Turun dari mobil, Bhiru berjalan mengekor di belakang pak Ranu seperti biasa. Memasuki rumah besar Archa yang seperti biasa tampak lengang, Bhiru mencoba merangkai sebuah narasi minta maaf pada Archa di dalam benaknya. Bhiru benar-benar memikirkannya, karena ia benar-benar menyesal dan tidak ingin gadis lima belas tahun itu kecewa karena keputusannya.
Tapi apa yang akan ia lakukan adalah demi Langit, meski pun sebenarnya ia berat melakukannya. Honor yang lumayan menggiurkan itu terpaksa harus ia relakan melayang.
BUG!
Tiba-tiba Bhiru menabrak punggung pak Ranu yang tiba-tiba berhenti melangkah tanpa aba-aba.
"Aduuuh..." Bhiru mengerang pelan sambil mengusap keningnya yang sakit karena menabrak punggung pak Ranu yang ternyata sekeras batang pohon. "Kenapa bapak berhenti nggak pakai bilang-bilang sih?!"
Pak Ranu berbalik dengan wajah datar dan menatap Bhiru dengan mata tajamnya yang membuat Bhiru seketika menyesal telah melampiaskan kekesalannya barusan.
"Jalan tuh pakai mata, jangan pakai perasaan," balas pak Ranu sambil meninggalkan Bhiru di ruang tamu sendirian.
Menunggu Archa muncul, Bhiru duduk di sofa. Sama seperti hari sebelumnya saat ia pertama kali bertemu dengan Archa, ia pun harus menunggu cukup lama.
Untuk mengusir rasa bosannya, Bhiru lalu mengedarkan pandangan ke sekeliling ruangan dan tiba-tiba saja lampu di ruangan mati. Membuat semuanya menjadi gelap gulita.
"Duh!" Bhiru yang panik segera menyalakan lampu senter di gawainya karena sebenarnya ia takut gelap.
Dan tiba-tiba saja ia melihat seraut wajah menyeramkan muncul tepat di depannya.
Membuat Bhiru sontak menjerit heboh, "AAAAAAAAAAA!!!" sebelum berlari dan ia malah menabrak seseorang hingga ia jatuh terpental ke lantai dengan cukup keras.
"Aduuuuuh..."
Ia pun kini merasakan nyeri yang lumayan hebat dari hidungnya, yang membuat kepalanya pusing.
Kemudian ia mendengar suara Archa memanggilnya dalam kegelapan.
"Kaaak? Kak Bhiru nggak apa-apa? Archa minta maaf ya sudah ngerjain kakak."
Bhiru yang masih duduk di lantai hanya bisa menarik nafas lega yang panjang karena batal melihat hantu tapi malah menabrak sesuatu yang membuat hidungnya sakit.
Lampu di ruangan pun tiba-tiba menyala kembali.
Memperlihatkan dengan jelas sosok pak Ranu yang telah berdiri di dekatnya dan sosok Archa yang malam ini lebih mirip Sadako, hantu anak perempuan Jepang dengan make-up wajah dibuat pucat, wig hitam panjang berponi dan tetesan darah palsu di masing-masing sudut mata.
"Maafin aku ya kaaaak..." Archa kembali mengulangi ucapannya sambil jongkok di samping Bhiru yang tengah merasakan pusing di kepalanya.
Tapi kemudian Archa terperangah kaget melihat hidung Bhiru yang telah mimisan.
"Kak Bhiru mimisan, Om!" seru Archa membuat Bhiru panik dan langsung menengadahkan wajahnya ke atas.
Akan tetapi usahanya itu dihalangi oleh Pak Ranu yang jongkok di depannya dan menarik wajah Bhiru agar menghadap ke arahnya serta menjepit cuping hidung Bhiru dengan dua jarinya untuk menghentikan mimisan. Meski pun caranya itu membuat Bhiru sempat kesulitan bernafas hingga ia harus membuka mulutnya untuk bernafas.
"Tolong ambilkan tissue di meja, Cha!" pinta pak Ranu dengan tegas untuk mengusap darah mimisan yang sudah terlanjur mengucur hingga ke bibir dan dagu Bhiru. "Ambilkan es juga di dapur, untuk kompres!"
Setelah memberikan segepok tissue, Archa bergegas berlari menuju dapur mengambil es batu.
Menunggu Archa kembali, Bhiru hanya bisa duduk canggung di lantai dengan posisi begitu dekat dengan pak Ranu yang dua jarinya tangannya masih menjepit cuping hidungnya dengan cukup keras. Menatap pak Ranu yang tampak tidak sabar menanti Archa kembali dari dapur.
"Kak Bhiru mimisan gara-gara shock aku kagetin ya?" Archa yang telah kembali membawa es batu yang dibungkus dengan handuk kecil bertanya dengan nada menyesal tepat di samping Bhiru. Sadako yang harusnya tampak seram kini justru tampak sedang menahan tangis.
Namun Bhiru hanya bisa menggeleng untuk memberi isyarat pada Archa karena kini ia tengah mengompres hidungnya yang mulai berhenti mimisannya.
"Hidung dia sepertinya mimisan gara-gara kena sikut siku Om pas mati lampu tadi." Pak Ranu tiba-tiba buka suara untuk menjelaskan dan membuat Bhiru akhirnya mengerti sesuatu yang begitu keras ia tabrak tadi ternyata siku tangan kekar pak Ranu yang rajin latihan angkat barbel.
Tapi Bhiru sedikit kesal karena hati pak Ranu sama sekali tidak tergerak untuk meminta maaf padanya. Meski pun itu adalah bukan kesengajaan.
Setelah beberapa menit dikompres dengan es batu, mimisan Bhiru akhirnya berhenti. Meski pun tetap meninggalkan bekas memar dan sedikit bengkak pada bagian tulang hidung. Membuat bentuk hidungnya menjadi 'sebelas dua belas' dengan jambu monyet.
"Sudah enakan, kak?" Archa kembali bertanya dengan khawatir karena melihat bentuk hidung Bhiru yang tampak lebih besar dari sebelumnya.
Bhiru mengangguk sambil mengusap pelan hidungnya yang masih terasa nyeri.
Pak Ranu yang sejak tadi menungguinya dengan duduk di sofa, tiba-tiba berdiri.
"Saya antar pulang kamu sekarang," katanya tanpa basa-basi.
"Tapi pak? Saya kan belum ngomong ke Archa." Bhiru menatap Archa dengan perasaan bersalah.
"Ya sudah, biar saya saja yang ngomong." Pak Ranu beralih menatap keponakannya yang kini tampak bingung menatap Bhiru dan Omnya secara bergantian.
"Cha, kedatangan Bhiru sebenarnya mau mengundurkan diri."
"Hah? Kenapa?" Wajah Archa tampak shock. "Kak Bhiru pasti marah ya ke aku? Gara-gara aku kagetin tadi."
"Enggak, Cha. Bukan karena itu." Bhiru memegang tangan Archa yang tampak sedih mendengar pengumuman dari Omnya.
"Tapi aku sudah suka sama Kak Bhiru," gumannya lirih.
"Maafin aku ya Cha..." tangan Bhiru mengusap kepala Archa untuk menghiburnya.
"Kenapa? Apa alasannya?"
"Itu karena aku sebentar lagi mau menikah, Cha." Bhiru terpaksa menggunakan alasan itu untuk menguatkan alasannya. Padahal yang sebenarnya, ia masih punya banyak waktu meski pun akan mempersiapkan pernikahannya 11 bulan lagi. Tapi demi Langit, ia terpaksa membatalkannya. "Karenanya aku bakalan sibuk mempersiapkan banyak hal buat pernikahan." Bhiru meringis lebar sambil melirik pak Ranu yang tertangkap basah sedang mengangkat sedikit sudut bibirnya. Bhiru dengan jelas melihatnya dan ingin rasanya meninju wajahnya. Sudah jelas, senyum miring bosnya itu seperti sedang mengejeknya.
"Ya udah, aku nggak akan paksa kakak." Archa menerima permohonan Bhiru dengan cepat. "Tapi kalo aku nanti sering hubungin kak Bhiru, jangan keberatan ya?"
"Nggak apa-apa." Bhiru merangkul Archa.
Jujur ia sangat menyukai kepribadian gadis remaja ini. Sosok riang dan polos Archa seolah mengingatkannya akan dirinya di masa lampau.
"Tapi sebelum kakak pulang, please malam ini sama Om Ranu temani aku dinner ya?" pinta Archa lagi. "Mama sama Papa lagi ke Singapore, Archa nggak mau dinner sendirian," tambahnya membuat Bhiru tidak tega untuk menampiknya lalu mengangguk.
Pukul sepuluh malam, setelah makan malam Bhiru berpamitan pada Archa.
Masuk ke dalam mobil, pak Ranu menatapnya dengan tatapan aneh.
"Bapak ngapain lihat-lihat saya?" tuduh Bhiru kesal sambil mengenakan sabuk pengamannya. Bhiru tahu pak Ranu pasti jijik melihat kedua lubang hidungnya yang masih disumpal dengan tissue.
"Memangnya masih meler?" tanyanya dengan acuh tak acuh sambil menjalankan mobilnya.
"Udah enggak sih pak. Tapi masih ada darahnya nih." Bhiru mencabut salah satu tissue penyumpal hidungnya yang ternyata masih menampakan sedikit noda darah dan memperlihatkannya tepat di samping wajah pak Ranu yang sontak kaget dengan ulah stafnya yang songong.
Puas melihat ekspresi kaget pak Ranu, Bhiru kembali menyumpalkan gulungan tissue-nya ke lubang hidungnya dan menikmati perjalanan pulangnya.