Dua hari kemudian, Bhiru merasa sangat senang karena salep dari pak Ranu ternyata benar-benar manjur mengobati memar dan bengkak di hidungnya. Makanya tanpa sungkan-sungkan, Bhiru masuk ke ruangannya hanya untuk berterima kasih sambil memamerkan hidungnya yang telah kembali ke bentuk mancung paripurnanya.
Tapi ya dasar pak Ranu itu seperti kulkas yang diberi nyawa, lelaki yang juga gemar mengenakan pakaian berwarna serba gelap itu hanya datar saja menanggapi ungkapan terima kasih Bhiru.
Keluar dari ruangan pak Ranu, Bhiru melihat Kumala tampak senyum-senyum sendiri di depan laptopnya. Membuat Bhiru penasaran dan bergegas menghampirinya.
"Jangan senyum-senyum sendiri, Neng. Nanti kesambet."
Kumala mengangkat wajahnya, menatap Bhiru yang sedang menyandarkan dagunya pada puncak dinding kubikelnya.
"Sudah baikan sama Bian, ya?" Bhiru bertanya penasaran. Tempo hari ia melihat Kumala bertengkar dengan Bian di telepon dan sekarang tampak bahagia. Tidak salah lagi, mereka berdua pasti sudah berbaikan.
Bukannya menjawab, Kumala hanya tersenyum lebar sambil mengedipkan bola mata sayunya yang mengisyaratkan bahwa tebakan Bhiru benar.
"Syukurlah, aku ikut senang." Bhiru mengangkat dagunya hendak kembali ke kubikelnya untuk kembali bekerja.
Tak lama setelah Bhiru duduk di mejanya dan mulai mengerjakan pekerjaannya, lamat-lamat ia mendengar suara Kumala mengobrol dengan seseorang via gawainya. Jika didengar dari nada bicara Kumala yang begitu ceria dan manis, Bhiru bisa menebak Kumala pasti sedang berbicara dengan Bian, pacarnya.
"Iya, Sayang. Aku juga masih kangen kamu…Ngomong-omong, terima kasih ya untuk semalam…I love you…"
"I love you too!" Bhiru menyahut jahil sambil cekikikan. Kumala yang mendengar suara Bhiru hanya tertawa kecil dan terus melanjutkan obrolannya.
Melirik gawainya yang sedari tadi hanya diramaikan oleh notifikasi-notifikasi dari WA grup divisi, terutama dari pak Ranu yang lebih bawel di chat room ketimbang di dunia nyata. Bhiru menghela nafas sedih. Langit belum juga menghubunginya selama dua hari ini, meski pun ia telah mengirimkan beberapa pesan dan melakukan beberapa panggilan.
Apakah Langit sedang sekesal itu padanya? Hanya karena ia tidak memberikan apa yang Langit mau?
Sudah paham dengan adat Langit sejak dulu jika sedang marah, Bhiru sengaja memberi tunangannya itu waktu untuk meredakan amarahnya. Bhiru selalu melakukannya sejak dulu dan biasanya tidak butuh waktu lama Langit akan menghubunginya dan berbaikan.
Jelang jam makan siang, ruangan divisi marketing tiba-tiba dikejutkan oleh kedatangan seorang wanita yang gerak langkah dan kecantikannya membuat seisi ruangan sempat membeku karena pesonanya.
Tapi hanya Bhiru saja yang tidak terpengaruh, karena wanita itu adalah Kania tunangan pak Ranu.
Wanita yang telah Bhiru kenal sebelumnya itu melangkah dengan penuh percaya diri dan anggun bagai supermodel yang sedang berjalan di atas catwalk dan sempat melempar senyum yang entah untuk siapa. Membuat Jono yang kubikelnya di belakang Bhiru mendadak kejang-kejang seperti kena sawan.
Untuk menyadarkan Jono, Bhiru terpaksa mengobok aquarium bulat mini berisi seekor ikan cupang di mejanya dan memercikan airnya ke wajah Jono untuk menyadarkannya.
"Siapa perempuan tadi?" Jono bertanya mengusap wajahnya yang basah dan terus mengamati Kania yang masuk ke dalam ruangan pak Ranu. "Baru kali ini aku melihat perempuan yang pesonanya begitu kuat dan dia benar-benar wanita idamanku." Angan Jono sang buaya kantor mulai berkelana bebas hingga ke adegan panas.
"Perempuan itu tunangannya pak Ranu." Bhiru sengaja ingin membuat khayalan Jono buyar.
"Masa?" Jono terperangah tak percaya dengan apa yang ia dengar dari mulut Bhiru. "Laki-laki kayak pak Ranu masih ada yang mau?" Jono begitu sinis mengucapkannya. Maklum Jono sering mengalami pengalaman buruk jika berhadapan dengan pak Ranu.
"Kamu sudah lihat sendiri kan?" Bhiru menaruh kembali aquariumnya di meja sambil memperhatikan ikan cupang jenis halfmoon berwarna jingga pemberian dari Langit.
"Gila! Perempuan itu nggak punya etika kah?" celetuk Jenar tiba-tiba membuat Bhiru ikut mengalihkan pandangannya ke arah ruangan pak Ranu. Memandang keduanya yang tampak begitu mesra, karena Kania tampak begitu agresif duduk di atas pangkuan pak Ranu yang tampak begitu kaku seperti batang pohon. Meski pun Kania tampak berusaha menciptakan suasana romantis dengan membelai rambut pak Ranu.
"Bakalan ada siaran live cipok-cipokan nih!" Jono semangat membuat Bhiru, Jenar, Kumala dan beberapa staf lainnya kompak merapat dan menunggu apa yang diperkirakan Jono akan terjadi.
Tapi setelah menunggu beberapa menit kemudian, mereka sontak menghela nafas kecewa. Tidak ada siaran live yang mereka harapkan. Yang ada pak Ranu malah tampak meminta Kania bangkit dari pangkuannya lalu berdiri menuju dinding kaca menatap kesal ke arah sekawanan pengintip sambil menarik tali roller blind atau tirai gulung yang sebelumnya hampir tidak pernah digunakan untuk menutup dinding kaca ruangannya.
Serempak Bhiru dan kawan-kawan berseru kecewa, "yaaaaaaah…"
"Aku yakin, mereka berdua sekarang pasti lagi cipok-cipokan hot di atas meja kerja!" Jono berasumsi dengan mimik mesum sambil menirukan desahan bintang film porno wanita yang sering ia tonton.
"Dasar mesum!" Bhiru dan Jenar kompak memukul wajah mesum Jono dengan map berkas. "Ayok bubar! Bubaaaar!"
Kawanan pengintip pun bubar dan kembali ke kubikel masing-masing.
Sementara itu di dalam ruangan, yang sebenarnya sedang terjadi ternyata jauh dari ekspetasi mesum Jono dan kawan-kawan.
Yang ada adalah Ranu yang sedang menatap tajam tunangannya yang kembali berusaha menggodanya dengan memaksa kembali duduk di pangkuannya sambil mengalungkan kedua lengan di lehernya.
"Kenapa nggak kasih tahu sebelumnya kalau kamu mau mampir?" tanya lelaki 37 tahun yang pesonanya sanggup menggetarkan rahim banyak wanita itu dengan nada dingin.
"Jangan kesal begitu dong Sayang. Aku hanya terlalu bersemangat hingga lupa memberi kabar sebelumnya." Kania dengan santai menghadapi wajah cemberut calon suaminya yang selalu dingin, kaku dan tidak romantis namun membuatnya tergila-gila. Andai pesona Ranu Tama tidak sebesar itu, Kania tidak akan repot-repot mengejarnya hingga berhasil menaklukannya dan berhasil menyeretnya menuju jenjang pernikahan yang akan diadakan sekitar lima bulan ke depan. "Apa salahnya jika aku datang untuk mengajak tunanganku makan siang?"
"OK," Ranu menarik nafas samar. "Kita pergi sekarang, tapi tolong lain kali jangan datang tiba-tiba seperti tadi."
"Kenapa memangnya? Aku tunanganmu, Sayang. Aku bebas datang dan pergi ke kantormu, bukan?" Kania mengusap rahang tunangannya yang kokoh penuh berewok sambil bibirnya perlahan mendekat akan menciumnya. Tetapi lelaki itu tiba-tiba memaksa bangkit. Membuat Kania terpaksa bangkit dengan perasaan kecewa.
"Kamu tahu aku nggak suka dibantah." Ranu berdiri sambil mengancingkan kancing jas warna biru dongkernya.
"Hmm, OK. Tapi aku boleh sering-sering ke kantormu kan Sayang?" Kania berganti memeluk Ranu dari belakang. "Karena aku sangat cemburu dengan para staf wanitamu yang bisa dengan bebas melihatmu setiap hari," tambahnya dengan nada merajuk agar Ranu tersentuh.
Ranu lalu melepaskan kedua tangan Kania yang melingkari perutnya dengan lembut sambil berkata, "jangan konyol, mereka hanya stafku, Kania."
Kania memutar bola matanya sambil berkata, "tapi tetap saja mereka wanita."