Naa, Abang udah hampir sampai. Kamu jangan lupa bawa obat. Kamu pasti belum minum obat, kan?
Aku meraih obat dari rumah sakit, lalu memasukkannya ke ransel kecil bersama dengan ponsel dan dompetku. Kemudian, aku mengambil kacamata untuk menutupi mataku yang sembap karena menangis. Aku melangkah keluar dan seketika mengumpat pelan melihat apa yang tengah dilakukan Bang Dika dan kekasih barunya itu.
Mereka tengah berciuman di meja dapur. Cewek itu gelagapan ketika melihatku keluar kamar. Dia merapikan pakaiannya, sedangkan Bang Dika terlihat santai saja. Benar-benar tidak tahu malu!
"Ups! Sorry, ganggu. Gue kira nggak ada orang," kataku datar.
Cewek itu tersenyum sok manis, membuatku ingin muntah tepat di wajahnya yang pura-pura lugu itu. Sedangkan, Bang Dika hanya menatapku sekilas, kemudian berdecih. Aku mencengkeram tali ranselku erat-erat. Menahan diri untuk tidak menangis, apalagi berteriak histeris.
"Mau ke mana, lo?" pertanyaan Bang Dika menghentikan langkahku.
Aku berbalik, membenarkan posisi kacamata, kemudian menatapnya sinis. "Apa urusan lo?" tanyaku ketus.
Rahang Bang Dika menegang. Dia balik menatapku tajam. "Jelas ada urusannya sama gue! Lo adek gue! Lo masih jadi tanggungjawab gue!" bentaknya. Suara teriakannya menggelegar memenuhi seluruh unit apartemen.
Aku menggigit bibir, berusaha mengeyahkan rasa sakit di dadaku itu. Dulu, jangankan meneriakiku, berbicara dengan nada tinggi pun Bang Dika hampir tidak pernah. "Gue mau jalan sama pacar gue! Takut ganggu aktivitas lo kalo gue di apartemen terus!" balasku dingin.
Bang Dika tersenyum mengejek. "Pacar?" cemoohnya. "Lo kira gue bakal percaya? Lo nggak pernah deket sama cowok selain gue. Mana mungkin lo punya pacar," katanya dengan nada meremehkan.
Aku menelengkan kepala, kemudian tersenyum miring. "Masa? Coba diinget-inget lagi. Selain lo, gue deket sama siapa?"
Aku menyeringai ketika bel apartemen berbunyi. "Ups! Sorry, pacar gue udah dateng. Maaf, tadi ganggu waktu ngeseks kalian," kataku dengan kesinisan yang tak lagi kututup-tutupi. Namun, sebelum aku membuka pintu, aku sempat berbalik, lalu menatap cewek itu. "Kak, hati-hati ya sama Bang Dika. Biasanya, setelah disayang-sayang setinggi langit, Bang Dika bakal langsung ngebuang cewek itu. Siap-siap sakit hati," kataku, kemudian membuka pintu.
Baru saja Bang Ares menginjakkan kakinya di dalam apartemen, aku langsung mengalungkan tangan ke lehernya, lalu mencium bibirnya tanpa izin. Matanya membelalak menatapku.
Kuakhiri ciuman singkat dan mendadak kami, lalu aku tersenyum padanya. "Abang lama banget, sih? Naa sampe capek nungguinnya tau," kataku sembari berpura-pura cemberut. Aku menoleh pada Bang Dika yang masih tertegun dan sepertinya sama terkejutnya seperti Bang Ares, lalu berkata, "Bang, aku jalan dulu, ya?" Kemudian, pergi begitu saja tanpa menunggu tanggapan darinya.
Semakin aku menjauh dari apartemen, air mataku kembali menetes yang langsung cepat-cepat kuhapus karena tidak ingin Bang Ares sampai melihatnya. Aku duduk membisu di mobil sembari memandang keluar jendela menatap jalanan. Begitu juga Bang Ares yang terlihat fokus menyetir. Kami tetap saling diam hingga tiba di apartemen miliknya.
"Kamu belum minum obat, kan?" tanya Bang Ares memecah keheningan. Sikapnya santai, seolah tadi tidak terjadi apa pun.
Aku hanya menggeleng.
Bang Ares langsung sibuk di dapur entah melakukan apa. Dia cukup pengertian dengan memberikanku waktu untuk sendiri. Kemudian, tak berapa lama, Bang Ares menghidangkan semangkuk bubur di hadapanku.
"Makan dulu, baru bisa minum obat. Abang suapin, ya?"
Aku mengangguk patuh. Aku terlalu malas untuk menolak dan hanya mematuhi perintah Bang Ares yang sudah dengan begitu telaten menyuapiku.
"Sekarang, kamu minum obat dulu," katanya sembari mengulurkan beberapa butir obat beraneka warna padaku. Kemudian, aku meminumnya tanpa mengeluh sedikit pun.
"Bang, maafin Naa," kataku tanpa menatapnya.
"Maaf? Kenapa?" tanya Bang Ares. Entah dia pura-pura lupa atau memang benar-benar tidak mengingat kejadian tadi.
"Yang tadi. Naa udah cium Abang tanpa izin," tuturku tak enak hati.
Dia tersenyum tipis, lalu meraih tanganku dan meremasnya lembut. "Abang nggak tau kamu kenapa. Apa alasan kamu ngelakuin itu. Apa yang kamu alamin. Atau apa yang kamu rasain. Tapi, Abang harap kamu bisa berpikir lebih dewasa dan jangan terbawa emosi. Naa yang Abang kenal tuh anak baik," katanya sambil mengusap air mataku yang kembali menetes.
"Nggak, Bang. Naa bukan anak baik. Kalau emang Naa sebaik itu, Bang Dika harusnya nggak lakuin ini sama Naa. Bang Dika jahat," Aku mulai terisak. Bang Ares membawaku ke dalam pelukannya.
"Yang Abang tau, dari dulu Dika sayang banget sama kamu. Abang nggak tau ada masalah apa di antara kalian, tapi Abang harap, kalian bisa ngomongin ini baik-baik," ujarnya sembari mengusap punggungku.
"Bang, Naa mau minta tolong, boleh nggak?" tanyaku ragu.
"Apa? Kalau memang bisa, pasti Abang bakalan bantu," sahut Bang Ares cepat.
Aku menatap iris biru Bang Ares, lalu menarik napas dalam-dalam. Aku berkata, "Abang jadi pacar aku. Bantu aku lupain perasaanku sama Bang Dika."
Bang Ares membelalak. "Maksud kamu apa?"
Aku menunduk, tak berani menatap mata Bang Ares. "Aku ... aku jatuh cinta sama Bang Dika. Aku tau ini salah, tapi perasaan ini dateng gitu aja. Aku nggak kuat dan nggak bisa lihat dia deket sama cewek lain," kataku lirih. "Aku mohon, bantu aku lupain Bang Dika. Ajarin aku jatuh cinta sama Abang," sambungku.
Bang Ares menjepit daguku dengan telunjuk dan ibu jarinya, kemudian mengangkat wajahku. Dia tersenyum, matanya menatapku teduh. "Kamu nggak salah, Sayang. Cinta memang selalu datang tanpa diminta dan tanpa disadari, kemudian pergi tanpa izin. Abang tau gimana rasanya ketika menyadari kalau Abang jatuh cinta sama kamu. Aku nggak janji bisa bikin kamu lupain Dika dan nggak ingin kamu lakuin itu. Karena, bagaimanapun Dika akan tetap jadi bagian hidup kamu, tapi akan Abang usahakan untuk bikin kamu jatuh cinta sama Abang," ujarnya lembut.
Dia mengusap air mataku dengan ibu jari, kemudian bergerak mendekatkan wajahnya. Saat bibirnya hampir menyentuh pipiku, dia berhenti. "Boleh nggak Abang cium kamu?" tanyanya sambil menatapku ragu.
Pertanyaan itu berhasil membuat ujung bibirku tertarik ke atas dan aku sedikit terkekeh. Lucu sekali ketika melihat ekspresinya yang takut-takut saat menatapku, seperti anak kecil yang takut kena marah jika melakukan suatu kenakalan. Aku mengangguk kecil, kemudian Bang Ares mendaratkan bibirnya di pipiku dengan lembut.
"I love you, Siena," bisik Bang Ares.
Aku tersenyum. "I'll try to love you too," balasku kemudian memeluknya erat.
Bang Ares, maafin aku udah jadiin kamu tempat pelarian. Tapi Naa janji akan berusaha untuk belajar jatuh cinta sama Abang. Pasti nggak bakal susah, kan? Mengingat Naa dulu pernah sangat suka sama Abang, bahkan sampai sekarang rasa suka itu masih ada.