Chereads / LOVE WITH [ OUT ] LOGIC / Chapter 20 - Jenar Naik Kelas & Bhiru Galau

Chapter 20 - Jenar Naik Kelas & Bhiru Galau

Satu minggu kemudian.

Berangkat ke kantor, Bhiru menenteng paper bag berisi jas pak Ranu yang telah ia cucikan di binatu. Meski pun pak Ranu akan menolaknya dengan alasan telah dibuang, pokoknya Bhiru akan bersikukuh mengembalikannya saja dari pada menjadi salah satu beban hidupnya. Bhiru takut jika ia terlalu lama menyimpannya, cepat atau lambat Langit akan mengetahuinya. Bisa-bisa hubungan Bhiru dengan Langit yang sedang akur akan memanas lagi seperti sebelumnya.

Sejak memutuskan melangkah ke jenjang yang lebih serius, entah kenapa hubungannya dengan Langit tak lagi setenang dan sedamai seperti dulu. Langit yang sekarang mudah sekali tegang dan naik pitam. Begitu pula dengan dirinya. Bhiru jadi merasa apakah ini yang dinamakan ujian pra-nikah? Seperti yang pernah dialami banyak pasangan. Katanya ketika menuju ke jenjang pernikahan, pasangan seperti Bhiru dan Langit akan mendapat ujian yang akan menentukan masa depan pernikahan mereka kelak.

Meletakan paper bag di atas meja pak Ranu, Bhiru mengucapkan, "Makasih, ya pak."

Pak Ranu menatap Bhiru dengan serius sambil bersedekap. Membuat Bhiru mendadak kehilangan suaranya. Bosnya itu terlalu mempesona bagi gadis bermental beriman lemah seperti dirinya.

Pura-pura batuk satu kali sambil membetulkan letak bandonya, Bhiru sebenarnya salah tingkah ditatap seperti itu oleh pak Ranu.

"Apa itu?"

"Jas bapak."

"Buang saja."

"Nggak bisa. Terserah bapak mau terima lalu kemudian dibuang, yang penting saya sudah kembalikan jasnya."

"Bukannya mau dijadikan keset?" tukas pak Ranu membuat Bhiru tersentak kaget.

Bosnya itu benar-benar bisa membaca pikirannya kah? Ia memang pernah berpikir akan menjadikannya keset di rumahnya atau apakah ia pernah mengucapkannya niatnya langsung di depan pak Ranu? Seingatnya tidak pernah. Meski pun hanya sekedar candaan. Ketimbang dijadikan keset rumah, bukannya lebih menguntungkan kalau dijual di loakan? Lumayan uangnya bisa dipakai buat modal buka warung seblak.

"Mana bisa pak? Mana mungkin saya tega menaruhnya sebagai keset kamar mandi lalu saya injak-injak. Saya takut kualat sama bapak." Bhiru bersikeras dan membuat bibirnya tipis manyun.

Menatap paper bag di mejanya lalu berganti menatap Bhiru yang tampak berharap ia akan mengambilnya, pak Ranu akhirnya luluh.

"OK, saya terima."

Bola mata Bhiru seketika bersinar dan senyumnya mengembang lebar sambil mengucapkan, "terima kasih, pak!" Lalu keluar dari ruangan dengan perasaan lega.

"Tunggu," perintahnya tiba-tiba membuat Bhiru kembali mundur.

"Ya Pak?"

"Sudah tanggal berapa ini?" Pertanyaan bosnya membuat Bhiru teringat.

"Laporan ya pak?" Bhiru meringis merasa bersalah. Seharusnya kemarin ia menyerahkannya pada pak Ranu. "Nanti siang saya serahkan ke bapak." Bhiru bergegas keluar ruangan tanpa menunggu persetujuan dari pak Ranu yang tampak menghela nafas samar menatapnya pergi.

Pria itu merasa stafnya itu akhir-akhir ini selalu tampak senewen jika bertemu dengannya.

Keluar dari ruangan pak Ranu, Bhiru melihat Jenar dikerumuni oleh anak-anak divisi marketing yang bergiliran mengucapkan selamat padanya. Ternyata Kumala benar, Jenar akhirnya mendapat promosi menjadi manager HRD.

Tidak buru-buru mengucapkan selamat seperti yang lainnya, Bhiru menghela nafas sambil memilin ujung kemejanya. Sedih, senang dan galau bercampur menjadi satu. Sedih karena ia bakal tidak bisa sering-sering bertemu Jenar. Senang karena Jenar memang layak mendapatkannya dan ia bangga padanya. Dan galau karena apa yang diungkapkan Kumala sebelumnya benar-benar akan terjadi.

Bagaimana jika dia yang ternyata terpilih menjadi pengganti Jenar? Menjadi sekretaris pak Ranu yang ingin ia hindari sebisa mungkin karena belakangan ini setiap kali bertemu dengan bosnya itu Bhiru merasakan rasa yang aneh.

Sebuah rasa yang membuatnya selalu gelisah setiap kali berada di dekatnya.

"Hei, Bhi." Jenar menghampiri Bhiru yang sedari tadi menatapnya sambil tersenyum.

"Selamat ya bu Jenar atas promosinya." Bhiru mendadak bersikap formal dan memeluk Jenar memberinya ungkapan selamat paling tulus.

"Ba bu ba bu, Jenar aja Bhi. Ngapain pake embel-embel bu?" Jenar protes keras.

"Habis sekarang kamu dan aku beda strata, Nar. Secara tidak langsung sekarang kamu atasan aku."

Jenar memutar bola mata indahnya.

"Sampai kapan pun, entah jadi apa kita nanti, kamu dan Kumala itu sahabat aku. Hanya karena naik kelas duluan bukan berarti aku akan berubah." Jenar merangkul Bhiru dengan gemas. Selalu begitu akrab sejak pertama kali mereka saling mengenal lima tahun yang lalu di perusahaan ini, meski pun Jenar selalu terlihat angkuh di mata staf yang lain. Tapi bagi Bhiru dan Kumala, Jenar adalah sahabat terbaik.

"Kok aku jadi sedih ya?" Bhiru menghapus titik air mata di sudut air matanya.

"Ya elah, Bhi. Gitu aja sedih? Aku cuma pindah divisi bukan pindah kantor. Cuma beda dua lantai doang Bhi. Kita masih bisa saling berkunjung."

"Tetap saja aku sedih." Bhiru tak henti-henti mengusap titik-titik air mata yang terus bermunculan setiap kali ia hapus. "Siapa lagi yang bisa aku ajak saingan berat badan? Siapa lagi yang bisa aku ajak saingan kece-kecean outfit? Siapa lagi yang bisa aku ajak saingan jadi pegawai teladan tahun ini? Sama siapa lagi, Nar?"

Gara-gara ungkapan Bhiru, Jenar jadi ikut bersedih. Ditatapnya Bhiru sambil tersenyum. "Teruslah menjadi sainganku, Bhi. Di mana pun dan kapan pun. Aku tunggu kamu melampaui aku."

"Aaah…Jenar. Kamu memang terbaik." Bhiru kembali merangkul Jenar.

"Aku nggak kalian anggap?" Kumala bersuara. "Ajak aku juga dong, Bhi. Aku juga bisa jadi saingan kamu kok." Kumala bergabung berangkulan dengan Jenar dan Bhiru.

"Tapi ngomong-omong kayaknya aku tahu soal sesuatu yang bikin kamu tambah sedih deh," ucap Jenar saat mereka bertiga masih berangkulan hangat.

"Apa?"

"Kamu sebenarnya takut terpilih menjadi pengganti diriku kan, Bhi?" terka Jenar membuat Kumala pecah tawa dan wajah Bhiru berubah dongkol.

"Please, bu manager HRD do your magic. Selamatkan aku dari posisi itu. Please…" Bhiru merengek seperti anak kecil.

"Bhiru sayang, kamu berdoa saja yang banyak ya." Jenar bermaksud menenangkan. "Meski pun ada dua orang kandidat penggantiku, pak Ranu sepertinya sudah menentukan pilihannya."

"Siapa, Nar? Bukan aku kan pastinya?" Bhiru penasaran setengah mati tapi Jenar dan Kumala malah tertawa-tawa di atas penderitaannya.

"Tunggu saja, Bhi. Kalau nanti siang ada panggilan dari HRD itu artinya kamu harus bersiap-siap."

"Duh gustiiii…kenapa ketidak pastian ini bikin aku jadi stress begini." Bhiru memegang kepalanya.

"Biar nggak stress, bagaimana kalau makan siang nanti aku traktir makan di restoran Korea?" usul Jenar membuat bola mata Kumala dan Bhiru kompak berbinar-binar.

"Boleh juga tuh."

"Boba juga?" Bhiru menambahi.

"Iya…iya…Makanya jangan stress lagi ya?" Jenar mengusap pipi Bhiru. "Aku harus beres-beres barangku sekarang." Jenar kembali ke kubikel yang hendak ia tinggalkan. Kubikel yang mungkin saja kelak akan Bhiru tempati, dan kubikel Jenar adalah kubikel paling terdekat dengan ruangan akuarium pak Ranu.

Bhiru memandang ke arah ruangan pak Ranu. Ruangan mirip akuarium, dingin dengan penghuninya yang tidak kalah dinginnya.

Kalau benar-benar ia yang terpilih, Bhiru sudah bisa membayangkan reaksi Langit kelak.

"Bhiru!" Jono memanggil dari arah telepon kantor.

"Ya Jon?"

"Kamu diminta ke ruangan HRD sekarang juga!" ungkap Jono membuat Bhiru mendadak panas dingin. Bhiru tidak menyangka akan secepat ini ia dipanggil.