Chereads / Bedbrother / Chapter 20 - Jauh

Chapter 20 - Jauh

Aku mengernyit, berusaha menyesuaikan mataku dengan cahaya di sekitarku. Segalanya berwarna putih. Kepalaku berdenyut. Ya Tuhan, apa aku sudah mati?

Kutatap sekeliling. Kantong infus tergantung di samping kepala ranjangku. Bau desinfektan begitu menyengat hidung. Oke, aku terlalu dramatis. Butuh waktu cukup lama untukku menyadari kalau aku ternyata berada di rumah sakit. Di sampingku, Bang Dika tertidur dalam posisi duduk, tangannya dilipat di tepi tempat tidur dengan kepala bertumpu di atasnya.

Aku mengusap kepalanya lembut. Dia pasti sangat kelelahan. Bang Dika bergerak, kemudian mendongak menatapku. Dia tampak kuyu dengan kantung matanya terlihat menghitam.

"Kamu udah bangun? Tunggu, biar Abang panggil dokter," katanya, kemudian melesat keluar ruangan sebelum aku sempat mencegahnya.

***

"Apa yang kamu rasain? Mual? Pusing? Perut kamu sakit nggak?"

Hampir setiap sepuluh menit sekali Bang Dika melontarkan pertanyaan itu. Aku memang senang dengan perhatiannya, tetapi ini sangat berlebihan.

Aku menghela napas panjang. "Abang, aku nggak apa-apa. Abang istirahat, deh. Nanti kalo aku ngerasa nggak enak pasti bilang sama Abang."

Bang Dika mengembuskan napas kasar, kemudian duduk di sebelahku.

"Abang udah makan?" tanyaku.

Bang Dika menggeleng. "Belum. Nanti aja, nunggu Ibu dateng, biar ada yang jagain kamu," jawabnya.

Kurasakan sudut bibirku terangkat. Aku meraih tangannya, lalu meremasnya lembut. "Makan, Bang. Nanti kalo Abang ikutan sakit, siapa yang jagain Naa?"

"Nanti, Sayang. Bentar lagi Ibu dateng, setelah itu baru Abang keluar buat cari makanan," katanya, kemudian mengecup keningku lembut.

Ibu datang diantarkan oleh Bang Nico. Beliau bertanya panjang lebar penyebab aku jatuh sakit.

"Bang Dika nggak salah, Bu. Naa yang sering telat makan,kecapean juga sama kegiatan sekolah. Kan Ibu tau sendiri," kataku membela Bang Dika yang tengah dimarahi Ibu.

"Ka, bisa keluar sebentar? Abang mau ngomong sama kamu," kata Bang Nico. Dia menepuk pundak Bang Dika pelan, lalu keluar dari kamarku tanpa menunggu jawaban Bang Dika. Aku menangkap ekspresi enggan dan tidak nyaman dari Bang Dika.

Dia mendekatiku, lalu berkata, "Abang keluar bentar, ya? Nanti balik lagi. Ada kerjaan yang mesti diomongin sama Bang Nico."

Aku mengangguk, meski tak memercayai alasan yang digunakan Bang Dika barang sedikit pun, kemudian dia berlalu meninggalkan ruangan. Tak sampai setengah jam, Bang Dika dan Bang Nico sudah kembali ke kamarku.

Bang Dika menghampiriku, kemudian mencium keningku lama. Dia tersenyum lebar, tetapi matanya terlihat sedih. "Abang pergi dulu, Dek. Laper, mau cari makan. Ada kerjaan juga sebentar," katanya. "Lo baik-baik sama Ibu. Jangan nyusahin." Kemudian dia mengacak rambutku pelan.

Entah kenapa, aku merasakan de javu. Ini persis seperti saat kami masih kecil dulu. Bang Dika selalu berkata begitu saat dia akan pergi lama. Ketika Bang Dika berbalik, aku meraih tangannya.

"Abang jangan pergi," kataku. Air mataku menetes begitu saja tanpa bisa kukendalikan.

Bang Dika menatapku. Kesedihan terpancar jelas dari matanya, meskipun dia sudah berusaha menyembunyikan dengan senyuman palsunya itu. Aku tahu dia berbohong. Dan hatiku mengatakan, jika aku melepaskannya kali ini, dia takkan kembali.

"Hey, Abang cuma pergi bentar doang. Nggak usah nangis. Nanti, kalo kerjaan Abang udah kelar, Abang balik lagi ke sini," bujuknya.

Aku menggeleng. "Nggak boleh. Abang di sini aja. Abang pasti mau bohongin Naa."

Bang Dika terkekeh. "Kok, kamu mikirnya aneh-aneh, sih? Abang mau makan, setelah itu balik ke apartemen, siap-siap buat ngurus kerjaan."

"Beneran?"

"Iya," tegasnya.

"Tapi jangan kelamaan," pintaku.

"Iya, bawel. Ya udah, Abang pergi dulu, ya?" Kemudian, Bang Dika kembali mengecup keningku lama, sebelum dia berlalu pergi.

***

Sampai malam harinya, Bang Dika tak kunjung kembali. Aku sudah mencoba untuk menghubunginya, tetapi dia tidak mau mengangkat telpon ataupun membalas chatku.

"Abangmu lagi kerja, Sayang. Nanti kalau udah ada waktu, dia pasti ke sini," kata Ibu menenangkanku.

Tidak. Aku sama sekali tak memercayai alasan itu. Aku baru ingat, dua hari yang lalu, Bang Dika mengatakan kalau jadwalnya kosong dalam seminggu ini. Pasti ada sesuatu yang tidak kuketahui dan dia sedang berusaha menyembunyikannya.

***

"Naa, kamu kenapa ngelamun terus, sih?"

Suara Bang Ares menyentakku dari lamunan. Dia menatapku lembut, tangannya mengusap keningku. Sekarang, di ruangan ini hanya ada kami berdua, karena Ibu pulang sejak pagi untuk beristirahat, dan Bang Ares menawarkan diri untuk menjagaku. Sudah tiga hari aku dirawat, dan selama itu pula aku belum mendapat kabar dari Bang Dika.

"Ada yang sakit?" tanya Bang Ares.

Aku menggeleng pelan. "Nggak, Bang," jawabku pelan.

"Kamu nungguin Dika?" tanyanya lagi sukses membuatku membelalak.

Bang Ares terkekeh. "Abang tau, kok. Abang juga nungguin dia. Ada kerjaan yang harus diomongin, tapi Dika susah banget dihubungi. Mungkin dia lagi mendaki gunung buat semadi. Biasa lah, nyari wangsit," kelakarnya membuatku tertawa kecil.

"Nah, gitu, dong ketawa. Baru keliatan cantiknya," kata Bang Ares lalu menarik pipiku.

Aku mengusap-usap bekas cubitannya sambil menggerutu. Setelah itu, kami membicarakan berbagai hal. Aku menanyakan awal mula dia bisa berteman dengan Bang Dika, kemudian masa-masa sekolah mereka. Bang Ares juga menceritakan bagaimana mereka menjadi idola saat duduk di bangku SMA dan kuliah, baik oleh junior maupun senior mereka.

"Dulu, kalau Dika nggak ngerjain PR, Abang juga ikut dihukum meskipun PR Abang udah siap," tuturnya.

"Loh, kenapa? Kok, bisa gitu?" tanyaku heran.

Bang Ares tersenyum jail. "Soalnya, Abang bilang ke guru belum ngerjain juga. Males banget kalo Abang mesti duduk sendirian selama jam pelajaran, mending di luar lah sama Dika," katanya santai. Seolah hal itu merupakan sesuatu yang wajar.

"Kalo Abang yang belum ngerjain PR, Bang Dika gitu juga nggak?" tanyaku penasaran.

Bang Ares mengangguk. "Iya, dong. Tapi kalo Dika emang beneran belum ngerjain," katanya, kemudian tergelak.

Aku menggeleng-geleng, tak hapis pikir dengan tingkah kedua abangku ini. Keceriaan Bang Ares menular padaku. Dia selalu berhasil membuatku tertawa dengan lelucon-leluconnya yang bisa dibilang sangat pasaran. Juga gombalan-gombalan recehnya.

Tawa kami diinterupsi oleh suara notifikasi dari ponselku. Ujung bibirku terangkat ketika melihat Bang Dika yang mengunggah sesuatu di IGnya. Setidaknya, aku bisa mengetahui kabarnya.

Mataku terpaku pada gambar yang muncul di layar ponselku. Tidak! Bang Dika tidak mungkin tega melakukan ini padaku. Tanganku gemetar, membuat ponsel yang kupegang terjatuh.

Bang Dika bukan orang jahat. Sejak kecil, dia sangat menyayangiku. Tidak mungkin dia menyakitiku. Pasti itu hanya temannya—tidak lebih.

"Naa, kamu nggak apa-apa?"

Aku menatap Bang Ares, kemudian memaksakan diri untuk tersenyum. Dia menatap layar ponselku, di mana terlihat foto Bang Dika dengan seorang gadis. Mereka terlihat sangat bahagia.

"Ini Dara, kayaknya Dika ada projek bareng dia," kata Bang Ares.

Entah kenapa, aku merasa dia sedang berusaha menenangkanku.

"Bang, boleh peluk nggak?" pintaku lirih.

Tanpa berkata apa pun, Bang Ares duduk di ranjang, kemudian memelukku. Aku membenamkan wajahku di dadanya. Air mataku mulai menetes. Aku ingin memercayai perkataan Bang Ares dan menganggap semuanya akan baik-baik saja. Bang Dika akan kembali padaku dan menjelaskan bahwa dia dan gadis itu hanya berteman. Namun, aku meragukan itu. Bang Dika bahkan tak mengacuhkan panggilan dan pesanku. Dadaku terasa sesak. Air mataku membasahi pakaian Bang Ares.

"Kenapa Bang Dika jahat banget sama aku? Dia ... dia bahkan nggak jawab telponku sama sekali," kataku di sela-sela tangis.

"Ssst ... Princess, dengerin Abang. Mau seluruh dunia ninggalin kamu, semua orang jahat dan benci sama kamu, inget satu hal. Abang akan selalu ada buat kamu kapan pun itu. Abang nggak akan tinggalin kamu. Masih ada Abang yang akan memastikan kamu bahagia," ujar Bang Ares membuat tangisku semakin kencang.

"Bang Dika jahat. Naa benci Bang Dika," gumamku.