Ji Hanjiang mulai menyadari maksud Yan Yiren yang berani memintanya menunggu di depan kantor. Yan Yiren menyuruh Ji Hanjiang datang seperti biasa karena ingin menampakkan di depan para rekan kerjanya untuk mempublikasikan hubungan mereka berdua.
Setelah hubungan ini terekspos, ia yakin para rekan kerja perempuan itu tidak akan lagi menyinggungnya.
Ji Hanjiang diam dan mengerutkan kening. Tiap kali Yan Yiren menunjukkan hubungannya pada orang lain, selalu ada tujuan di baliknya.
Kalau tidak ada tujuannya... apakah dia akan tetap mengekspos hubungan ini?
Ji Hanjiang tidak akan menanyakan hal ini, karena pasti jawabannya akan sama.
Yan Yiren mengangguk, "Iya, tapi tidak sepenuhnya untuk itu. Aku lelah dengan semua cemoohan rekan kerjaku, tapi aku juga merasa hubungan ini sudah tak perlu disembunyikan."
"Malam ini kita makan apa?" Ji Hanjiang mengubah topik pembicaraan lantaran tidak ingin menghabiskan banyak kata untuk berdebat soal ini.
"Masakan Jepang, yuk?"
"Oke."
*****
Setelah mendapatkan meja khusus, mereka pun menikmati makanannya.
Hari ini Ji Hanjiang tidak banyak bicara. Ia sedang malas berpikir atau membahas sesuatu, sehingga ia lebih banyak diam.
Yan Yiren merasakan seperti ada yang tidak beres dengan Ji Hanjiang. Ia pun meletakkan sumpit dan bertanya, "Hanjiang, kau kenapa? Apakah kau tidak nyaman?"
Ji Hanjiang mengangkat bola matanya memandang Yan Yiren sambil tersenyum, "Tidak. Apa aku terlihat tidak nyaman?"
"Iya." Yan Yiren mengangguk yakin.
"Sepertinya karena kemarin malam aku tidak bisa tidur nyenyak."
"Sungguh gara-gara itu?"
Ji Hanjiang menunduk dan tersenyum, "Kenapa? Kau tidak percaya padaku?"
"Tidak." Yan Yiren ragu dan memutuskan untuk berhenti bicara.
Sejujurnya, Ji Hanjiang belum melamarnya. Yan Yiren hanya berjanji pada neneknya akan menikah dengan Ji Hanjiang.
Tapi, maksud Ji Hanjiang masih belum jelas.
Meskipun Ji Hanjiang pernah bertanya 'apakah kau mau menerima lamaranku?' Kala itu, jawaban Yan Yiren adalah 'harusnya pertanyaan itu ditanyakan oleh dirinya pada Ji Hanjiang'.
Ji Hanjiang sangat pintar, harusnya ia mengerti.
Yan Yiren sudah mengalah, tapi sampai sekarang Ji Hanjiang belum juga beraksi.
Sebenarnya Yan Yiren masih bisa menunggu, tapi usia neneknya...
Sudahlah, perempuan yang meminta dinikahi bukanlah hal yang memalukan. Apalagi ia minta menikah pada orang yang dicintainya. Jadi, apa hubungannya dengan rasa malu?
Ji Hanjiang meletakkan sumpitnya, tanganya menopang kepalanya dan alisnya mengerut, "Ada yang ingin kau katakan padaku?"
Yan Yiren tiba-tiba menunduk, wajahnya tersipu, "Aku tak tahu harus bagaimana mengatakannya, aku belum punya pengalaman untuk mengatakannya."
Ji Hanjiang paham dengan ekspresi itu. Ia pun mengeratkan bibirnya, "Tak apa, katakan saja. Aku akan mendengarkannya."
Yan Yiren masih menunduk, tanganya mengepal, "Hanjiang, kau... bersedia... menikahiku?"
Ungkapan yang terbata-bata itu tidak membuat Yan Yiren lega, hatinya seperti naik ke tenggorokan.
Karena ia tidak tahu bagaimana jawaban Ji Hanjiang. Bersedia... atau tidak?
Ji Hanjiang tidak menyangka Yan Yiren bertanya seperti itu. Ia kira Yan Yiren akan mengatakan hal yang sedang ditutupinya.
Ji Hanjiang terkejut. Beberapa saat kemudian, ia keluar dari lamunannya, "Tentu bersedia. Tapi, sebelum itu, kau harus menemui orang tuaku."
Yan Yiren menggigit bibir bawah karena perasaan senang ini. Ua pun lega dan tersenyum bahagia, "Tentu, aku akan menemui orang tuamu."
"Kalau begitu, kita atur hari untuk bertemu orang tuaku."
Terlalu tenggelam dalam kebahagiaan, Yan Yiren sampai lupa kata dokter bahwa dia tidak boleh makan makanan mentah yang bisa mengiritasi perutnya.
Setelah makan tiga iris ikan salmon, perutnya tiba-tiba mual. Ia pun segera berlari keluar ruangan sambil menutupi mulutnya, tanpa menghiraukan Ji Hanjiang.
Ji Hanjiang menatap kosong pintu ruangan. Mual?
Walaupun tahu jika reaksi hamil tidak mungkin secepat itu, tapi hal ini masih menusuk hatinya.