Chereads / LOVE WITH [ OUT ] LOGIC / Chapter 14 - Memory Pertemuan Pertama

Chapter 14 - Memory Pertemuan Pertama

Bhiru sebenarnya sudah berusaha menghindari tatapan aneh bin geli dari tiap orang yang ia temui di kantor. Tapi menghindari Jenar yang kerap menempel padanya, benar-benar mustahil. Ia tidak akan pernah bisa menyembunyikan sesuatu dari Jenar yang bukan hanya memiliki insting yang kuat tapi juga penglihatan yang tajam.

Jadi, sepandai-pandainya Bhiru menutup-tutupi, tetap saja Jenar akan berhasil menangkap gerak-gerik Bhiru yang selalu berusaha menghindar darinya.

"OMG! Hidung kamu kenapa jadi kayak begitu bentuknya, Bhi?!" Jenar menahan diri untuk tidak tertawa melihat penampakan hidung bengkak Bhiru yang kini memarnya semakin terlihat dibandingkan semalam.

Tapi melihat penderitaan Bhiru, Jenar yang memang sahabat laknat malah yang paling keras menertawakannya ketimbang bersimpati atas musibah yang didapat Bhiru..

"Masih kelihatan ya?" Bhiru mengambil cermin centil mini yang selalu ia simpan di laci meja untuk melihat hidungnya sendiri. Lalu menghela nafas sedih, karena ternyata benar-benar masih terlihat meski ia telah menutupinya dengan cushion setebal mungkin. Warna memarnya tetap saja terlihat mengerikan.

Dasar cushion murahan! Berkeringat sedikit pun, dengan mudah luntur. Bhiru menyesali low price cushion yang ia miliki ternyata tak cukup mampu untuk menyamarkan memar di batang hidungnya.

"Hidung kamu kenapa sih jadi mirip jambu monyet gitu, Bhi?" Jenar mengulangi pertanyaannya masih dengan sisa-sisa tawa gelinya yang membuat air matanya menetes, tapi sambil mengunyah camilan kacang almondnya.

"Habis dicium kebo!" Bhiru menjawab sekenanya dengan kesal. Tepat bersamaan dengan pak Ranu yang tiba-tiba melintas di depan kubikelnya.

Sontak Bhiru menutup mulutnya dengan kedua telapak tangannya. Pak Ranu pasti mendengar suaranya yang cukup keras saat mengatakannya tadi. Kecuali bosnya itu tuli.

"Bahagia banget ya temen lagi susah malah ditertawakan." Bhiru merasa mengenaskan.

"Sorry, sorry. Habis aku nggak bisa memungkiri perasaanku, Bhi. Lihat hidung kamu beneran bikin aku ingin tertawa. Pardon me. Jangan ngambek dong. Nanti aku traktir boba seminggu deh." Jenar mencubit kedua pipi Bhiru dengan gemas. Yang mana malah menambah penderitaan Bhiru sebenarnya. Sekarang bukan hanya hidung yang sakit, kedua pipinya juga.

"Awas ya kalau ingkar. Aku kutuk kamu sembelit sebulan!"

"Kejam sekali kutukanmu kawan, sekali-kali kutuk aku jadi milyader kek. Lagian kapan sih seorang Jenar Ayu Mahira pernah ingkar janji?" Jenar menepuk dadanya dengan percaya diri. "Ngomong-omong itu hidung beneran habis dicium kebo?" Jenar masih saja bertanya dengan logikanya yang pendek. Ia benar-benar serius menanyakan kebenarannya.

"Ya enggak lah, Jenaaaarrrr…Mana ada kebo di sini?"

Jenar tertawa mendengar jawaban Bhiru.

"Makanya kasih tahu dong apa yang sebenarnya terjadi dengan hidung kamu?"

Mendengar Jenar yang tak ada bosan-bosannya bertanya, Bhiru meringis sambil membuka wadah cushion-nya dan menepuk-nepuk lembut batang hidungnya hendak menutupi memarnya.

"Sebenarnya hidungku jadi seindah ini gara-gara kena sikut siku pak Ranu." Sebuah jawaban jujur yang membuat bibir Jenar sontak jatuh.

"Hah? Demi dewa, kapan kejadiannya? Bagaimana ceritanya? Jangan ngarang lagi deh."

"Sumpah demi Alex, Nar." Bhiru terus menambal hidung dengan cushion. "Tiap berdekatan dengan bos kita ini, entah kenapa aku selalu apes ya?"

Bhiru akhirnya menceritakan insiden mati lampu di rumah keponakan pak Ranu yang menyebabkan hidungnya menabrak siku pak Ranu. Dan hanya kepada Jenar saja, Bhiru dapat bercerita dengan nyaman. Meski buntutnya ia membuat Jenar tertawa lebih keras dari sebelumnya, hingga serpihan kacang yang dikunyah di mulutnya muncrat ke arah wajah Bhiru.

"Kenapa sih kamu selalu apes tiap kali berurusan dengan pak Ranu?"

Jenar benar. Bhiru jadi teringat awal pertemuannya dengan pak Ranu dua tahun yang lalu.

Saat itu pak Ranu baru saja masuk ke perusahaan ini dan langsung menduduki posisi direktur marketing, menggantikan atasannya yang telah resign.

Saat itu adalah hari penyambutan direktur marketing yang baru sekaligus meeting divisi marketing yang mana satu-persatu staf akan mengenalkan dirinya beserta uraian job desc-nya. Bhiru yang sedang mengejar waktu agar bisa melakukan absensi dengan tepat waktu, entah kenapa malah terpeleset di depan pak Ranu. Dan itu adalah fakta yang tidak pernah Bhiru ungkapkan kepada siapa pun selain pada Jenar ketika ia terpeleset gara-gara gagal fokus setelah sempat saling bertatapan dengan direktur marketingnya yang baru dan terlalu ganteng itu.

Yang mana pesona bos barunya itu malah membuat Bhiru jatuh terpeleset dan mencium ujung sepatu pak Ranu yang hitam mengkilap. Bhiru bisa melihat tak ada sebutir debu pun di sana.

Melihat seorang gadis malang jatuh terpeleset hingga mencium ujung sepatunya, Pak Ranu lalu membungkuk dan sempat menatap wajah malang Bhiru yang merah padam karena malu. Sebuah aksi yang sempat membuat Bhiru mengira lelaki itu hendak mengulurkan tangan untuk membantunya. Tapi nyatanya malah membuat jiwa Bhiru terpukul. Bukannya membantu Bhiru bangkit, pak Ranu malah mengusap ujung sepatunya dengan sapu tangan. Seolah-olah bibir ranum merah merekah Bhiru yang telah mencium sepatunya itu begitu kotor dan berdosa.

Andai saja pak Ranu tahu bahwa Bhiru hari itu mengenakan lipstik termahal yang selalu dipakai para selebriti papan atas, mungkin pak Ranu tidak akan meremehkan bekas lipstik di ujung sepatunya.

Dan ternyata kesialannya itu adalah awal dari kesialan-kesialan Bhiru yang berikutnya. Setelah jatuh terpeleset dan tampak seperti sedang bertekuk lutut di depan lutut pak Ranu, kesialan yang lain ternyata juga sedang menunggu.

Kesialan berikutnya terjadi ketika giliran Bhiru memperkenalkan dirinya di ruang meeting dan memaparkan job desc-nya tiba. Bhiru yang sedang lancar-lancarnya berbicara, tiba-tiba tersedak oleh permen yang diam-diam ia sembunyikan di bawah lidahnya. Panik karena tersedak, Bhiru lalu asal-asalan menyambar gelas air mineral yang ia lihat di depannya, yang ternyata kepunyaan pak Ranu. Dan ia meminumnya hinggas tandas sampai tanpa sengaja ia melepaskan sendawa leganya. Membuat semua orang yang ada di dalam ruangan meeting termasuk pak Ranu tercengang.

Melihat semua orang menatapnya dengan geli, dengan segera Bhiru tersadar dan berharap saat itu ia adalah seekor burung unta yang bisa mengubur kepalanya sendiri di tanah.

Tapi yang bisa ia lakukan hanyalah menyesali sambil menertawakan kecerobohannya di dalam bilik toilet. Sementara pak Ranu sendiri selalu bersikap seolah-olah Bhiru tidak pernah ada di hari pertama kali ia datang.

Sedang bernostalgia dengan masa lalunya, tiba-tiba ia melihat pak Ranu melambaikan tangannya dari ruang akuariumnya. Memberinya isyarat agar Bhiru segera menuju ke ruangannya.

Bhiru menghela nafas panjang sambil menyimpan wadah cushion-nya di laci meja.

Sementara Jenar memberinya semangat dengan kepalan tangannya,"ganbatte!"

"Bapak panggil saya?" Bhiru menautkan kedua tangannya di depan perutnya, berdiri di depan meja pak Ranu yang tampak sedang menatap ipad-nya.

Pak Ranu mengangkat wajahnya dan menatap Bhiru yang bagian hidungnya tampak aneh karena dibubuhi cushion yang terlalu tebal untuk menyamarkan warna memarnya.

"Duduk."

"Terima kasih, pak." Bhiru duduk dengan perlahan.

"Hidung kamu gimana?"

"Butuh operasi plastik, pak," jawab Bhiru sempat-sempatnya bercanda dalam situasi serius di depan pak Ranu yang seperti biasa tetap datar menanggapinya.

Tanpa basa-basi, bosnya itu lalu mengambil sesuatu dari saku jasnya dan meletakan sesuatu yang berbentuk seperti odol berukuran mini di atas mejanya.

"Ambil," perintah pak Ranu kemudian tanpa basa-basi membuat Bhiru bingung.

"Buat saya, pak?"

"Iya, masa buat kebo," ucapnya membuat Bhiru tersentak dan ingin cekikikan, tapi ia lebih memilih bernafas dengan benar.

Exhale, inhale…lalu kentut perlahan.

"Terimakasih, pak. Buat apa ini, pak?" Bhiru mengamati benda pemberian pak Ranu.

"Itu salep buat memar hidung kamu," ujar pak Ranu sambil kembali menatap ipad-nya.

"Ooooh…" Dengan cukup panjang bernada geli. Tidak menyangka pak Ranu akan memberinya salep. Mungkinkah salepnya itu untuk menebus rasa bersalahnya? Bhiru berpikir demikian.

"Kok repot-repot sih, pak? Padahal hidung saya cuma memar saja. Dua atau tiga hari lagi juga akan hilang memarnya." Bhiru begitu percaya dengan keyakinannya.

Pak Ranu kembali menatap Bhiru dengan bola matanya yang tajam.

"Yakin akan sembuh semudah itu? Kalau ternyata tulang hidung kamu retak, gimana?" tanya pak Ranu membuat keyakinan Bhiru mendadak ambrol. "Semalam kamu nabrak siku saya keras banget lho."

Bhiru garuk-garuk kepala mendengar pengakuan pak Ranu soal insiden semalam.

"Ya yakin aja, pak," jawab Bhiru sambil meringis namun sebenarnya ia kurang yakin.

"Kalau saya jadi kamu, saya nggak akan sepelekan memarnya. Saya akan langsung pergi ke Rumah Sakit buat rontgen hidung." Pak Ranu semakin membuat hati Bhiru ciut.

"Aaah, bapak jangan takut-takutin saya dong."

"Makanya cepat obati pakai salepnya ketimbang nebalin bedak," ujarnya membuat Bhiru tersindir dengan telak.

"Ya ya, pak. Sekali lagi terima kasih." Bhiru lalu mengantongi salepnya di dalam saku blazernya sebelum beranjak pergi.