Chereads / LOVE WITH [ OUT ] LOGIC / Chapter 11 - Sebuah Negosiasi

Chapter 11 - Sebuah Negosiasi

"Nanti malam jangan lupa. Jadwal les Archa dimulai malam ini," ujar pak Ranu mengingatkan Bhiru yang tampak melamun di kubikelnya saat lelaki itu berjalan melewati kubikelnya.

Tapi Bhiru tidak menyahut. Kepalanya sedang dipenuhi dengan berbagai macam cara yang hendak ia pakai sebagai alasan mundur menjadi guru les Archa.

Bagaimana ini? Apakah ia harus mengatakan batal karena tunangannya tidak menyukai kerja sampingannya menjadi guru les? Itu akan membuat nama Langit jadi jelek meski kenyataannya memang begitu.

Aduuuuh...harus pake alasan apa ini? Harus logis. Pak Ranu nggak suka dengar alasan yang nggak logis. Aduuuh...Tuhaaaan! Tolong hambamu ini! Bhiru menggaruk kepalanya yang sedang pening memikirkan sebuah alasan.

"Bhiru Alodya Teng!" suara Ranu yang menyebut nama lengkap Bhiru terdengar tak sabaran kembali terdengar dan berhasil menarik gadis itu untuk menatapnya dengan tatapan bingung.

Bingung kenapa pak Ranu mengingat benar nama lengkapnya, karena tidak semua orang di kantor yang mengingat benar nama lengkapnya. Paling-paling Jenar dan Kumala yang selalu ingat nama lengkap Bhiru.

"Ya pak?!"

Menatap Bhiru yang tampak kebingungan, membuat Ranu yang awalnya kesal karena diabaikan mendadak melunak menatap wajah semi oriental Bhiru yang baby face dengan poninya yang khas.

"Kamu nggak dengerin saya ngomong apa dari tadi?" pak Ranu mengetuk pelan dahi Bhiru dengan telunjuknya.

"Soal apa pak?" Bhiru balik bertanya sambil mengusap dahinya yang sebenarnya tidak sakit. "Surel ke Bangkok? Sudah saya kirim paaak. Mereka sudah bilang oke kok."

Alih-alih menjawab, pak Ranu malah mendengus kesal sambil melangkah meninggalkan Bhiru yang kebingungan.

Melihat pak Ranu meninggalkannya, Bhiru mendadak teringat akan misinya.

Gawaaaat! Nanti malam kan sudah dimulai jadwal lesnya. Aku harus bilang sekarang juga!

Bhiru bergegas mengejar pak Ranu. Bahkan Bhiru mengejarnya hingga ke dalam ruangan akuariumnya.

Akhirnya setelah mengumpulkan segenap keberanian, Bhiru berhasil mengungkapkan keinginannya pada bosnya. Meski sesudahnya membuat kedua lutut Bhiru gemetar, keringat dingin mulai mengucur di tengkuknya dan perutnya sedikit mulas karena ditatap begitu tajam oleh pak Ranu setelah mendengar alasannya. Mengundurkan diri menjadi guru les karena jadwal les yang terlalu malam dan Bhiru khawatir dengan keselamatannya di jalan saat pulang. Menurut Bhiru itu adalah alasan terlogis yang bisa ia pakai.

"Kalo cuma karena itu alasannya, saya bisa suruh supir antar jemput kamu," ujar pak Ranu setelah cukup lama menatap Bhiru yang tampak cemas menatapnya dan berkali-kali tampak mengusap tengkuknya.

"Aduuuh, jangan pak. Merepotkan banget itu namanya. Saya mundur saja ya pak? Yaaa? Nanti saya carikan pengganti saya deh. Boleh ya pak?" Bhiru berusaha meyakinkan menatap lekat-lekat wajah dingin pak Ranu yang tampak kesal karenanya.

"Nggak bisa," jawab pak Ranu membuat Bhiru frustasi. "Yang menentukan kamu bisa mundur atau nggak, bukan saya," katanya sambil melipat kedua tangannya di dada dengan sorot mata yang seolah mengunci Bhiru dengan tatapannya.

"Lantas siapa pak?"

"Archa. Kamu bilang sendiri langsung ke dia. Bukan pada saya."

Bhiru terpana mendengar ucapan pak Ranu. Itu berarti ia masih harus ke rumah pak Ranu lagi? Langit sudah pasti tidak senang karena Bhiru merasa Langit sepertinya cemburu pada pak Ranu. Tapi ia harus ke sana untuk menyelesaikannya.

"Baiklah pak. Saya nanti bilang langsung ke Archa. Sebelumnya terima kasih ya pak," ujar Bhiru sambil memutar tumitnya hendak menuju pintu.

"Kenapa kamu nggak jujur soal alasan sebenarnya?" kata-kata pak Ranu tiba-tiba membuat Bhiru urung memutar kenop pintu.

"Saya jujur kok." Bhiru meringis lebar untuk menyembunyikan rasa gugupnya.

"Bilang saja itu karena tunangan kamu nggak suka sama saya."

JLEB! Rasanya punggung Bhiru bagai ditembus anak panah tak kasat mata. Kenapa pak Ranu selalu saja benar menebaknya. Apakah Bhiru sebegitu mudahnya dibaca seperti sebuah buku?

"Nggak pak, suer deh bukan karena itu!" Bhiru menyahut dengan cepat sambil bergegas keluar.

***

Setelah menyelesaikan pekerjaannya, terutama mengirim surel penting ke Bangkok dan surel komplain ke Jet Cargo seperti permintaan pak Ranu, Bhiru membereskan segala peralatan di mejanya.

Jenar yang awalnya masih berkutat dengan pekerjaannya terusik untuk bertanya, "pulang cepet Bhi?"

"Aku sekarang harus ke rumah pak Ranu," Bhiru menjawab sambil mengirim pesan di gawai pada Langit soal dirinya yang akan ke rumah pak Ranu untuk bertemu Archa dalam rangka pengunduran dirinya menjadi guru les. Bhiru juga meminta Langit untuk menjemputnya pulang di sana.

"Jadi juga?" tanya Carla lagi.

"Nggak jadi. Langit nggak suka. Jadi aku mundur dari pekerjaan itu dan aku hutang permintaan maaf secara langsung sama Archa," jawab Bhiru masih berkutat dengan gawainya. Menunggu jawaban dari Langit.

"Archa?"

"Nama keponakan pak Ranu. Cewek."

"Oooh. Unik banget namanya kayak patung."

"Iya memang unik. Orangnya juga unik." Bhiru terbayang sosok Archa yang unik. Remaja cantik dan imut 15 tahun yang gemar cosplay anime. Sayang sekali setelah malam ini, mungkin ia tidak akan bertemu lagi dengan sosok menggemaskan itu lagi.

"Aku duluan ya Nar." Bhiru memasukan gawai ke dalam tasnya lalu beranjak pergi.

Namun baru beberapa langkah, ia melihat Kumala mendahuluinya pergi tanpa berpamitan sepatah kata pun. Kumala yang tingkahnya sedang tidak biasanya. Bhiru menghela nafas prihatin dengan Kumala. Sahabatnya itu sedang murung karena hubungannya dengan kekasihnya tidak berjalan baik. Beberapa hari yang lalu bahkan Bhiru sempat mencuri dengar saat Kumala berbicara di telepon dengan Bian.

"Sampai kapan pun jawabanku tetap sama. Sampai kapan pun aku nggak mau kita putus!"

Setelah mengucapkan kata-kata itu, Kumala terisak lirih. Bhiru dapat melihatnya dengan jelas betapa sahabatnya itu tampak kesakitan saat mengucapkannya. Ia selalu setia pada Bian dan tidak seperti Jenar yang terkenal playgirl di kantor.

Saat melihat isak tangis Kumala tak kunjung reda, Bhiru lantas mengulurkan segepok tissue dan mengusap punggungnya lembut untuk menghiburnya. Bhiru bahkan meminta Kumala menceritakan keluh kesahnya untuk sekedar meringankan bebannya. Namun Kumala yang Bhiru kenal sejak awal memang begitu tertutup soal kehidupan pribadinya selalu saja menggeleng. Karena Bhiru menghargai itu adalah hak Kumala, Bhiru tidak pernah mendesaknya bercerita.

Selain melihat Kumala keluar, Bhiru juga melihat pak Ranu keluar dari ruangannya. Bosnya itu juga sepertinya akan pulang cepat. Haruskah ia mengejarnya untuk sekedar memintanya memberi tumpangan? Atau Bhiru menunggunya saja di dekat area parkir kantor? Jika bosnya itu melihatnya di sana pasti akan menawarinya tumpangan. Bhiru yakin seribu persen.

Pura-pura jual mahal, Bhiru berdiri di dekat area parkir kantor. Pura-pura sedang menunggu taksi daring. Saat melihat mobil hitam pak Ranu meluncur menuju ke arahnya, Bhiru tersenyum lebar. Pak Ranu pasti akan berhenti untuk menawarinya tumpangan seperti sebelumnya. Apalagi arah tujuan mereka berdua sama.

Namun senyumnya langsung pudar karena prediksinya ternyata meleset. Mobil pak Ranu melewatinya begitu saja. Bahkan membunyikan klakson untuk menyapanya pun tidak. Harapan Bhiru mendapat tumpangan pun sirna.

Memang sudah seharusnya ia tidak berharap banyak seperti tadi. Pak Ranu jelas kesal dengannya. Jadi wajar saja, Bhiru diabaikan bagai kerikil di jalanan.

"Dasar bos tidak berperikemanusiaan," gerutunya sambil membuka sebuah aplikasi di gawainya, hendak memesan taksi online.

Tapi saat Bhiru sedang sibuk menghubungi taksi online, ia dikejutkan dengan mobil pak Ranu yang tiba-tiba bergerak mundur dengan cepat dan berhenti tepat di depannya.

"Ayo naik!" perintah pak pak Ranu dari dalam mobilnya.

Bhiru sampai terperangah tak percaya menatapnya. Ia tadinya mengira pak Ranu begitu kejam membiarkannya terlantar di area parkir. Diam-diam dalam hati Bhiru merasa menyesal telah menyebut bosnya kejam.

Sebagai ungkapan terima kasihnya, Bhiru lantas menyajikan senyum termanisnya pada bosnya.

"Makasih pak, saya bisa pergi sendiri," Bhiru menyahut dan masih saja berpura-pura jual mahal.

"Ayo naik! Saya nggak mau kamu berpikir saya ini kejam."

Hiliiih! Pak Ranu benar-benar bisa membaca pikiran kah?