"Kamu yakin?"
Mungkin Ibu sudah menanyakan hal itu lebih dari dua puluh kali sejak aku berkata ingin pulang ke apartemen. Hari ini aku diizinkan pulang setelah dirawat selama lima hari di rumah sakit. Aku mengangguk yakin, kemudian tersenyum agar Ibu sedikit tenang. Aku paham akan kekhawatirannya padaku, apalagi dengan tetap bungkamnya Bang Dika. Namun, ada hal yang harus kuselesaikan. Aku harus meminta penjelasan padanya.
"Tapi abangmu sibuk terus, loh. Nanti siapa yang jagain kamu? Siapa yang ngurusin makanan kamu? Ibu nggak bisa dateng tiap hari ke sana ...." kata Ibu panjang lebar, masih berusaha mengubah pemikiranku.
"Bisa pesen online, Bu—"
"Dan aku siap antar-jemput Siena selama Dika masih sibuk," potong Bang Ares yang baru saja tiba. Dia nyengir lebar padaku, kemudian beralih menatap Ibu. "Aunty tenang aja, ada Ares yang bakal jagain Siena," sambungnya, lalu mencium punggung tangan Ibu.
"Tapi kamu, kan, sibuk juga. Aunty nggak mau ngerepotin kamu terus-terusan," tukas Ibu.
"Nggak ngerepotin, kok. Apa, sih, yang nggak kalo buat calon istri. Ibu mau, kan, punya menantu kayak aku?" kata Bang Ares sembari menggerak-gerakkan alisnya naik turun, diikuti seringai nakal.
Aku memelototinya, tetapi dia justru tergelak.
Ibu menjewer telinga Bang Ares, membuatnya memekik kesakitan, tetapi masih bisa tertawa-tawa. Dasar aneh!
"Kamu ini, ya. Dari dulu hobinya godain Siena terus. Lihat, tuh, wajah Siena udah kayak kepiting rebus," ujar Ibu malah ikut meledekku.
Aku mengerucutkan bibir dengan wajah ditekuk. "Nyebelin, ih. Dari dulu pada hobi banget bikin aku bete," gerutuku.
Andai tidak sedang berada di rumah sakit, mereka pasti sudah mengejekku habis-habisan dan baru akan berhenti ketika aku menangis.
***
"Kamu mau mampir beli makan dulu?" tanya Bang Ares.
Kami dalam perjalanan kembali ke apartemen. Aku sudah mengabari Bang Dika, tetapi dia tetap tak mau membalas. Sebenarnya dia kenapa?
Aku menggeleng. "Nggak, Bang. Makasih. Gampang, kalo nanti Naa laper bisa pesen online," sahutku.
Bang Ares hanya mengangguk-angguk. Kami terdiam cukup lama. Bang Ares fokus menyetir, sedangkan aku sibuk dengan pikiranku tentang Bang Dika.
"Naa?"
"Hn?"
Aku menoleh pada Bang Ares yang kini tengah memperhatikanku.
"Kamu nggak apa-apa?" tanyanya dengan ekspresi khawatir yang tidak disembunyikan. Begitulah Bang Ares yang kukenal, tak pernah menyembunyikan apa pun yang ia rasakan. Dia selalu mempertanyakan segala yang menurutnya mengganjal.
"Yaa ... kenapa?" Aku menatap sekeliling. Ternyata kami sudah berada di parkiran apartemen. Aku bergegas melepas sabuk pengaman, tetapi Bang Ares tiba-tiba meraih tanganku.
"Jangan terlalu sering ngelamun. Nggak baik," katanya lembut. Tangannya bergerak melepaskan sabuk pengaman, tetapu bukannya mundur, dia malah mencondongkan tubuhnya ke arahku.
"Kalau ada apa-apa, kabarin Abang. Abang akan usahain selalu ada buat kamu," bisiknya, kemudian melumat bibirku.
Aku membeku. Dadaku bergemuruh. Andai Bang Dika tidak lebih dulu menguasai hatiku, aku akan dengan mudah jatuh cinta padanya.
***
"Kamu baik-baik di sini. Kalo ada apa-apa, kabarin Abang, Ibu, Bang Nico, atau siapa pun itu. Jangan telat makan, jangan lupa minum obat, istirahat yang cukup ...."
Aku menatap Bang Ares yang tengah memberikan seminar tentang apa yang harus dan tidak kulakukan. Sesekali mengangguk dan bergumam agar dia tahu kalau aku masih mendengarkannya.
"Abang pergi dulu. Jaga diri baik-baik," pungkasnya, kemudian melangkah keluar dari apartemen.
Aku menghela napas, kemudian kembali ke kamarku. Aku membuka laptop, memeriksa email yang kebanyakan isinya hanya promo-promo buku. Kapan Bang Dika pulang?
Ketika hampir terlelap, aku mendengar suara pintu depan terbuka. Siapa? Bang Dika? Ya, tentu saja. Hanya aku dan Bang Dika yang memegang kartu akses apartemen ini. Aku segera turun dari tempat tidur dan berlari keluar kamar untuk menyambut Bang Dika.
"Bang Di ...."
Aku terdiam. Dia benar-benar memberikanku kejutan yang luar biasa. Kami cukup lama saling menatap satu sama lain, kemudian Bang Dika tersenyum. Namun, senyuman Bang Dika bukan untukku, melainkan untuknya—gadis itu. Gadis yang kuketahui bernama Dara itu membalas senyuman Bang Dika tak kalah manis dengan tangan mengenggam erat tangan Bang Dika.
Apa maksudnya? Kenapa Bang Dika membawa gadis lain ke sini? Jika mereka hanya berteman, tidak mungkin akan semesra ini. Apalagi tatapan itu. Beberapa hari yang lalu itu masih menjadi milikku. Sekarang, Bang Dika menatap gadis itu dengan cara yang sama.
"Naa, lo kapan pulang?" tanya Bang Dika. Aku kembali tertegun dengan nada bicaranya yang kembali seperti biasa, ketika dia belum menyatakan perasaannya padaku.
Aku mengerjap, berusaha menahan air mataku agar tidak tumpah. Kemudian, sedikit menarik ujung bibirku membentuk sebuah senyuman.
"Belum lama, Bang," jawabku lirih.
Jantungku seperti di remas oleh tangan tak kasat mata. Sakit.
Gadis itu berjalan mendekat padaku, kemudian menarikku ke dalam pelukannya. "Maaf, ya, aku nggak sempet jenguk kamu pas masih di rumah sakit. Abisnya, Dika, sih." Dara melirik ke arah Bang Dika dengan senyum malu-malu yang dibalas seringaian.
Apa-apaan! Aku justru kini berdiri seperti orang tolol sembari menyaksikan drama menjijikan dari dua makhluk ini?
"Oh, nggak apa-apa. Toh, aku udah sembuh ini. Nggak masalah," balasku. "Emm ... maaf, Kak. Kalo udah nggak ada yang perlu diomongin, aku permisi ke kamar dulu, ya? Aku capek, mau istirahat," pungkasku.
Aku tak tahu berapa lama lagi sanggup mempertahankan senyuman dan sikap ramah yang palsu ini. Aku berbalik, tanganku sudah berada di handle pintu, kemudian perkataan Bang Dika menghantamku.
"Dia Dara, cewek gue. Gue harap, lo bisa hormat dan sopan sama dia. Karena cepat atau lambat, dia bakal jadi kakak ipar lo."
Aku mencengkeram handle pintu. Mataku terpejam. Aku berusaha menghirup udara yang tiba-tiba terasa menyesakkan. Aku menarik napas panjang, kemudian berbalik sembari memasang senyuman semanis mungkin.
"Oke. Selamat, Bang. Abang nggak perlu khawatir, aku nggak akan berbuat kurang ajar, kok. Apalagi, Abang kayaknya cinta banget sama dia, sampe lupa punya adek yang lagi dirawat di rumah sakit. Aku permisi dulu, capek. Selamat siang, Bang Dika, Kak Dara," kataku, kemudian masuk ke kamar secepat mungkin dan mengunci pintu dari dalam.
Aku berjalan menjauh dari pintu. Tubuhku merosot tepat di samping tempat tidur. Aku bahkan hanya bisa menangis tanpa suara. Semuanya sudah berakhir. Aku sudah mati bersamaan dengan Bang Dika yang dengan mudahnya mengkhianatiku, kemudian mengenalkan kekasih barunya padaku.
***
Aku mengabaikan Dara yang sedari tadi mengetuk pintu, memintaku untuk makan malam. Apa pedulinya? Dia hanya sedang mencari muka di hadapan Bang Dika. Sok baik. Apa dia akan tetap sebaik dan seramah itu padaku jika tak ada Bang Dika di sini? Belum tentu, kan? Bang Dika pasti tak membalas pesan-pesanku, tak mengangkat telponku, dan tak mengunjungiku selama di rumah sakit karena hasutan cewek itu.
"Dika, nggak usah kayak gitu. Jangan gangguin Siena, biarin dia istirahat."
Drama apa lagi ini?
Kemudian, terdengar ketukan pintu yang cukup keras.
"Siena, gue tau lo itu nggak tidur. Cepet keluar, makan malem. Gue nggak mau Ibu berpikir yang nggak-nggak sama gue kalo lo sampe sakit lagi. Apalagi, Dara udah capek-capek masakin buat lo ...."
Aku mendongak ketika ponselku berdering. Tertera nama Bang Ares di sana. Aku menekan ikon telepon berwarna hijau untuk mengangkat panggilan.
"Malam, Princess. Lagi apa?"
"Bang Ares ...." panggilku dengan suara parau.
"Loh, kamu kenapa nangis?" tanya Bang Ares dengan nada bicara meninggi.
"Aku—Bang Dika—dia jahat," kataku sembari sesenggukan.
"Oke, jangan nangis lagi, Sayang. Abang ke situ sekarang juga. Kamu siap-siap, ya?"
Kemudian, panggilan terputus.