Chereads / Bedbrother / Chapter 19 - Kegelapan

Chapter 19 - Kegelapan

Aku berdiri di sebuah tempat. Aku tak tahu sedang berada di mana. Langit malam begitu pekat—tanpa bulan ataupun bintang. Aku melihat ke sekeliling, hanya ada kegelapan yang pekat. Kutajamkan pendengaranku.

Ada debur suara ombak, berarti aku berada di dekat laut. Namun, kenapa aku bisa berada di sini? Bukankah tadi aku tidur di apartemen bersama Bang Dika?

Bang Dika? Di mana dia?

Aku berteriak memanggilnya. Namun, tak ada yang menyahut. Aku berusaha memanggil Ibu, Mbak Lana, Bang Nico, Bang Ares, bahkan Ayah yang jelas-jelas sudah meninggal. Suaraku bahkan menghilang bak ditelan kegelapan.

Tubuhku menggigil karena angin yang begitu kencang dan juga rasa takut yang merayap perlahan menguasaiku. Aku memeluk tubuhku sendiri, kemudian menyadari kalau aku memakai dress tadi malam.

Kenapa bisa? Bukankah aku sudah berganti pakaian? Sebenarnya apa ini?

Aku kini hanya duduk sembari memeluk lutut, berharap ada yang datang menyelamatkanku. Aku terisak.

Kudengar suara langkah kaki mendekat ke arahku. Aku mendongak, kemudian kulihat Bang Dika berdiri di hadapanku dengan jas yang sama seperti semalam. Masih sama rapinya, tetapi ada yang beda dari tatapannya. Dia terlihat dingin.

Ah, mungkin hanya perasaanku.

Aku mengembuskan napas lega, kemudian berdiri, lalu memeluknya.

"Abang kenapa baru dateng? Naa takut sendirian di sini," kataku masih dengan memeluknya erat. Namun, tak seperti biasanya, Bang Dika bergeming. Dia tak membalas pelukanku sama sekali, ataupun menggumamkan kata-kata untuk menenangkanku.

Aku menarik diri, kemudian mendongak menatap wajahnya. Ekspresinya datar, dengan tatapan mata yang terkesan ... dingin? Jadi, tadi bukan hanya perasaanku? Bang Dika memang terlihat berbeda. Dia tampak berjarak, dingin, dan tak ramah.

"Abang kenapa diem aja?" tanyaku bingung.

Bang Dika menatapku, kemudian tersenyum miring. "Lalu, kau ingin aku berbuat apa, Sayang?" katanya penuh penekanan.

Tiba-tiba, air mataku menggenang.

"Kenapa Abang ngomong kayak gitu? Naa daritadi teriak-teriak manggil Abang, tapi kenapa diem aja? Naa mau pulang."

Suaraku bergetar. Entah sejak kapan, air mataku sudah membanjiri wajah. Aku meraih tangan Bang Dika untuk mengajaknya pulang, tetapi dia menepis tanganku dengan kasar.

"Abang kenapa, sih? Kenapa jadi kasar? Abang lupa kemarin bilang kalau Abang cinta sama Naa?" isakku.

Jika Bang Dika biasanya akan terus memelukku ketika melihatku menangis, kali ini dia justru tertawa. Aku semakin tidak mengerti dengan perubahan sikapnya yang tiba-tiba.

"Cinta?" Bang Dika mengucapkannya dengan nada mengejek. Dia memasukkan kedua tangannya di saku celana, kemudian memandangku dari ujung rambut sampai ujung kaki dengan tatapan mencemooh. Baru kali ini aku merasa tidak nyaman saat ditatap olehnya.

Bang Dika mengusap wajahku dengan lembut. Sejenak, dia membuatku terlena akan sentuhannya.

Suara tawanya kembali meledak. Setelah tawanya reda, ia menatapku dengan ekspresi jijik, seolah aku ini merupakan seonggok kotoran yang harus disingkirkan. Bang Dika mendekatkan wajah, hingga aku bisa merasakan embusan napasnya.

"Kau benar-benar menganggap serius perkataanku?" tanyanya dengan nada geli.

"Y-ya," jawabku dengan susah payah.

"Oh, ayolah, Sayang. Jangan bodoh dan berpura-pura polos seperti itu. Kita sama-sama tahu, hubungan ini tak lebih dari sekadar memenuhi kebutuhan masing-masing," katanya. "Kau membutuhkanku dan uangku, sedangkan aku menginginkan tubuhmu," bisiknya, membuat duniaku seketika hancur.

"A-apa maksud Abang? Abang cuma bacanda, kan? Abang nggak serius, kan?"

Bang Dika tersenyum sinis. "Ya. Aku serius dengan kata-kataku. Aku hanya menginginkan tubuhmu. Pria butuh seks, bukan?"

Aku menggeleng. Air mataku mengalir semakin deras.

"Bohong! Abang pasti cuma mau ngerjain aku! Nggak lucu!" raungku.

"Kenapa kau bebal sekali? Aku sudah berkata jujur. Dan sekarang, aku sudah tidak membutuhkanmu lagi."

Dia mendorongku. Aku berusaha meraih tangannya, tetapi jurang kegelapan seolah menarikku dan enggan melepaskan tubuhku. Aku jatuh bersama dengan hatiku yang sudah hancur tak bersisa. Sebelum kegelapan benar-benar menelanku, aku melihat raut wajahnya berubah. Bang Dika terlihat bersedih. Dia menangis.

***

"Sayang ... bangun. Hey, Sayang?"

Aku tersentak. Aku memandang sekeliling dengan panik. Ini di kamarku? Napasku terengah-engah, keringat membanjiri tubuhku, tetapi aku menggigil kedinginan. Dan aku berada di pelukan Bang Dika. Dia menatapku khawatir. Bahkan, matanya terlihat basah. Apa Bang Dika menangis? Kenapa?

"Abang," bisikku parau.

Aku mengusap air matanya. Kupeluk tubuhnya erat, kemudian mulai meraung.

"Tenang, Sayang, ada Abang di sini. Nggak perlu takut," bisiknya pelan.

Ya. Ini Bang Dika yang kucintai. Dia tidak mungkin melakukan hal seperti di dalam mimpi. Dari dulu, dia sangat menyayangiku. Dia akan melakukan apapun demi melihat senyumanku. Bang Dika tidak mungkin berbuat jahat padaku.

"Bang, dingin. Kenapa Naa ada di kamar?"

Bang Dika semakin merapatkan tubuh kami. "Kamu demam, jadi Abang pindahin ke kamar. Abang baru mau telpon dokter, tapi kamu malah teriak-teriak sambil nangis. Abang takut terjadi apa-apa sama kamu," ujarnya dengan suara parau.

"Abang nangis? Maaf, Naa bikin Abang khawatir," kataku sembari membenamkan wajahku ke dada bidangnya.

"Abang ambilin obat dulu buat kamu, ya? Biar demam kamu turun."

Aku menggeleng. Tanganku mencengkeram bagian depan bajunya. "Nggak mau. Aku nggak mau sendirian. Aku takut."

"Takut kenapa, Sayang? Sebenernya kamu mimpi apa?"

Kuceritakan semua yang kulihat dalam mimpiku. Bagaimana takut dan hancurnya aku ketika melihat tatapan Bang Dika. Bagaimana kata-katanya menghantam dadaku, kemudian membunuh diriku. Aku kembali terisak-isak ketika menuturkannya.

"Abang nggak akan jahatin aku, kan? Abang janji nggak bakal ninggalin aku sendirian? Aku takut," isakku.

"Ya, Sayang. Abang janji akan lakuin apapun yang terbaik buat kamu," bisiknya.

"Abang janji akan tetap nemenin aku? Abang nggak akan pergi?" tanyaku mendesak.

Bang Dika tersenyum lembut, kemudian mencium keningku. "Iya, Sayang. Abang janji akan usahain yang terbaik buat kamu," katanya. "Sekarang, biarin Abang ambil obat atau kamu mau dirawat di rumah sakit?"

Aku mengerucutkan bibir dan terpaksa mengangguk. "Jangan kelamaan. Naa takut sendirian," pintaku.

"Iya, Sayang. Abang cuma ke dapur, kok."

Bang Dika mengacak rambutku pelan, lalu mencium keningku, lagi.

***

"Abaaang!" aku berteriak-teriak memanggil Bang Dika. Aku tak menemukannya ketika terbangun. Padahal, dia sudah berjanji akan berada di sisiku ketika aku membuka mata.

Aku mulai terisak.

"Abang jahat. Abang bohongin Naa," kataku di tengah-tengah isakan.

Aku menjerit ketika pintu kamar mendadak terbuka dengan keras. Bang Dika berdiri di sana dengan kekhawatiran terlihat jelas di wajahnya. Rambutnya masih basah, dan dia bertelanjang dada. Dia menyerbu ke arahku, kemudian memelukku.

"Sayang, maafin Abang. Tadi Abang mandi sebentar. Maaf, ya?"

Bang Dika mengusap rambutku sembari terus menggumamkan kata-kata untuk menenangkanku.

"Badan kamu udah nggak sepanas tadi. Minum obat lagi, ya? Tapi kamu mesti makan dulu. Abang udah bikinin bubur buat kamu," tuturnya lembut.

"Aku nggak mau makan. Nggak laper," tolakku.

"Kalo gitu kita ke dokter aja gimana?" kalimat penuh ancaman itu terlontar dari mulut Bang Dika dengan nada yang sangat manis.

Aku mencebik, kemudian menatapnya malas. "Mainnya ngancem mulu," gerutuku.

Bang Dika hanya terkekeh. Dia membantuku bangun dan mencuci muka, kemudian keluar untuk mengambil makanan dan obatku.

"Gimana? Enak?"

Aku mengangguk sambil memaksakan senyum, meskipun sebenarnya lidahku tak bisa merasakan apapun selain pahit. Bahkan, air putih pun terasa pahit di lidahku. Baru beberapa suapan, perutku bergejolak. Makanan yang baru saja kutelan mendesak minta agar segera dikeluarkan.

Aku berlari ke kamar mandi, lalu memuntahkan semua isi perutku. Bang Dika dengan sabar memijit tengkukku tanpa mengeluh atau terlihat jijik sedikit pun.

"Udah?" tanyanya lembut.

Aku mengangguk lemah. Baru saja hendak beranjak ke wastafel untuk membasuh mulut, tiba-tiba kepalaku terasa pusing. Segalanya mengabur, berubah menjadi warna putih. Setelah itu, aku tak ingat apa-apa lagi.