Chereads / Bedbrother / Chapter 23 - Rumit

Chapter 23 - Rumit

"Masih inget pulang?"

Aku tiba di apartemen lewat tengah malam. Bang Ares ingin mengantarku sampai ke atas, tetapi aku menolaknya. Dan sekarang aku mendapati Bang Dika tengah duduk di ruang tamu sembari menatapku sinis.

Aku mengabaikannya dan berjalan menuju ke kamarku, tetapi tiba-tiba Bang Dika meraih sikuku, lalu menariknya dengan kasar. Napasnya memburu, matanya menatap marah padaku.

"Kalo ditanya, tuh, jawab! Punya mulut buat ngomong!" teriak Bang Dika tepat di telingaku.

"Emang kenapa kalo gue balik ke sini? Nggak boleh? Bukannya lo yang bilang apartemen ini dibeli atas nama gue?" Aku balik bertanya dengan nada sedatar mungkin.

"Kalo lo mau tetep tinggal di sini, dengerin perkataan gue. Lo.dilarang.keluar.dari.apartemen.setelah.lewat.jam.delapan.malam!" desisnya, kemudian menyentakkan tanganku dengan kasar, menyebabkan aku sedikit terhuyung.

Aku menarik napas panjang, lalu berusaha tersenyum. "Oke," kataku singkat, kemudian berbalik dan masuk ke kamar. Aku membanting pintu sehingga menimbulkan bunyi cukup keras. Setelah berada di kamar, pertahananku kembali runtuh. Aku membekap mulutku agar tak ada suara isakan yang keluar.

Kenapa mencintai harus sesakit ini? Andai aku tahu akan berakhir seperti ini, takkan aku hiraukan perasaanku untuk Bang Dika. Akan kubiarkan cinta itu mati dengan sendirinya. Dan sikapnya beberapa hari lalu yang mengatakan kalau dia membalas perasaanku? Apa itu tak ada artinya? Kenapa dia yang sudah melimpahiku dengan begitu banyak cinta, tiba-tiba berubah menjadi sangat kasar?

Aku tak bisa mengerti apa pun. Segalanya terlalu gelap bagiku. Seperti mimpi itu, kegelapan menelanku secara perlahan dan membuatku kehilangan arah. Aku tersesat di dalam perasaanku sendiri. Di dalam labirin hubungan kami yang rumit.

***

"Naa, sini!"

Aku menoleh ke arah Juna yang tengah duduk manis di bangkunya. Dia melambaikan tangan, memintaku untuk mendekat.

"Ya? Kenapa, Jun?" tanyaku.

Dia menepuk kursi di sebelahnya, memintaku untuk duduk. Kemudian, dia mengeluarkan beberapa buku tulis dan menyerahkannya padaku.

"Ini catatan pelajaran selama lo nggak masuk, biar lo nggak perlu muter-muter nyari pinjeman buku. Sorry, gue nggak sempet nengokin lo ke rumah sakit. Jadwal les gue padat banget. Cuma ini yang bisa gue lakuin buat lo," Juna memaparkan alasan tanpa aku memintanya.

Aku tersenyum mendengar ketulusan dari ucapannya. "Iya, nggak apa-apa. Gue ngerti, kok," kataku. Aku mengambil buku dari Juna, "Thank's, ya? Nanti gue salin dulu, mungkin besok baru bisa gue balikin. Nggak apa-apa, kan?" tanyaku.

"Nggak perlu dibalikin. Gue sengaja bikin catatan di buku terpisah buat lo. Biar nggak perlu capek-capek nyalin," katanya.

Aku tertegun mendengar perkataannya. Kenapa sikapnya jadi manis begini, sih? Kemudian, aku reflek memeluknya. "Makasih, Jun," pekikku.

Cahaya flash dari ponsel menyadarkan kami. Salah satu teman sekelasku tengah nyengir sembari menunjukkan foto kami yang tengah berpelukan. Aku mendelik pada gadis itu.

"Woy! Ada berita baru! Juna sama Siena pacaran!" teriak gadis itu sembari berlari keluar.

"Nenaaa!"

Terlambat, dia sudah berlari entah ke mana ke luar kelas. Aku mengumpat pelan, kemudian beralih menatap Juna dengan perasaan tak enak.

"Jun, sorry. Gara-gara gue, lo jadi dapet masalah," sesalku.

Bukannya marah, Juna justru tersenyum. "Nggak apa-apa, Naa. Yang namanya gosip, nanti juga reda sendiri kalo nggak kita tanggepin. Santai aja," ujarnya.

Aku terkesan dengan ketenangan Juna dalam menyikapi sesuatu. Seperti Bang Ares yang selalu menularkan keceriaannya padaku, Juna juga memiliki ketenangan dan kedewasaan yang sangat jarang kutemui, apalagi di usianya sekarang. Aku nyaman berada di dekat Juna, sama seperti ketika aku sedang bersama Bang Ares.

"Naa, kok, tumben-tumbenan lo lagi pake kacamata? Mata lo juga keliatan sembap? Lo baik-baik aja?"

"Eh?" Aku menggaruk tengkukku yang tak gatal, berusaha mencari alasan untuk keadaanku. Tidak mungkin aku berkata jujur, kan? Cukup Bang Ares yang tahu keadaan sebenarnya.

"Anu ... semalem gue kurang tidur. Yaa ... iya, kurang tidur," jawabku dengan nada kurang meyakinkan.

Juna ber-oh ria, sembari mengangguk-angguk. "Lain kali, tidurnya jangan kemaleman. Apalagi, lo baru sembuh," katanya, lalu mengusap puncak kepalaku.

Oke, Siena. Seharusnya nggak susah buat move on. Ada Bang Ares, ada Juna. Mestinya lo bisa cepet berpindah haluan.

Aku hanya mengangguk sembari tersenyum.

Tiba-tiba, Juna menarik pipiku, lalu berkata, "Lo cantik banget kalo lagi senyum gini."

"Eh?" Aku mengerjap. Tidak biasanya dia memujiku seperti ini.

Juna terlihat salah tingkah. Dia menggaruk-garuk dahinya sambil tersenyum kikuk. "Ng ... bukan apa-apa. Lupain aja," gumamnya.

"Ya, udah. Gue balik ke bangku gue dulu. Makasih buat catatannya," kataku sembari mengangkat buku catatan pemberian Juna. "Oh, iya. Nanti lo ada waktu nggak?" tanyaku.

"Hari ini free, sih. Nggak ada les. Kenapa?"

"Gue mau traktir lo. Anggep aja sebagai bentuk terimakasih gue atas buku catatan ini. Gimana?"

"Boleh. Sekalian ke mall gimana? Gue mau nyari buku," ajaknya.

Aku terdiam sebentar, lalu mengangguk. "Oke," kataku.

***

Aku mengempaskan tubuh di permukaan beton berlumut sembari menatap langit. Kuisap rokokku kuat-kuat, kemudian mengepulkan asapnya ke udara. Aku menghela napas panjang. Betapa muaknya aku melihat Bang Dika mengumbar-umbar kemesraan dengan kekasih barunya itu.

Entah sejak kapan aku mulai kecanduan merokok. Aku bukan perokok berat. Berawal dari rasa penasaranku ketika melihat Bang Dika merokok, kemudian aku mencobanya secara sembunyi-sembunyi. Aku hanya melakukannya pada saat merasa benar-benar tertekan. Tidak ada yang mengetahui kebiasaanku ini, termasuk Bang Dika.

Beberapa menit yang lalu, Bang Dika kembali mengunggah fotonya dengan Dara. Lengkap dengan senyuman mereka yang secerah mentari. Dia sama sekali tak memedulikan aku yang sudah lelah menangis sejak kemarin. Sekarang, aku duduk di atap sekolah seorang diri dengan perasaan merana sambil mengasihani diri sendiri.

Betapa kehidupanku sudah sangat berubah. Salah! Bukan hidupku yang berubah, tetapi Bang Dika yang berubah. Karena Bang Dika adalah hidupku. Setidaknya, aku selalu menganggap dia segalanya. Sekarang, ada lubang besar menganga dalam hatiku. Lubang tempat di mana seharusnya Bang Dika berada. Aku mengusap air mataku kasar.

Aku menyalakan batang rokok ke tiga. Aku bahkan enggan kembali ke kelas saat bel tanda istirahat berakhir berbunyi. Datang ke kelas dengan kondisiku yang kacau seperti ini sama saja mempermalukan diri sendiri.

"Sejak kapan lo ngerokok?"

Aku mendongak. Juna berdiri menjulang di hadapanku. Tatapannya dingin, ekspresinya menggelap. Aku melengos, tak mengacuhkan keberadaannya.

"Siena, jawab pertanyaan gue! Sejak kapan lo ngerokok?" Nada bicara Juna mulai meninggi. Dia merebut rokok di tanganku, kemudian menginjaknya.

Aku mengembuskan napas kasar, kemudian berdiri dan menatap Juna tak kalah tajam.

"Barusan. Kenapa? Lo mau ngadu ke guru? Atau ke Ibu? Silakan aja. Gue nggak peduli!" kataku dingin.

Kedua tangan Juna mencengkeram bahuku dengan kencang. "Lo ada masalah apa? Gue nggak pernah liat lo sekacau ini. Mata lo sembap, lo juga ngerokok. Lo bisa cerita sama gue, tapi jangan lampiasin ke hal negatif kayak gini."

"Nggak usah sok peduli sama gue!"

Aku melepaskan tangan Juna, mengambil sebatang rokok, lalu menyalakannya. Baru aku akan mengisapnya, Juna kembali merebutnya dariku. Aku baru saja hendak memrotes tindakannya, tetapi tiba-tiba dia membungkam mulutku dengan mulutnya—membuatku membeku seketika.