Tak lama kemudian ada mobil mewah yang berhenti di depan rumah Indra. Dia menduga itu pasti Devano dan keluarganya. Arman segera membuka gerbang rumahnya dan mempersilahkan mobil mereka masuk ke halaman rumah Arman yang tidak terlalu luas.
"Assalamualaikum. Pak Arman." Fatih, ayah Devano turun lebih dulu menyapa si tuan rumah.
"Waalaikumsalam Pak.."
"Fatih. Nama saya Fatih, Pak. Ini istri saya Arini namanya." Fatih, Arini bersalaman dengan Arman dan Eva. Diikuti Devano dan Zivana.
"Mari silahkan masuk Pak Fatih, Bu Arini." Indra yang di dampingi Eva mengajak mereka masuk ke dalam rumah Arman yang sederhana. Bahkan mungkin jauh dari kata mewah.
"Adem ya Pak di sini. Banyak tanaman. Pak Arman suka berkebun?"
"Iya Pak, saya kalau sedang libur, suka bercocok tanam. Di pekarangan belakang saya tanami sayur dan buah hidroponik."
"Wah pasti menyenangkan." Fatih mencoba berbasa basi lebih dulu dengan Indra agar tidak terlalu kaku. Fatih menangkap sosok gadis cantik yang perutnya sudah mulai membesar. Dia bisa memastikan kalau itu adalah Aliya. Gadis yang sudah dihamili oleh anaknya.
"Iya Pak. Setiap hari mengajar anak-anak SD yang kadang bikin stress, tanaman-tanaman ini bisa mengurangi stress." Arman sedikit melirik ke pemuda tampan dan gagah yang duduk di samping Fatih. Wajahnya memang tampan tapi kelakuannya membuat Arman muak. Kalau saja orangtua Devano tidak sebaik ini, mungkin Arman sudah memukuli Devano sedari tadi. Karena dialah, masa depan Aliya jadi hancur.
"Oh Pak Arman guru SD?"
"Iya, Pak. Saya hanya guru olahraga di sekolah dasar."
"Guru itu pekerjaan mulia, Pak. Semua orang-orang sukses di dunia ini, awalnya juga dididik oleh seorang guru. Semoga kesejahteraan guru di Indonesia semakin diperhatikan ya, Pak."
"Aamiin.. iya Pak Fatih. Sekarang kesejahteraan guru-guru sudah mulai diperhatikan koq."
"Mari silahkan di minum.." Eva datang membawa nampan yang berisi minuman dan kue. Lalu setelah menaruh nampan di dapur, dia duduk di samping Indra.
"Begini, Pak Arman dan Bu Eva, maksud kedatangan kami ke sini adalah untuk mempertanggung jawabkan perbuatan putra kami Devano terhadap Aliya. Kami mengakui telah gagal menjadi orangtua karena anak kami bisa sampai bertindak sejauh itu. Dan hari ini Devano akan melamar Aliya. Dan untuk hari pernikahan, kami serahkan pada keluarga Pak Arman. "
Devano tampak tidak nyaman dengan posisi duduknya. Dia tampak tak acuh dengan acara itu. Dia hanya sekali melihat ke arah Aliya lalu membuang mukanya. Aliya yang menyadari hal itu, hatinya menjadi nyeri.
"Iya, Pak Fatih. Kalau bicara tentang mendidik anak, kami juga merasa gagal karena anak kami tidak bisa menjaga kehormatannya. Jujur kami merasa terpukul dengan apa yang sudah dilakukan Devano dan Aliya. Tapi semua sudah terlanjur. Nasi sudah menjadi bubur. Yang kami pikirkan saat itu adalah bagaimana dengan anak yang di kandung Aliya kalau tidak mempunyai Ayah. Apalagi waktu itu Devano sempat menghilang." Arman melirik Devano dengan sorot mata tajam.
"Iya, Pak Armab saya benar-benar minta maaf dengan apa yang sudah dilakukan oleh Devano pada anak Bapak. Kami sebagai orangtua sudah memberikan pendidikan sebaik-baiknya untuk anak kami. Tapi di luar dugaan. Devano malah berbuat sesuatu yang mengecewakan kami."
"Ya sudah Pak Fatih, kita sama-sama salah. Sekarang yang kita pikirkan adalah penyelesaian masalah ini. Anak saya butuh suami untuk membesarkan anaknya. Dan saya harap Nak Devano benar-benar mau bertanggung jawab."
"Bagaimana Devano, kamu serius kan mau bertanggung jawab?" Fatih menanyai anaknya.
"Terserah Ayah saja." Devano menunduk. Tak berani melihat Arman yang menatapnya tajam.
"Kamu serius tidak mau menikahi anak saya?" nada suara Arman meninggi. Karena melihat Devano seperti tidak serius dengan niatnya.
"Iya, Om saya serius mau menikahi Aliya." Devano memasang wajah seriusnya saat dibentak oleh Arman. Fatihpun tak sakit hati. Karena menyadari putranya yang keterlaluan.
"Kita buat acara pernikahannya secepatnya saja ya Pak. Kasihan Aliya kalau menunggu lama." Fatih merendah. Berusaha untuk menenangkan calon besannya itu.
"Pak Fatih, pernikahan itu adalah sakral. Anda pasti lebih tahu daripada saya. Saya hanya ingin memastikan Devano memang benar-benar mau bertanggung jawab."
"Iya Pak Arman saya mengerti akan hal itu."
"Jadi kalau memang Devano tidak sungguh-sungguh, saya tidak akan menikahkan anak saya dengannya. Biar Aliya membesarkan anaknya sendiri."
"Tidak Om, saya benar sungguh-sungguh mau menikahi Aliya koq."
"Benar ya, Dev? Saya sudah percaya sama kamu. Kalau kamu mengecewakan anak saya, saya tidak akan memaafkanmu."
"Iya Om, saya janji."
Acara itupun dilanjutkan dengan makan bersama. Devano sama sekali tak ada niat untuk mengajak Aliya ngobrol. Dia makan dengan cuek. Dan tidak ada niat menanyakan kondisi kehamilan Aliya.
"Kak, kamu ga ada niat buat ngobrol sama calon istrimu?"
"Buat apa Zi? bentar lagi juga gue nikah sama dia. Ntar aja deh nanya-nanyanya." Devano masih memakan makanannya. Enggan menanggapi obrolan Zivana lebih jauh.
"Memangnya kamu tidak ingin tahu perkembangan anakmu?"
"Enggak ah.. Lagian juga baru berapa bulan sih?"
"Inget perjanjianmu dengan Ayah, Kak. Apa mau aku suruh Ayah batalin perjanjian kalian?"
"Oke-oke baiklah." Devano meletakkan piringnya lalu mencari Aliya. Gadis itu rupanya sedang duduk sendiri di teras sambil mengusap perutnya. Sejenak Devano merasa iba.
"Aliya.."
"Eh, Kak Vano."
"Sedang apa kamu?"
"Sedang santai saja lihat ikan di kolam."
"Maafin aku, ya."
"Sudahlah Kak. Semua sudah terjadi. Yang penting ke depannya yang harus kita pikirkan."
"Aku sudah jadi laki-laki brengsek. Maafkan aku."
"Hem."
"Bagaimana kandunganmu?"
"Alhamdulillah.. meski beberapa kali aku harus masuk rumah sakit karena stress."
"Maaf sudah membuatmu menderita."
"Aku juga salah koq." Mereka terlibat obrolan tapi terasa canggung satu sama lain. Zivana yang diam-diam mengamati interaksi keduanya, tersenyum melihat Devano yang sepertinya sudah mulai mengakui kesalahannya. Memang sudah sepatutnya begitu. Zivana kasihan pada Aliya yang harus menanggung beban seberat itu. Tapi untunglah kakaknya benar-benar tulus. Terlihat dari sikap Devano pada Aliya barusan. Zivana meninggalkan keduanya agar mereka bisa berbicara dari hati ke hati.
"Kamu mau kita nikah kapan?"
"Terserah kak Vano saja."
"Baiklah. Bagaimana kalau minggu depan?"
"Memang tidak terlalu terburu-buru kak?"
"Memang harus buru-buru kan? kalau tidak, perutmu akan semakin besar. Kamu akan malu."
"Ya kakak benar."
"Ya sudah ayo masuk. Aku akan bilang mau menikahimu minggu depan."
"Iya Kak." Devano menggandeng Aliya masuk ke dalam rumah dengan hati-hati. Aliya merasa bahagia karena orang yang ia cintai kini datang dan benar-benar mau bertanggung jawab.
"Ayah, bunda Aku dan Aliya sudah memutuskan untuk menikah minggu depan." Fatih dan Arini terkejut tapi juga senang. Mereka melihat Devano serius. Dan mereka bahagia karena sebentar lagi akan memiliki cucu.
"Kamu serius, Nak?"
"Iya Ayah."
"Bagaimana Pak Arman?"
"Kalau mereka memutuskan seperti itu, saya ikut saja Pak."
"Baiklah, Pak Arman tidak usah repot. Nanti saya akan menyewa jasa WO untuk mengurus semuanya." Fatih tampak bersemangat.
"Tidak perlu Pak Fatih. Kita buat acara sederhana saja di sini. Saya tidak ingin acara besar."
"Baiklah kalau memang seperti itu. Yang penting semua berjalan lancar."
"Aamiin.."
******
Bisa bantu tinggalkan jejak di sini? 😁😁