. Meratapi nasib dan menikmati rasa kesepian dengan diiringi suara orang tengah bercinta. Kenapa aku semenyedihkan ini? Andai dulu aku bisa mengendalikan perasaanku, pasti aku tidak akan berakhir merana seperti ini. Setetes air mata lolos begitu saja.
"Naa kangen Abang," bisikku sembari terisak.
Andai waktu bisa diputar, aku ingin kembali ke masa pada saat mulai jatuh cinta kepada Bang Dika. Tapi kapan? Aku bahkan tak tahu kapan perasaan itu mulai tumbuh. Perasaan itu muncul tanpa kusadari, dan sudah terlalu dalam ketika aku menyadarinya.
***
"Selamat pagi, Cantik."
Pagi ini, Bang Ares menyambutku dengan senyum sumringah yang terukir di wajahnya.
"Pagi juga, Bang," balasku dengan senyum yang agak dipaksakan. Dia membukakan pintu untukku. Setelah aku masuk dan memastikan bahwa sabuk pengamanku terpasang dengan baik, dia berjalan mengitari mobil, lalu duduk di kursi kemudi.
Bang Ares terlihat sangat tampan. Ia mengenakan celana jeans dan kemeja denim yang dirangkap dengan hoodie. Namun, ketampanan itu tak cukup untuk membuatku yang hanya bisa tidur kurang dari tiga jam kembali segar.
"Kamu kenapa kelihatan lemes gitu, Sayang?" tanya Bang Ares tanpa mengalihkan pandangannya dari jalanan.
Aku menggeleng lemah. "Nggak apa-apa, Bang. Semalem nggak bisa tidur. Ngantuk," kataku sembari menguap.
"Kemarin gimana jalan sama Juna? Seru?" tanyanya lagi.
"Hmm," gumamku sembari mengangguk-angguk. "Ketemu sama temen-temen Juna juga," tuturku sambil menggosok mata.
"Jangan dikucek kayak gitu, Sayang. Nanti iritasi," cegah Bang Ares. Tangan kirinya meraih tanganku.
"Kamu udah sarapan?"
Aku hanya mengangguk sembari bergumam mengiyakan.
"Naa masuk dulu, Bang," aku berpamitan pada Bang Ares. Pemuda beriris biru itu mengangguk, kemudian mengusap puncak kepalaku.
"Belajar yang rajin, Sayang," katanya, kemudian mengecup keningku.
Aku berlari masuk ke sekolah. Ketika sedang berjalan menuju kelas, terdengar suara Juna memanggilku. Aku berhenti, lalu menoleh ke belakang. Tetanggaku itu berlari menghampiriku dengan cengiran lebarnya. Jarang sekali melihat dia tersenyum seperti ini.
"Hai. Selamat pagi tetangga jauh," sapaku.
"Hai. Selamat pagi juga tetangga yang dikira saudara," sahutnya, kemudian kami tergelak. Aku dan Juna berjalan menuju kelas bersama-sama.
"Bahagia bener, Jun? Ada kabar gembira apa, nih? Lo dapet cewek baru, ya?" aku menebak.
Juna mendecakkan lidahnya. "Please, ya, gue masih jomblo," sahutnya. Dia merangkulkan lengannya di pundakku, lalu kembali berkata, "Gue seneng ketemu sama lo lagi. Dan gue bahagia bisa deket sama lo."
Aku terkikik. "Apaan, sih, lo? Lebay, deh. Kita, kan, dari dulu ketemu terus tiap hari. Dari kecil malah," kataku.
"Tapi nggak bisa sedeket ini, Naa. Bahkan, beberapa bulan lalu kita masih kayak orang yang nggak saling kenal."
Benarkah? Mungkin saja iya. Karena, selama ini aku selalu menjauhi lawan jenis demi menjaga perasaan Bang Dika. Aku tidak ingin membuat dia marah. Namun, apakah separah itu?
Kami sekarang sudah memasuki kelas. Dan, begitu menginjakkan kaki di ruang kelas, seluruh mata langsung tertuju pada kami. Juna dengan santainya melenggang, mengajakku duduk di bangkunya. Dia berbisik, "Cuekin aja. Nggak perlu dengerin omongan orang."
"Maafin gue, Jun," gumamku.
Dahi Juna berkerut. "Maaf? Buat apa? Emang lo salah apa sama gue?" tanya cowok itu dengan tatapan bingung.
"Yaa, karena selama ini gue selalu jauhin lo. Pasti lo bingung kenapa gue lakuin itu," ujarku.
Juna tersenyum lembut. "Nggak apa-apa, Naa," katanya penuh pengertian. "Eh, tapi kenapa tadi Bang Ares yang jemput lo? Kok, bukan Bang Dika?" sambungnya.
Aku menyumpah dalam hati. Apa dia melihat ketika Bang Ares mencium keningku? Oh, ya Tuhan. Selain Juna, apa ada orang lain yang melihatnya? Andai saja aku bisa mengubah diriku menjadi tak terlihat, itu pasti akan sangat membantu.
"Ng ... Bang Dika sibuk," sahutku berusaha untuk tidak terlihat gugup.
Juna hanya manggut-manggut. "Oh, iya, Naa. Gue ada titipan dari Papa buat lo," kata Juna sembari mengeluarkan bingkisan dari tasnya.
"Om Anton di rumah?" tanyaku.
Juna menyerahkan sebuah kotak kecil yang dibungkus kertas kado berwarna merah muda padaku.
"Iya. Baru pulang kemarin. Katanya, sih, sekarang bakalan lebih banyak di Jakarta. Perusahaan yang di Kalimantan udah dipegang sama orang kepercayaannya. Paling cuma beberapa bulan sekali ke sana buat ngecek. Papa juga minta aku buat ngajak kamu main ke rumah," terangnya.
"Emm ... boleh. Besok-besok aku main, deh. Sekalian ke rumah Ibu. Kangen Ibu sama Zico. Gue mau ngucapin makasih, karena udah sering banget dikasih hadiah sama Om," ujarku.
"Beneran?" tanya Juna dengan mata berbinar-binar.
"Yaa ...." kataku.
***
Aku menutup kedua telingaku menggunakan bantal. Ya Tuhan. Kenapa mereka berdua berisik sekali, sih? Apa mereka sedang mengejekku? Desahan, erangan, dan lenguhan mereka sungguh memuakkan. Ini bahkan sudah pukul satu dinihari, tetapi kedua manusia itu belum berhenti membuat kehebohan.
Siapa yang kumaksud? Oh, tentu saja Swarga Mahardika dan kekasih barunya. Aku tidak mau dan tidak sudi mengucapkan namanya. Tidak, aku tidak cemburu kepada gadis itu. Aku-membencinya!
Aku sudah melompat turun dari ranjang, berniat untuk menggedor pintu kamar Bang Dika dan memintanya untuk sedikit lebih tenang. Namun, langkahku diinterupsi oleh dering ponselku. Ketika kulihat, tertera nama Bang Ares di layar, yang entah sejak kapan berganti nama menjadi Masa Depanku. Aku menepuk jidat. Astaga. Aku tidak mengira kalau Bang Ares menjadi sealay ini.
"Selamat malam, Cantik," sapa Bang Ares begitu aku menerima panggilannya.
"Malam juga, Bang," sahutku.
"Kamu belum tidur?" tanya Bang Ares di seberang sana.
Aku memutar bola mata. "Siena udah tidur. Yang ngangkat teleponnya kuntilanak," jawabku.
Terdengar Bang Ares tergelak. "Kamu bisa aja, Naa. Abang cuma mau mastiin. Tadi pagi kamu bilang semalem nggak bisa tidur. Emang kam—itu suara apa?" tanya Bang Ares.
Aku menyumpah pelan. Apa suaranya terdengar oleh Bang Ares? Arrgh! Bang Dika sialan!
"Ng ... itu ... itu ...." aku tak tahu harus menjawab apa.
Hening. Aku mengecek ponselku, memastikan kalau teleponnya masih tersambung.
"Jadi itu yang bikin kamu nggak bisa tidur?" tanya Bang Ares setelah beberapa saat tak bersuara.
Aku hanya bergumam membenarkan. Oh, Tuhan, betapa memalukannya ini.
"Ya, udah. Mulai sekarang, selama kamu belum bisa tidur, Abang bakal temenin sampai kamu ketiduran. Mau voice call atau video call, suka-suka kamu. Gimana? Atau kamu mau pulang ke rumah Aunty aja?" tanya Bang Ares dengan nada sangat lembut.
Kenapa Bang Ares sebaik ini? Padahal, dia tahu kalau aku hanya menjadikannya pelarian. Bang Ares mengetahui perasaanku pada Bang Dika, tetapi dia tetap rela untuk berada di sisiku. Aku merasa tak pantas mendapatkan cinta dan kasih sayang sebesar itu dari Bang Ares. Bagaimana jika aku tidak bisa membalas perasaannya?