Bhiru bergegas menghampiri Langit yang tampak menunggu di mobilnya.
"Maaf ya Bhi, aku lama jemput. Tadi ban depan mobilku bocor kena paku beton di jalan," Langit menjelaskan saat mereka telah meninggalkan kediaman Ranu. Namun gurat wajahnya tampak tegang seolah ada hal lain yang dipikirkan oleh Langit.
"Nggak apa-apa, aku mengerti kok. Tapi harusnya tadi kamu jawab teleponku dan balas WA ku. Aku sampe kepikiran kenapa-napa sama kamu tadi." Bhiru menatap lurus ke depan. Sebenarnya dia agak kesal dengan Langit yang mengabaikan semua panggilan teleponnya.
"Maaf ya," ucap Langit sambil telunjuk tangan kirinya terulur untuk membelai-belai hidung Bhiru. "Tadi aku terlalu serius nungguin tukang tambal ban nambal bannya. Sampai lupa ngecek HP. Kebetulan juga suara HP aku bikin senyap dari sore. Aku lupa balikin suaranya." Langit beralasan panjang lebar.
Kening Bhiru berkerut mendengar alasan Langit.
"Kenapa HP kamu dibikin senyap?" tukas Bhiru dengan nada curiga.
"Karena tadi aku ada meeting penting dadakan di kantor sebelum jemput kamu, Bhi," jawab Langit dengan nada kesal karena Bhiru tidak percaya dengan alasannya.
"Lagi pula kamu juga bikin aku kesal." Langit beralih memojokan Bhiru saat mereka berhenti karena terhalang palang pintu kereta api.
"Kesal kenapa?"
"Ngapain kamu di rumah bos kamu malam-malam begini? Bukannya langsung pulang."
Bhiru menghela nafas panjang. Dia memang belum menjelaskan alasannya pada Langit.
"Ralat ya. Rumah yang tadi bukan rumah pak Ranu, tapi rumah keponakannya. Dan aku datang ke sana karena ambil tawaran kerja tambahan darinya, Lang," Bhiru membuka alasannya. "Jadi guru les bahasa Jepang buat keponakannya."
Mendengar alasan Bhiru, Langit entah kenapa malah menjadi kesal.
"Kenapa harus mengambil kerja tambahan? Buat apa, Bhi?" tanyanya dengan nada kurang senang sambil menggenggam erat setir mobilnya. Masih menunggu kereta yang belum juga kunjung melintas.
"Itu karena...honornya lumayan buat nambahin modal kita nikah," jawab Bhiru dengan nada hati-hati sambil nyengir lebar. Ia tidak menyangka Langit akan sekesal ini padanya. Meski lelaki itu hanya memperlihatkannya dengan caranya menautkan dua alis tebalnya dan terus menatap ke depan tanpa sedikit pun menoleh pada Bhiru.
"Bhiru Alodya Teng, kamu bener-bener bikin aku kecewa," ucap Langit dengan nada kecewa. "Kamu nggak nanya pendapatku dulu saat terima tawaran pekerjaan itu."
Bhiru meremas ujung kemejanya karena merasa bersalah. "Maaf, Lang," ucapnya dengan nada sesal. Bhiru tahu ia keliru, mengapa sebelumnya ia tidak meminta pendapat Langit terlebih dahulu?
"Aku berani terima pekerjaan itu karena jam kerjanya nggak akan menganggu rutinitas kita Lang. Cuma dua jam dua kali seminggu. Please jangan kesal begitu. Aku ambil kerjaan itu juga untuk meringankan beban kamu, Lang," dengan nada manja Bhiru menjelaskan alasannya bersamaan dengan suara deru kereta api yang akhirnya melintas di depan mereka.
"Kenapa?" tanya Langit seolah tak puas dengan penjelasan Bhiru.
"Ya itu buat tambahan modal kita nikah..." Bhiru nyengir lebar untuk menutupi rasa bersalahnya.
Langit menghela nafas panjang sebelum menginjak pedal gas mobilnya. Palang pintu telah dibuka.
"Bilang saja itu karena kamu ngebet ingin menyewa gedung mahal tempo hari itu, bukan?" tukas Langit masih dengan wajah serius lurus ke depan.
Bhiru memutar tubuhnya, menghadap sempurna ke arah Langit untuk mengusap jambang halus di pipi Langit dengan lembut sambil merengek manja, "please jangan ngambek."
Jika Langit senang membelai hidung Bhiru jika sedang cemberut, maka Bhiru senang mengusap jambang Langit jika lelaki itu sedang kesal padanya dan usahanya selalu berhasil.
Langit menghela nafas lagi dan akhirnya ia menoleh untuk menatap Bhiru. Akhirnya ia luluh dengan rengekan manja Bhiru.
"Kamu benar-benar ingin kita resepsi memakai gedung itu?" tanya Langit sesekali melirik sambil menyetir.
"Iya!" Bhiru menyahut riang.
"Ya sudah kalau itu mau kamu. Hari sabtu nanti kita bayar DP sewanya," kata Langit tiba-tiba mengejutkan dan membuat kedua mata kecil Bhiru terbelalak.
"Hah? Serius?"
"Nggak usah kamu kerja tambahan. Aku masih bisa bayarin uang sewa gedungnya."
Bibir Bhiru terperangah lebar mendengar ucapan Langit barusan. Bhiru Hampir tak percaya mendengarnya.
"Tapi Lang, kamu bilang tempo hari budget kita nggak cukup buat sewa gedung itu?"
"Memang nggak cukup."
"Lantas?"
"Aku bisa cari-cari uang tambahan nanti. Jangan kamu."
"Tapi..."
"Kenapa? Kamu takut hidangan buat para tamu undangan aku ganti jadi nasi bungkus?" Langit terkekeh saat mengucapkan 'nasi bungkus' untuk memancing reaksi Bhiru.
"Serius Lang?!" Bhiru mencubit pipi Langit dengan gemas.
"Ya enggak lah! Aku bercanda."
"Syukurlah." Bhiru menghela nafas lega.
"Dengerin aku, Bhi. Yang mau menikah itu kita berdua, bukan kamu seorang, Bhi. Nggak pantas kalau aku menutup mata mengetahui calon istriku nekat banting tulang cari uang cuma buat memenuhi ambisi sewa gedung mahal," tutur Langit kembali namun beraroma sindiran di dalamnya.
"Nyindir nih ceritanya?"
"Iya. Habis kamu keras kepala. Aku bisa apa?" Langit mengulurkan tangannya untuk mengusap ubun-ubun Bhiru dengan penuh kasih sayang.
"Makasih sayang," ucap Bhiru sambil kembali mengusap pipi Langit.
"Jadi besok kamu batalkan saja tawaran pekerjaan dari bos kamu itu," pinta Langit membuat Bhiru terpana.
"Waduh!"
"Kenapa?"
"Aku sebenarnya nggak enak hati kalau..."
"Kalau kamu nggak berani, besok aku yang bilang ke bos kamu. Siapa namanya tadi? Panu?"
"Jangaaaan!" Bhiru dengan cepat menolak. "Aku sendiri saja bisa."
"Good." Langit tersenyum sambil memutar kemudinya belok ke kiri. Memasuki komplek perumahan di mana Bhiru tinggal.
"Padahal lumayan kan, honornya bisa ditabung buat ekstra modal. Siapa tahu kita butuh." Bhiru memberi tatapan penuh harap pada Langit. Berharap Langit akan melunak.
"Bhiruuuu..."
"Buat tambahan ongkos honeymoon ke Bali misalnya?" Senyum lebar penuh harap menghiasi wajah mungil Bhiru. "Atau ke Maldive..." Bhiru semakin melunjak sambil mengerlingkan matanya menggoda Langit.
"Aku bilang nggak ya enggak!"
"Please, hanya untuk tiga bulan saja."