Jenar heran melihat Bhiru kembali dengan jas yang melilit di pinggangnya dan langsung mengkaitkan pada pak Ranu yang sebelumnya kembali ke ruangan tanpa mengenakan jasnya.
"Yang di pinggang kamu bukannya jas pak Ranu ya Bhi?" Jenar menerka begitu saja dan Bhiru sontak memberi isyarat pada Jenar agar merendahkan suaranya.
"Nanti aku ceritakan kenapa." Bhiru bergegas menuju kubikelnya. Teringat jika ia masih menyimpan celana capri hitam yang ia beli melalui olshop tempo hari di laci kedua meja kerjanya.
Setelah mengganti roknya dengan celana capri, Bhiru melihat ke arlojinya. Agar nantinya ia bisa pulang tepat waktu, ia harus segera pergi mencuci mobil pak Ranu secepatnya.
"Nar, aku pergi dulu ya." Bhiru memberi tahu Jenar.
"Mau kemana lagi? Kamu belum cerita soal jas itu." Jenar menagih karena sangat penasaran dengan cerita Bhiru.
"Mau ke pencucian mobil. Kalau pak Ranu nyariin, bilang aja begitu." Bhiru bergegas pergi meninggalkan Jenar yang masih heran dengan kata-kata Bhiru.
Sahabatnya itu tidak punya mobil, mau apa ke pencucian mobil? Menumpang mandi? Jenar bingung dengan tingkah Bhiru yang bergitu tergesa-gesa pergi.
Satu jam kemudian, Bhiru kembali ke kantor.
"Dicari pak Ranu tuh. Buruan menghadap." Kumala memberi tahu saat mereka berpapasan di depan pintu, Kumala hendak pulang kantor.
"Haiyaaa, mau apa lagi itu olang?" Bhiru menirukan gaya bicara mendiang akongnya sambil geleng-geleng pelan.
"Sudah biasa kan?" Kumala menepuk-nepuk bahu Bhiru.
"Iya sih…"
"Belakangan ini aku perhatikan, pak Ranu lebih sering mencari kamu ketimbang Jenar untuk membantu pekerjaannya." Kumala mengungkapkan pandangannya. "Jangan-jangan?"
"Jangan-jangan apa?" Bhiru menunggu lanjutannya.
"Kamu bakalan didapuk menggantikan posisi Jenar."
"Iiih…ogah. Aku nggak mau jadi sekretarisnya!" Bhiru sontak menolak mentah-mentah. Hanya menjadi staf di bagian ekspor impor saja sudah membuatnya stress karena sering berhubungan langsung dengan pak Ranu, apalagi jika menjadi sekretarisnya? Maka ruang geraknya akan semakin sempit saja di divisi ini.
Kumala tertawa geli melihat reaksi kesal Bhiru yang spontan keluar.
"Aku sebenarnya baru saja dengar rumor dari orang-orang HRD. Jenar bakal dipromosikan dan pindah ke HRD. Jadi mereka berencana menunjuk kamu untuk menggantikan Jenar." Kumala membocorkan apa yang telah ia dengar dari bisik-bisik orang-orang HRD dan membuat Bhiru seketika otaknya membeku.
"Jangan buru-buru stress dulu, Bhi. Sebenarnya masih ada kandidat yang lain kok. Berdoa saja bukan kamu yang terpilih." Kumala melanjutkan kata-katanya yang kali ini membuat Bhiru memiliki harapan dan ahirnya dapat bernafas dengan lega.
"Aku pulang duluan ya." Kumala berpamitan.
Tapi Bhiru menahannya. "Kamu pulang nggak nungguin aku dulu, Kum?"
"Sorry banget ya, Bhi. Aku sudah ada janji." Kumala nyengir lebar dengan mata berbinar-binar. "Sana buruan temui pak Ranu. Kayaknya dia benar-benar lagi kesal, Bhi. Siapin mental ya. Aku duluan." Kumala pergi meninggalkan Bhiru sambil tertawa.
"Mobil udah aku cuciin, kesal kenapa lagi sih si muka ikan beku?" Bhiru bersungut-sungut bergegas menuju ke ruangan pak Ranu yang tampak sedang membanting map di mejanya dan Jono yang tampak ingin berusaha segera pergi dari ruangan itu.
"Saya nggak mau tahu ya! Besok pagi-pagi sekali kamu jelaskan ke supplier kita. Pokoknya saya nggak mau tahu. Kamu harus bisa memperbaikinya atau akan saya pe…"
"Pliss pak, Jono jangan dipecat! Jono masih punya banyak cicilan dan juga hutang lima ratus ribu ke saya!" Bhiru tiba-tiba lancang memenggal ucapan pak Ranu dengan nyelonong masuk ke dalam ruangannya. "Saya mohoooon…"
Pak Ranu dan Jono kompak memandang ke arah Bhiru.
"Pliss pak, ampuni Jono." Bhiru memohon dengan sangat. Meski Jono suka menyebalkan, suka mengupil setiap waktu, suka berhutang tapi suka lupa mengembalikan, buaya tengik dan sebagainya, Bhiru tidak bisa tinggal diam jika Jono dipecat dari pekerjaannya.
"Kenapa saya harus mengampuni Jono?" Pak Ranu menatap Bhiru dengan tajam, membuat dengkul Bhiru jadi lemas. Tidak kuat menerima tatapan pak Ranu yang tajam bagai anak panah yang menembus ke jantungnya.
"Iya, memangnya aku punya salah apa ke pak Ranu?" Jono ikut bersuara dengan ekspresi bingung.
"Tadi sebelum saya potong, bukannya bapak mau bilang akan pe―cat Jono?" Bhiru memastikan ia tidak salah menduga.
"Sembarangan." Pak Ranu terdengar bergumam. "Siapa yang mau pecat dia?" Pak Ranu mengibaskan tangannya meminta Jono meninggalkan ruangannya.
"Hadoh!" Bhiru seketika menyesal karena bertindak gegabah. "Jadi saya salah paham ya pak?" Bhiru garuk-garuk kepala meski tidak gatal.
Memandang wajah merah padam Bhiru, bosnya itu alih-alih memperpanjang masalah, malah mengalihkan pertanyaannya, "mobil saya sudah kamu cucikan?"
"Sudah pak. Sudah nggak najis sekarang." Bhiru nyengir sambil mengembalikan kunci mobil pak Ranu dan meletakannya di atas meja.
"Ya sudah. Kamu bisa pulang sekarang." Pak Ranu mengusir Bhiru pergi dari ruangannya.
Kembali ke kubikelnya Bhiru akhirnya dapat menghela nafas dengan lega. Sudah cukup peristiwa-peristiwa memalukan yang terjadi padanya hari ini. Ia ingin cepat-cepat pulang, bertemu Langit lalu beristirahat dengan tenang.
Hufftt…Bhiru terus menghela nafas panjang.
"Anggap saja aku sedang sial hari ini." Bhiru membatin.
Sedang merapikan meja kerjanya sebelum pulang, Bhiru dihampiri oleh Jono sambil cengengesan geli. Pasti lelaki itu sedang menertawakan kekonyolannya yang tadi.
"Pak Ranu bukannya mau pecat aku, Bhi. Dia cuma bilang kalau aku nggak sanggup urus masalah supplier dia mau perintahkan karyawan lain buat menggantikan aku mengurusnya. Tapi dengan konsekuensi aku akan kehilangan bonus gede darinya." Jono menjelaskan kesalah pahaman yang terjadi. Apa yang Bhiru lihat tidak seperti yang Bhiru sangka. Pak Ranu kalau berbicara memang suka tidak berperasaan dan tampak kejam tapi tidak pernah bermaksud menjatuhkan apalagi mendzolimi bawahannya.
"Oh, OK. Aku mengerti." Bhiru mencangklong tasnya tidak ingin lagi membahas hal memalukan tadi yang ingin cepat-cepat ia lupakan.
"Dan makasih juga sudah ingatkan aku soal hutang tadi. Nih aku balikin. Makasih ya." Jono mengeluarkan lima lembar uang ratusan dari dompet kulit buluknya dan memberikannya pada Bhiru sebelum pergi.
Bhiru seketika senang menerima uang itu. Kesalah pahaman yang terjadi barusan ternyata ada hikmahnya juga. Jono yang sudah berhutang sejak lima bulan yang lalu akhirnya mengingatnya dan mengembalikan uangnya.
Saking happy-nya menerima uangnya kembali, Bhiru buru-buru meninggalkan kantor. Sampai-sampai mengabaikan pak Ranu yang sudah mengangkat tangan hendak memanggilnya dan Jenar yang baru kembali dari toilet.
"Bhi! Bhiruuu! Kenapa tumben pulang cepat? Kamu belum cerita lho soal tadi siang!" Jenar berteriak keras karena di dalam ruangan hanya tinggal dirinya dan pak Ranu yang berada cukup jauh darinya.
"Besok saja ceritanya!" terdengar sahutan Bhiru yang telah menghilang di balik pintu.
Keluar dari gedung kantor, Bhiru melihat Langit sudah menunggunya di parkiran. Bersandar pada mobilnya. Bhiru tersenyum lebar karena tidak menyangka Langit akan datang menjemputnya padahal sebelumnya mereka sempat cekcok melalui chat.
Setengah berlari menghampiri Langit, Bhiru melambaikan tangannya sambil tersenyum lebar. Ia telah melupakan percekcokannya dengan Langit tadi siang dan berharap sekarang mereka akan berbaikan.
"Senyum dong mas Langit. Jutek amat ketemu calon istri." Bhiru menggoda Langit yang masih belum mau tersenyum padanya.
"Aku begini gara-gara siapa coba?" balasnya dengan bibir manyun yang masih belum mau tersenyum.
Tapi Bhiru tidak peduli, ia terus berusaha menggapai hati Langit agar tak lagi kesal padanya.
"Makan yuk, Lang. Laperrr…" Bhiru bergelayut manja di lengan Langit dan sukses membuat Langit luluh karena sikapnya.
Menatap wajah baby face Bhiru dengan sepasang mata monolid dan bibir tipis yang tersenyum begitu manis padanya, seketika kekesalan Langit menguap.
"Mau makan apa?" Langit akhirnya bertanya sambil mengusap ubun-ubun Bhiru dengan penuh kasih sayang.
"Apa saja yang penting enak!"
"Ke tempat biasa saja kalo begitu. Makan capcay seafood." Langit membukakan pintu mobilnya untuk Bhiru.
Setelah naik ke dalam mobil, mata Langit tertuju pada paper bag berukuran sedang yang dibawa oleh Bhiru. "Apa yang kamu bawa, Bhi?"
Sempat membeku menghadapi pertanyaan Langit, Demi perdamaian dunia, akhirnya Bhiru putuskan untuk berbohong saja.
"Oh, ini blazer baru beli di olshop." Bhiru tidak kesulitan berbohong meski tak menyangka sebelumnya Langit akan bertanya mengenai apa yang ia bawa sekarang, yaitu jas Pak Ranu.
"Belanja melulu. Kapan nabungnya nih?" Langit memberi sindiran sambil mencubit gemas pipi kanan Bhiru yang hanya bisa meringis pasrah.
"Janji deh ini yang terakhir. Mulai besok aku mau fokus menabung buat keperluan pernikahan kita." Bhiru menepis tangan kiri Langit dari pipinya sambil teringat gaun pengantin yang coba ia kenakan di tempat Madam Ella. Gaun pengantin impiannya yang mana ongkos sewanya harus benar-benar ia perjuangkan dan sudah pasti akan menuai teguran dari Langit.