Kedua kaki Bhiru saja turun dari mobil pak Ranu saat melihat Langit tiba-tiba sudah berdiri tak jauh dari tempatnya berada di area parkir apartemennya. Sedang menatapnya dengan ekspresi masam yang membuat Bhiru sontak menghembuskan nafasnya kuat-kuat hingga tissue yang menyumpal dua lubang hidungnya terlepas.
"La—Langit? Gawat…" Bhiru bergegas berlari menghampiri Langit tanpa sempat mengucapkan terima kasih atau pun berpamitan pada pak Ranu yang telah mengantarkannya pulang.
"Dari mana saja kamu?" suara Langit terdengar kesal begitu Bhiru tepat berada di hadapannya. "Kenapa kamu bersama dia?" tatapan Langit beralih pada pak Ranu yang malah mengikuti Bhiru dari belakang.
"Kemarin kamu minta aku harus batalkan tawaran jadi guru les. Kamu ingat kan? Jadi aku pergi ke rumah Archa, keponakan pak Ranu, Lang. Dan beliau cuma antar aku pulang, Lang." Bhiru menjelaskan sambil mengayun-ayun manja lengan Langit yang kaku karena masih memendam kekesalan atau tepatnya sebuah kecemburuan?
Ini pertama kalinya Bhiru melihat ekspresi Langit yang sekesal itu padanya.
"Iya, aku tahu. Tapi seharusnya kamu hubungi aku untuk jemput kamu!" Langit berkata dengan keras dan membuat Bhiru tercengang. Ini pertama kalinya Langit berbicara dengan sekeras itu padanya.
"Maaf…" Bhiru berkata dengan penuh sesal sambil menahan gemuruh di dadanya yang membuat kedua bola matanya mulai basah.
"Atau paling nggak kamu kasih aku kabar. Biar aku nggak khawatir, Bhi! Aku sudah hubungi HP kamu berkali-kali tapi sama sekali nggak aktif. Tahu nggak? Kamu sudah bikin aku khawatir!"
"Maaf…" Kali ini Bhiru tidak sanggup menahan emosinya. Air matanya perlahan menetes di pipinya. "Aku nggak bisa hubungi kamu karena HP-nya habis baterai, hiks…hiks…" Bhiru menjelaskan sambil terisak.
Bhiru memang paling mudah menangis. Dan air mata itu lah yang membuat Langit akhirnya luluh dan menarik Bhiru ke dalam peluknya.
"Lain kali jangan ulangi lagi." Langit mengusap kepala Bhiru yang terisak lirih sambil menatap tajam ke arah pak Ranu yang sedang menonton mereka berdua dengan ekspresi muak.
Mengintip dari celah pelukan Langit, Bhiru menemukan pak Ranu masih berdiri menunggunya.
"Terima kasih sudah mengantarkan tunangan saya," ucap Langit kemudian dengan memberi penekanan pada kata 'tunangan', seolah-olah memberi isyarat pada pak Ranu agar tidak mengusik apalagi mencoba untuk merayu Bhiru.
"OK," sahut pak Ranu menerima ucapan terima kasih dari Langit lalu pergi sambil terkekeh sinis.
Setelah pak Ranu pergi, Langit baru menyadari ada yang janggal pada wajah Bhiru.
"Hidung kamu kenapa jadi begini?" Langit menangkup wajah Bhiru untuk melihat lebih jelas hidung Bhiru yang sedikit tersamarkan oleh redupnya penerangan di area parkir apartemennya.
"Ini…" Bhiru jadi bingung bagaimana menjelaskannya.
Haruskah Bhiru mengatakan yang sebenarnya kalau hidungnya bengkak dan memar seperti ini karena habis menabrak siku keras pak Ranu? Emosi Langit yang telah reda bisa jadi akan memuncak lagi. Tapi jika ia berkata yang tidak sebenarnya, ia akan melindungi pak Ranu dari kemarahan Langit yang berikutnya.
Setelah menimbang sesaat, Bhiru akhirnya memutuskan. Demi terciptanya sebuah perdamaian di muka bumi, Bhiru harus melakukannya.
"Hidungku jadi begini karena waktu di rumah Archa aku menabrak dinding kaca." Bhiru meringis menatap wajah Langit yang akhirnya berubah menjadi geli. "Tahu sendiri dong rumah orang kaya, dindingnya serba pakai kaca. Sudah bening banget, tebal pulak!" Bhiru mengarang dengan lancar.
"Dasar sembrono." Langit pun mengacak-acak rambut di puncak kepala Bhiru dengan gemas.
Dan Bhiru menikmati perlakukan Langit dengan senang hati. Tidak apa-apa rambut berantakan acak kadut karena menjadi korban kejahilan Langit, yang penting tunangannya itu sudah tidak marah lagi padanya.
"Kamu sudah makan?" tanya Langit merangkul bahu Bhiru saat mereka berdua berjalan masuk menuju gedung apartemen Bhiru.
"Sudah, waktu di rumah Archa."
"Yaaah…" Langit terdengar kecewa. "Padahal aku mau ajak kamu pergi makan nasi padang."
"Jam segini makan malam? Aku bisa jadi melebar kayak Barney, Lang!" Bhiru menyebut nama boneka tiranosaurus lucu berukuran jumbo pemberian dari Langit saat ia berulang tahun dulu.
"Nggak apa-apa, aku malah jadi tambah sayang sama kamu." Langit mengetatkan rangkulannya.
Saat Bhiru baru membuka pintu apartemennya, Langit tiba-tiba menariknya masuk dengan cepat. Menciuminya dengan rakus dan memaksa Bhiru rebahan di atas sofa.
Namun kedua lengan Bhiru berusaha menahan tubuh Langit yang berusaha menindihnya sambil terus menciuminya. Jujur saja Bhiru tidak pernah merasa nyaman dengan perlakukan Langit yang seperti ini apalagi dengan posisi mereka berdua yang seintim ini. Bhiru benar-benar tidak menyukainya. Ia harus menghentikan Langit, karena Bhiru merasa Langit ingin meminta lebih dari sekedar berciuman intim.
"Stop! Stop Lang! Aku mohon!" memaksa melepaskan diri dari ciuman Langit, Bhiru menghentikannya dengan tegas bertepatan dengan tangan Langit yang hendak merayap masuk ke dalam blouse-nya.
"Kenapa?!" Langit protes sambil menghela nafas kecewanya dan menyugar rambutnya.
"Aku nggak mau kita berdua sampai melampaui batas, Lang." Bhiru bergeser turun dari sofa, menjauhkan diri dari Langit.
"Apa salahnya, Bhi? Sebentar lagi kita akan menikah juga." Langit tampak frustasi saat mengucapkannya.
"No…no…no...aku nggak bisa, Lang. Kita sudah pernah bicarakan soal itu dulu. Kamu ingat?" Bhiru menggeleng tegas.
"Ingat."
"Maka dari itu, aku cuma ingin kamu bersabar hingga hari itu tiba." Bhiru meraih tangan Langit dan menggenggamnya. "Maaf, Lang. Tolong hargai keinginan aku."
Masih tampak kecewa, Langit menatap wajah Bhiru yang tampak kacau karena perbuatannya.
"Kamu nggak perlu minta maaf. Yang salah itu aku, Bhi." Langit menarik tangannya dari genggaman tangan Bhiru untuk mengusap wajahnya. "Kamu mandi lalu cepat tidur ya. Aku pulang saja," ucap Langit pelan seraya berpamitan meninggalkan Bhiru yang masih duduk di lantai.
Tanpa kecupan di kening sebelum pergi, seperti biasanya. Tapi tidak mengapa.
Bhiru tersenyum getir melepas Langit pergi. Meski ada perasaan sedih, Bhiru tetap merasa lega.
Memeluk erat boneka Barney di atas ranjangnya, ingatan Bhiru terlempar kembali ke masa sepuluh tahun silam. Saat ia itu ia baru menginjak tujuh belas tahun. Mempunyai mimpi besar yang akan diwujudkan dan masa remaja yang seharusnya indah.
"Papa nggak akan membiarkan kamu terpuruk. Kamu harus bangkit, Bhi. Papa yakin kamu kuat, kamu bisa. Kamu jangan takut, kamu nggak sendirian. Kita hadapi bersama-sama..."