Di layar komputernya terdapat 4 kotak layar dari CCTV malam itu. Secara bergantian Daiki masuk kedalam 4 kamera CCTV di setiap sudut gedung kepolisian.
Perhatian Daiki tertuju pada sebuah kamera CCTV yang berada di teras gedung. Di sudut layar terdapat waktu ketika objek terekam. Pukul 11.00 malam tampak seorang pria berpakaian seperti pengantar pizza menaiki teras gedung dan masuk ke dalam gedung. Pria itu mengenakan topi. Penasaran, Daiki menekan tanda stop dan memperbesar gambar untuk melihat profil pria itu dari samping. Namun gambar terlalu kabur sehingga sulit untuk mencoba melihat wajah di bawah topi itu.
Perhatian Daiki cepat beralih pada kotak layar yang menunjukkan bagian dalam gedung. Terlihat beberapa polisi sedang bersantai dan mengobrol. Lama Daiki menatap layar itu dan nyaris beralih ke kotak lain ketika dia melihat pria berpakaian pengantar pizza itu melintas.
Daiki bisa melihat bahwa salah seorang detektif mencoba berbicara namun pria berpakaian pengantar pizza itu terus saja berjalan tanpa mengangkat wajahnya. Daiki merasa curiga dan mulai menekan keyboard untuk membuka masuk pada semua kamera CCTV.
Tiba-tiba dia menghentikan gerakan jarinya dan instingnya mengatakan bahwa ada orang lain berada di ruang kerjanya. Dengan gerakan cepat, Daiki berdiri dari duduknya dan menyerang orang yang kini berada tepat di belakangnya.
"Daiki!!" Ruri berseru kaget ketika melihat Daiki nyaris mencengkram lehernya.
"Ruri!!" Daiki segera menarik jari-jarinya yang berada tepat di leher Ruri. "Kupikir kau sudah tidur? Apa yang kau lakukan?!" tegur Daiki.
Ruri mengusap lehernya yang hampir dicengkram Daiki karena dikira penjahat menyusup. "Aku tidak bisa tidur." Ruri menjawab lirih. "Aku takut."
Daiki menatap Ruri yang persis anak kecil. Dia seolah melihat kembali Ruri kecil yang menangis sendirian di kamarnya.
Daiki mendekat dan meraih kepala Ruri ke dadanya. Ruri terpaku saat pipinya merasakan dada hangat itu.
"Maaf. Aku meninggalkanmu. Tidur saja di sofa di kamar ini." Dengan halus Daiki mendorong bahu Ruri dan tersenyum.
"Tapi aku akan mengganggumu," Ruri melihat komputer yang menyala di belakang Daiki.
Daiki tersenyum miring. "Mengganggu jika kau tidak tidur. Aku ingin kau tidur. Oke?" ucap Daiki sambil mendorong dahi Ruri dengan halus.
Ruri tertawa. "Baiklah. Aku akan tidur di sofa," Ruri melangkah ke arah sofa di dekat jendela dan merebahkan dirinya. Posisi sofa itu tepat mengarah pada Daiki yang duduk di depan komputer. Dia jadi bisa menatap profil Daiki dari samping.
"Kau tidak akan pergikan, Daiki-kun?" tanya Ruri pelan. Sudah lama sekali dia tidak memanggil Daiki dengan panggilan –kun dan itu sempat membuat Daiki yang mendengarnya terdiam. Namun mata Ruri mulai meredup.
Daiki yang duduk di kursinya melihat bagaimana Ruri mulai memejamkan matanya. Wanita itu berbaring miring menghadapnya. Bulu mata lentik itu tampak rebah tak bergerak. Ruri sudah tertidur.
Daiki tersenyum tipis dan bergerak pelan. Diraihnya jaketnya yang tadi dikenakannya dan diletakkannya menutupi bahu Ruri yang terbuka. Dia berlutut di samping sofa dan jari telunjuknya menelusuri lekuk wajah bujur telur itu dengan perlahan. Napas hangat wanita itu menyapu jari telunjuknya.
"Aku takkan pernah pergi dari sisimu." Suara Daiki begitu pelan. Takut membangunkan Ruri.
Sejenak Daiki menatap Ruri yang tidur dengan tenang. Wanita itu benar-benar menjelma menjadi wanita yang cantik. Tak terhitung banyaknya pria yang jatuh cinta padanya. Sudah enam kali hampir menjadi pengantin dan sudah enam kali pula Daiki harus menahan perasaan pedihnya. Namun 6 kali juga dia menghembuskan napas lega karena Ruri selalu kabur dari altar sumpah setia itu.
Dia mencintai Ruri. Sangat mencintai wanita itu sehingga dia hanya memikirkan kebahagiaan Ruri tanpa menghiraukan kebahagiaan dirinya sendiri. Meskipun kelak dia hanya dianggap sebagai saudara lelaki bagi wanita itu, dia tidak akan apa-apa. Dia hanya bisa menyimpan rasa cintanya rapat-rapat.
Daiki berdiri dan kembali duduk di depan komputer. Jari-jarinya kembali menari di atas keyboard dan kini perhatiannya tertuju pada layar-layar kamera CCTV di area tahanan.
Dia memajukan duduknya lebih dekat dan menatap heran pada layar hitam CCTV yang berada di area tahanan. Dia tersentak ketika dalam sekian detik layar kembali normal dan sekarang tampak sosok Jiro Miura yang tergeletak di lantai.
"Ada yang tidak beres!" Dengan jari-jari yang bergerak cepat, Daiki mulai menekan nomor-nomor sandi tiap kamera. Layar-layar silih berganti dan dia kehilangan sang pengantar pizza.
Jarinya menekan sebuah sandi pada CCTV yang berada pada ruangan para polisi berada. Tampak pengantar pizza itu berjalan cepat melintasi ruangan.
Daiki menajamkan telinganya untuk mendengar kalimat seorang detektif.
"Hei! Apa mereka diatas tidak jadi makan pizza?"
"Mereka tidak menginginkan pizza dengan kotaknya."
Daiki menekan stop pada situasi tersebut dan menzoom-in gambar tersebut. Dia merekam dalam ingatannya bentuk dan warna kotak pizza yang dipegang oleh pria tersebut. Kemudian dia menekan play, kamera kembali berjalan yang memperlihatkan pria itu berjalan tanpa menoleh.
Kini Daiki mengalihkan perhatiannya pada CCTV di area halaman gedung. Daiki dapat melihat pria itu menuruni tangga hampir seperti berlari. Tampak pria itu menatap ke arah CCTV dan malam sudah mulai larut. Daiki tidak berhasil mendapatkan wajah itu namun dugaannya tepat. Pria itu melempari kotak-kotak pizza itu ke tong sampah dan setelah itu kejadiannya begitu cepat. Kamera CCTV menangkap kebakaran tong sampah yang disulut oleh pria misterius itu.
"Sialan!" umpat Daiki. Dia menatap plastik berisikan potongan kertas keras dan bangkai sarung tangan dari tong sampah yang terbakar. Kemudian matanya terpaku pada layar CCTV yang di stop, pada punggung misterius yang sedang melempar sesuatu ke dalam tong sampah. Telunjuk Daiki menekan layar komputernya.
"Aku akan menangkapmu!"
****
Hideo menyusup ke balik selimut hangat yang melingkupi tubuh Naoko. Dengan hati-hati dia memeluk tubuh mungil itu. Telapak tangannya mengelus kulit bahu telanjang Naoko yang halus. Dikecupnya mesra bahu itu dan tampak wanita itu bergerak pelan.
"Hideo...kaukah itu?" tanya Naoko serak.
Hideo melingkarkan lengan kokohnya di seputar pinggang ramping itu dan berbisik di telinga Naoko. "Jangan bangun. Tidurlah lagi."
Naoko terdengar bergumam pelan dan merapatkan punggungnya pada dada Hideo. Terdengar embusan napasnya yang teratur di ruangan kamar yang besar itu.
Hideo begitu menikmati memeluk Naoko. Matanya nyalang menatap dinding kamar di depannya. Kalimat Daiki teriang di benaknya.
"Mengapa kalian tidak menikah saja? Kalian sudah begitu sering melakukan 'itu.' Apa menunggu Naoko hamil baru kau menikahinya?"
Hideo tersenyum sendiri mengingat Daiki melontarkan kalimat kurang ajar itu. Terpikir oleh Hideo ingin menikahi Naoko apalagi mereka sudah bertunangan selama 3 tahun, hidup mereka juga sudah seperti suami isteri. Mengapa dia tidak menikahi wanita hebat ini? pikir Hideo, menunduk menatap puncak kepala Naoko.
Naoko selalu siap menjadi isterinya, siap menjadi isteri seorang detektif polisi. Mungkin ketidaksiapan itu ada di dalam dirinya. Hideo merasa tidak tenang jika dia tidak memenuhi permintaan terakhir ayahnya. Hideo masih mengingat sangat jelas ketika Yoshio mendekati detik-detik terakhirnya akibat serangan gulanya meningkat drastis.
"Hideo-kun...teruskan usaha kami menemukan pembunuh ibu Ruri. Kasus itu terbengkalai tanpa pernah diketahui pembunuhnya. Kenji...Kenji..Fujita adalah saksi utamanya...bukan Ruri...anak..anak itu harus dilindungi...Odaiba...kejadian...di Odaiba...arrgh...aku sudah tak sanggup lagi Hideo-kun..Odaiba...Ruri mau dibunuh..di Odaiba..."
Hideo memejamkan matanya. Dia seolah merasakan kehadiran ayahnya. Suara lemah itu kembali terdengar. "Hideo-kun...kau anak lelaki kebanggaanku..maafkan aku tidak bisa bersamamu lebih lama lagi."
Hideo sudah tidak bisa menangis lagi. Dia hanya bisa memendam dukanya di dalam hatinya ketika mengantar ayahnya untuk terakhir kalinya. Dia berjanji akan memenuhi permintaan ayahnya. Dia dan Daiki akan mencari pembunuh Akemi Kondoo dan menemukan Kenji Fujita.
Hal itu menyita semua perhatian Hideo. Tapi suatu hari Ruri memperkenalkannya pada Naoko. Wanita pertama yang membuat hatinya tergerak. Naoko sudah mengetahui tekad hatinya dan tidak pernah memaksa Hideo untuk segera menikahinya.
Tapi perkataan Daiki malam ini membuat Hideo memikirkannya. Ruri dan Daiki berusaha keras untuk membuat dia bertahan dengan satu wanita. Naoko membuat dia jatuh cinta dan wanita itu sudah begitu sabar.
Kembali Hideo mengecup bahu Naoko. "Aku pasti menikahimu." Hideo memejamkan matanya dan mulai bersiap untuk besok pagi menjalankan rencananya bersama Daiki.
****
Di sebuah apartemen mewah di area Hiboo, sebuah kawasan perumahan dan apartemen tenang yang bersebelahan dengan area Shibuya dan Azabu, di lantai paling atas tampak seorang pria sedang berada di depan komputer. Sebuah jendela seluas dinding terbentang di depannya sehingga pemandangan Tokyo begitu jelas.
Pria itu terlihat sedang mengetik sesuatu pada kotak emailnya.
Semua sudah saya siapkan. Penthouse yang anda inginkan sudah saya urus kepemilikannya begitu juga dengan data-data Bank Asing Saitama. Saya akan menjemput anda di Narita.
Dia menekan enter pada kotak send email. Dia menyatukan semua jemarinya sambil menatap layar komputernya. Sebuah gelang berbahan emas putih melingkari pergelangan tangannya yang putih. Di atas mejanya berserakan berbagai data pribadi dari beberapa orang yang berhasil didapatnya dari arsip komputer gedung kependudukan Tokyo yang diretasnya beberapa saat lalu.
Pria itu meraih dua lembar data itu dan menatap salah satunya. Selembar data lengkap tentang seorang wanita cantik berambut panjang dengan senyum menawan. Lembar satunya lagi, dia menatap wajah seorang pria tampan lengkap dengan kemeja putih dan dasi hitam. Di tangannya memeluk sebuah topi polisi dan tampak gagah. Ada senyum tipis di wajah tampan itu bersama sorot mata pekat yang tajam.
"Ruri...Fujita..." pria itu mengeja nama itu dengan pelan.
Setelah itu matanya terpaku pada selembar data diri seorang pria tua berpenampilan necis dan masih ada ketampanan masa lalu yang tersisa pada diri pria tua itu. Lembar data diri itu juga didapatnya dengan meretas dari jaringan komputer kantor kependudukan di London. Seorang pria tua kaya raya yang sama sekali tidak ada hubungan dengannya tapi merupakan seseorang dari masa lalu yang menjadi sebuah obsesi terbesar bagi orang yang telah menyelamatkan hidupnya.
****
Ruri mendorong pintu kaca tokonya dan terkejut melihat karyawan barunya, Mamoru, sudah berada di sana sambil membukai satu persatu kain satin yang menutupi lampu-lampu. Pria itu melakukannya bersama Rui dan Ueda yang hari itu adalah gilirannya menjaga toko.
Rui yang mendengar suara lonceng pintu berdentang segera mengangkat mukanya dan tersenyum menyambut Ruri. Dia berlari mengambil tas Ruri -kebiasaannya setiap kali menyambut Ruri adalah membawakan tas wanita itu dan menaruhnya di ruangan kerja- "Anda sudah datang, Nona."
Ruri memberikan tasnya bersama sebuah kantong plastik besar lainnya yang berisi sarapan pagi untuk mereka. "Aku membawa sarapan menu lengkap omelet dan lainnya untuk kalian. Kau bisa menyalinnya di dapur kita," Ruri meletakkan kantong besar itu di tangan Rui.
Persis seperti menjangan, Rui setengah berlari membawa sarapan itu ke dapur setelah dia meletakkan tas Ruri di ruangannya. Dia memang sama sekali belum sarapan dan sangat bersyukur nonanya itu tidak pernah lupa membawa makanan ke toko, entah itu untuk sarapan, makan siang atau makan malam. Ruri selalu membawakan makanan satu kali dalam sehari.
Ruri memperhatikan Mamoru yang tampak asyik membersihkan debu pada lampu-lampu itu. Dia berjalan mendekat dan berdiri disamping pria itu.
"Kau datang cukup pagi?" tanya Ruri. Tangannya bergerak memindahkan sebuah lampu duduk berbentuk bola disko dengan kristal warna warni ke etalase di bagian depan.
"Aku tidak ingin terlambat di hari pertama aku bekerja." Mamoru tersenyum sambil terus membersihkan kap lampu berwarna krem yang lucu dari bahan kain.
Ruri menoleh sekilas sambil meletakkan lampu di etalase. "Tapi kau bukan kuterima untuk membersihkan lampu. Bisa dikatakan kau adalah asisten keuanganku..meskipun toko ini adalah usaha kecil-kecilan." Ruri tertawa.
Mamoru menyentuh kap lampu mungil itu. Dia bisa membayangkan bahwa lampu duduk dengan kap berwarna krem itu sangat cocok berada di kamar seorang gadis.
"Aku sedang memikirkan bagaimana kau mendesain semua lampu ini dengan model dan bentuk yang artistik?" Mamoru menatap Ruri dan menyampirkan kemocengnya di bahu. "Lagipula toko ini bukan sebuah usaha kecil-kecilan. Aku sudah membuka websitemu dan semua produkmu kau kirim ke luar negeri. Bisa dikatakan kau adalah salah satu produsen lampu di Jepang. Dan itu semua kau lakukan sendiri bersama 4 orang karyawanmu. Webmu juga aktif dan banyak sekali pesanan yang masuk."
Ruri melipat tangannya di dada dan membesarkan bola matanya. "Kau sudah mengunjugi web toko?"
Mamoru tertawa. "Aku mempelajarinya dan sangat ingin membantumu mengembangkan bisnis ini selebar-lebarnya." Lalu dia menunjuk pelipisnya. "Aku cukup ahli di bidang bisnis dan menarik pelanggan."
Ruri tersenyum. Dia melihat Rui datang bersama wajahnya yang merona. "Sarapan sudah kuletakkan di meja sarapan. Kita bisa memakannya sebelum membuka toko," kerling matanya tertuju pada Mamoru.
"Tentu saja kau ahli menarik pelanggan dengan wajah seperti itu," ucap Ruri enteng sambil melangkah menuju dapur. "Mari kita sarapan. Ueda, berhenti dulu bersih-bersihnya, kita sarapan bersama."
Mamoru melangkah mengikuti Ruri. Sambil duduk di kursi, dia menatap Ruri. "Aku cukup penasaran, di mana kau mengerjakan lampu-lampu itu dan siapa yang membuat webmu?" Mamoru bertanya sambil lalu seraya menyumpit tahu berbumbu kecap.
Ruri menyantap salad sambil menjawab dengan ringan. "Oh...aku mempunyai bengkel sendiri di Koto. Di rumah...ayahku. Dan soal web itu, orang terdekatku yang membuatnya. Dia sangat ahli di bidang itu." Ruri tersenyum. Dia masih selalu ingat pesan Takao untuk tidak memberi tahu marganya pada siapa saja.
Mamoru mengangguk-angguk sambil menggigit sumpitnya. "Aku harus mulai dari mana dengan tugas pertamaku ini? Aku sempat melihat di kotak pemberitahuan bahwa ada sebuah perusahaan interior di Inggris menawarkan kerja sama."
Ruri meneguk air jeruknya dan menatap heran pada Mamoru. "Bagaimana kau bisa membuka kotak pemberitahuan? Kurasa aku belum memberi tahumu tentang passwordnya?"
Mamoru terdiam. Masih dengan senyum tampannya, dia menjawab santai. "Pemberitahuan itu langsung masuk di home webmu secara umum."
Ruri berdiri dari duduknya. Dia mengusap rambut panjangnya dan berkata tenang. "Oh begitu. Baiklah nanti aku akan membuka kotak pemberitahuannya untuk mempelajarinya sebentar. Nanti akan kuteruskan ke komputermu."
Ruri siap melangkah keluar dapur saat didengarnya suara Mamoru. "Mungkin hari ini aku pulang lebih awal, Nona."
Ruri menoleh dan tertawa. "Kau sudah mau meminta pulang awal di hari pertama kau bekerja?"
Mamoru menggaruk belakang kepalanya. "Maksudku..sebenarnya aku juga tidak nyaman memintanya. Tapi aku harus segera ke bandara, seorang yang sangat penting bagiku kembali ke Tokyo."
"Pacarmu?" Ruri merasa tertarik. Dari awal dia merasa bahwa Mamoru adalah tipe yang cukup misterius. Ada beberapa kalimat yang dilontarkan pria itu membuatnya sedikit bingung.
Mamoru bangkit berdiri. Senyum tak pernah lenyap dari wajahnya. "Lebih tepatnya, saudara."
****
Daiki dan Hideo memutus tali kuning yang melintang di depan pintu apartement Jiro Miura. Mereka memasuki apartemen mewah yang berada di lantai 20 itu.
Ternyata Jiro memiliki selera yang tinggi. Apartemennya bernuansa hitam putih yang elegant. Terdapat sebuah bar yang dipenuhi oleh puluhan botol minuman keras dan sloki-sloki yang bergelantungan. Televisinya berupa home theater dan hampir seluruh lantai apartemen itu dilapisi permadani bulu.
Hideo mendetingkan kukunya pada deretan botol-botol miras itu. "Sepertinya dia hidup dengan mewah." Hideo mengelilingi ruang demi ruang. Dia berhenti pada area yang dipenuhi oleh potret dan lukisan mahal di sepanjang dinding pembatas. "Tidak ada foto isteri maupun anak."
Daiki hampir tidak merespon semua ocehan Hideo. Dia terus saja memasuki semua ruangan dan berujung pada sebuah ruang kerja yang amat luas.
Daiki tertarik pada seperangkat komputer yang ada di atas meja. Tidak hanya satu tapi terdapat juga seperangkat komputer lainnya di meja yang berdampingan dengan meja kerja.
Dia mendekati meja itu dan mencari sambungan kabel yang menghubungkan ke listrik. Rupanya malam terakhir pria itu di apartmennya sebelum ditangkap, dia tidak sempat melepaskan kabel komputer.
Daiki duduk di depan komputer dan menekan tombol on. Sambil menunggu komputer loading, Daiki menggeratak tiap laci di meja itu.
Perhatiannya tertuju pada sebuah map merah bertuliskan Bank Asing Saitama. Daiki membuka map itu sambil matanya menatap layar komputer yang menyala.
Daiki mendengus ketika mendapati komputer itu memasang kode pengaman. Dia meletakkan map itu di atas meja dan dia menarik maju kursi untuk mendekati keyboard. Jari-jarinya bergerak di atas keyboard untuk memecahkan kode pengaman yang dipasang oleh Jiro.
Sementara Daiki berkutat dengan kode pengaman itu, Hideo justru sedang berada di kamar tidur Jiro. Dia membuka semua tempat yang bisa dibuka. Saat dia menarik sebuah laci yang berada di dalam lemari pakaian, Hideo banyak menemui beberapa buah parpor dan tiket pesawat.
Diambilnya semua benda itu dan meneliti dengan seksama. Ternyata Jiro memiliki banyak nama dan wajah untuk setiap paspor. Hideo membuka salah satu paspor yang paling sering digunakan. Tujuan Jiro adalah London, Inggris. Begitu juga dengan tiket pesawat. Hampir semua tujuan ke London atas nama Tamayuki Shiro.
Hideo membalikkan semua paspor dan sebuah buku rekening terjatuh. Hideo terkejut ketika melihat saldo terakhir yang masuk. Jiro menerima uang yang sangat besar di hari pembunuhan pemilik Bank Asing Saitama. Hideo beranjak dari kamar itu mencari Daiki.
Sementara itu Daiki akhirnya berhasil memecahkan kode pengaman komputer Jiro dan langsung masuk pada alamat yang paling sering dibuka oleh Jiro.
Daiki menemukan sebuah folder tersembunyi dan mengklik folder itu. Jantungnya berdebar ketika dia melihat sebuah kode Bank Asing Saitama.
Daiki cepat masuk ke dalam kode itu dengan meretas jaringan Bank Asing Saitama. Pergerakan informasi itu begitu cepat dan Daiki harus menahan nafasnya ketika membaca bahwa Bank Asing Saitama telah berganti kepemilikan dalam kurun waktu 48 jam setelah pembunuhan itu. Segala aset dan saham bank itu jatuh pada seseorang yang tidak dijelaskan identitasnya.
Daiki terus masuk ke dalam jaringan Bank itu dan menemukan bahwa Bank Asing Saitama adalah anak cabang dari Bank Asing di London. Sebuah foto pemilik Bank Asing London nyaris ditampilkan ketika jaringan yang diretas Daiki diputus oleh hacker lainnya.
Seluruh informasi itu bergerak cepat tersedot oleh hacker baru yang muncul. Daiki cepat menekan tombol-tombol keyboard untuk mendapatkan kembali jaringan yang diretasnya.
Daiki dan hacker itu saling mengadu kecepatan meretas. Foto itu akhirnya tidak berhasil muncul tapi sepotong nama sempat dibaca Daiki. Kenji Fujita!
Daiki begitu terkejut sehingga akhirnya jaringan yang diretasnya berhasil direbut oleh hacker gelap itu. Layar komputer menjadi gelap dan Daiki tersandar di kursinya ketika Hideo masuk.
"Daiki?"
Daiki menoleh. Dia merasa seluruh sendi tubuhnya melemas. "Bank Asing Saitama adalah anak cabang dari Bank Asing London. Aku menemukan nama Kenji Fujita sebagai pemilik utamanya!"
Jauh dari tempat Daiki dan Hideo berada, seorang pria mengepalkan tinjunya. Dia cepat mengganti sandi untuk folder Bank Asing Saitama dengan sandi baru. Dia menggigit kepalan tinjunya. Seseorang yang sangat ahli meretas telah menggunakan komputer milik Jiro Miura. Jika saja dia tidak mendapatkan kesempatan ketika hacker itu lengah, mungkin dia tidak berhasil merebut jaringan itu. Pria itu menutup laptopnya dan melirik jam tangannya. Sebentar lagi, pikirnya.
****
Ruri begitu asyik menggambar lampu rancangan terbarunya. Dia mencoret-coret kasar di buku sketsanya di atas meja kerjanya.
Dia sudah membaca permintaan kerja sama perusahaan interior di London itu namun dia belum menjawabnya. Justru ide untuk membuat lampu muncul di benaknya.
Kini secara kasar dia menggambar lampu duduk berbentuk kubah setengah melengkung yang direncanakannya nanti menjadi kap lampu. Di bawah kubah itu dia menggambar bangunan gereja mini dengan sepasang pengantin di depannya. Ada aplikasi rumput di sekitar pasangan pengantin itu. Lampu besar akan berada di bawah kubah setengah melengkung itu.
Ruri bersenandung ketika menggambar sepasang pengantin itu. Dia membayangkan wajah pengantin prianya adalah Daiki. Daiki selalu tampak sempurna bersama jas berwarna abu-abu, pikirnya dalam hati.
Saat dia ingin menggambar sketsa pengantin wanita, gerakan pensilnya berhenti. Ruri termenung. Jika dia menggambar wajahnya sebagai pengantin wanitanya? Apakah yang terjadi?
Ruri meletakkan pensilnya dan menatap foto dirinya bersama Daiki ketika dia wisuda. Dia menyentuh wajah pria itu dengan penuh perasaan. Dia tidak pernah bisa jauh dari Daiki. Dia tidak sanggup melepas genggaman pria itu. Perasaan itulah yang tiap kali menyergapnya setiap dia hendak menjadi pengantin.
Enam kali dia berdiri di altar dan setiap kali dia hampir mengucapkan "saya bersedia", rasa ketakutan kehilangan Daiki lebih besar daripada ketakutannya menjalani rumah tangga. Hal itulah yang membuatnya melarikan diri dari calon pengantinnya.
Dulu Ruri belum mengerti maksud hatinya. Di bawah sadarnya dia ketakutan menjadi seperti ibunya, mendapatkan suami seperti ayahnya. Di bawah sadarnya pula dia cuma merasa aman di dekat Daiki, merasa terlindungi bersama pria itu. Jika dia menjadi isteri orang lain, bagaimana dengan perasaannya? Bagaimana dengan perasaan Daiki? Bisakah mereka bersama setelah dia menikah? Dan Ruri lebih takut jika Daiki menjauh darinya. Dia takut kehilangan pria itu.
Awalnya Ruri menganggap itu hanyalah perasaan seorang adik yang akan menikah. Tapi ketika dia berdiri di altar yang ke enam kalinya, dia memandang wajah Daiki yang duduk di samping Takao. Dia bisa melihat sorot mata pedih di sana. Sebenarnya dia sudah melihat sorot itu lima kali sebelumnya. Namun ketika itu jantung Ruri berdesir cepat. Dia sadar bahwa dia mencintai Daiki sudah sejak lama. Sejak mereka kanak-kanak. Dia tidak lagi menganggap rasa ketergantungannya sebagai ego tapi dia tidak ingin Daiki terluka.
Namun Ruri mengerti bagi Daiki dia adalah adik perempuan yang tak pernah dimiliki pria itu. Daiki menjaganya sebagai seorang saudara laki-laki yang bertanggung jawab. Sejak kanak-kanak Daiki sudah seperti itu. Menjaga dan melindunginya tanpa pernah mempedulikan dirinya sendiri.
Tapi Ruri selalu tidak pernah menunjukkan perasaannya pada Daiki. Selama ini mereka adalah saudara, sahabat dalam setiap tumbuh kembang mereka. Ruri tidak ingin hubungan mereka menjadi canggung jika dia berterus terang.
Ruri menatap sketsanya ketika suara ketukan terdengar halus. Pintu terbuka sedikit dan menampakkan wajah cantik seorang wanita dengan rambut panjangnya yang pirang kecokelatan.
"Apa aku mengganggumu, Nona?" Naoko memunculkan seluruh tubuhnya dan tertawa lebar.
Ruri mendorong kursinya ke belakang untuk berdiri dan berjalan cepat menyambut Naoko. Kedua tangannya terkembang menyambut sahabatnya itu kepelukannya.
"Naoko! Bukankah seharusnya aku yang datang ke tokomu sesuai perjanjian kita?" Ruri memeluk tubuh mungil itu dan menatap Naoko dalam jarak selengan.
Naoko mencucutkan bibirnya dan memiringkan kepalanya. "Benarkah? Kurasa sesuai janji kau sudah begitu terlambat," Naoko pura-pura merajuk.
Ruri menatap arlojinya dan menepuk dahinya. Dia nyengir ketika melihat jarum jam menunjukkan pukul 6.30 malam. Dia berjanji akan mengunjungi Naoko di toko pukul 5.30 sore.
"Maaf..aku keasyikan membuat sketsa baru..." senyum Ruri membujuk Naoko yang menjatuhkan tubuhnya di sofa.
Naoko mengibaskan tangannya. "Aish...aku hanya bercanda. Sebenarnya aku juga sedang bertemu klien di luar..di dekat tokomu ini. Seharusnya aku mengirimimu pesan tapi aku ingin kau merasa bersalah, " Naoko terkekeh.
Ruri duduk di samping Naoko dan membuka kantong plastik kue yang diletakkan Naoko di atas meja. Ruri mengambil sebuah cup cake rasa stroberry.
"Tapi acara kita pergi ke karaoke bersama yang lainnya jadi kan?"tanya Ruri.
"Tentu saja. Mereka sudah menunggu kita. Kau tahu, semua biaya kita nanti aku bayar," ucap Naoko cepat.
"Kenapa?" alis Ruri terangkat.
Naoko menunjuk batang hidung Ruri dengan kukunya yang runcing. "Kenapa? Karena aku kalah taruhan! Mereka semua bertaruh kau akan kabur dari altar dan aku berkata kau takkan melakukannya lagi! Karena kupikir gaun kali ini akan berbeda. Tapii....Ya Tuhan kau kabur lagi! Bersama kuda tengil itu!" Naoko menggeram dengan mata melotot.
Ruri tertawa. "Prince bukan kuda tengil. Dia kuda pilihan dari peternakan Paman Yoshio. Jika Kak Hideo mendengar kau berkata seperti itu dia akan marah."
Naoko menutup mulutnya. "Ya aku tahu. Polisi satu itu sangat mencintai Prince." Naoko menatap Ruri dengan tersenyum. "Tahukah kau bahwa Hideo tadi pagi mengatakan akan menikahiku nanti?"
Ruri membesarkan bola matanya. "Benarkah? Tapi memang sudah sewajarnya Kak Hideo mengajakmu menikah. Kalian sudah 3 tahun bertunangan."
Naoko melipat kertas cupcake. Ada rona merah mewarnai pipinya. "Ini pertama kalinya dia mengutarakannya langsung padaku. Aku tahu dia begitu ingin menjalankan amanah ayahnya. Mencari pembunuh ibumu."
Ruri memegang tangan Naoko. "Maaf...aku tidak bermaksud membuat Kak Hideo terikat dengan kasus itu..."
Naoko menepuk pipi Ruri. "Ruri-chan..aku bisa menunggu..Hideo mengatakan kasus ibumu kembali dibuka...dia sangat menyayangimu..aku bisa menunggu sebentar lagi," senyum Naoko.
Lalu cepat disambungnya. "Ayo kita pergi."
****
"Sebentar lagi anda akan segera mendarat di Bandara Internasional Narita. Ada perbedaan waktu antara New York dan Tokyo dan diharapkan anda mengubah jam anda dalam waktu Jepang yaitu..."
Suara pramugari menggema di seluruh kabin pesawat yang sebentar lagi mendarat di bandara Narita, Tokyo, Jepang.
Di kabin VIP tampak sepasang pria dan wanita duduk dengan tenang. Sayuri yang anggun tampak cantik dengan gaun musim seminya yang berwarna pastel dan menatap langit Tokyo menjelang malam. Dia menatap langit itu tanpa berkedip.
Di sebelahnya duduk Junichi sambil melepas kacamata hitamnya. Dia tampak sangat tampan dengan setelan kasualnya yang bernuansa biru tua. Dia menyandarkan punggungnya di sandaran kursi pesawat seraya melayangkan pandangannya keluar jendela pesawat melalui atas kepala Sayuri.
Awan biru gelap tampak mengambang dan perlahan dirasakannya pesawat mulai menukik turun. Junichi mencengkram lengan kursi dan memejamkan matanya sejenak.
19 tahun! Sudah 19 tahun dia tidak menginjakkan kakinya di Negeri Sakura itu. Sudah 19 tahun dia tidak menghirup udara Tokyo. Sudah 19 tahun hidupnya diisi dengan berbagai rencana. Dan hari ini adalah permulaannya. Waktu penantian selama 19 tahun sudah cukup dan inilah waktu yang tepat.
Junichi meraih jemari Sayuri dan meremasnya lembut. Sayuri menoleh dan tersenyum tipis ketika dengan lembut Junichi mengecup punggung tangannya.
"Kau senang?" Junichi menatap Sayuri. Dirasakannya pesawat telah mendarat dengan sukses.
Sayuri menarik tangannya tanpa kentara. "Tentu saja." Jawaban Sayuri yang datar tidak membuat Junichi kecil hati. Dia sudah sangat gembira mendapati Sayuri bersedia ikut dia kembali ke Jepang.
Junichi sudah berencana akan menghidupkan kembali rumah megah milik ayahnya yang berada di real estate elit di Tokyo. Dia akan membuang semua kenangan ibunya. Dia akan membuat istana baru bagi Sayuri di samping rencana besarnya.
Junichi dan Sayuri menuruni tangga pesawat. Dengan penuh percaya diri dia melingkari pinggang ramping Sayuri dan berjalan menyamai langkah wanita itu.
Semilir angin yang diakibatkan baling-baling pesawat membuat rambut Sayuri berkibar. Dia melihat dari kejauhan tiga orang pria berdiri tegak di tengah lapangan udara itu. Sebuah mobil terparkir di belakang ketiga pria itu.
Junichi memberi tanda agar langkah mereka berhenti dan menanti kedatangan seorang pria bertubuh sedang mendekati mereka.
Sayuri berusaha mengenali wajah pria itu di antara remangnya malam dan semakin lama semakin jelas menampakkan ketampanannya yang muda.
Junichi tersenyum ketika pria itu sudah berdiri tepat di depannya. Pria itu membalas senyuman Junichi seraya membungkuk hormat.
"Junichi-sama...selamat datang di Jepang." Sepasang mata pria itu tampak berbinar penuh kebanggaan terhadap pria tegap di depannya itu.
Junichi tersenyum semakin lebar. Dia menepuk bahu pria itu dengan girang. "Ah...Sudah lama aku tidak berjumpa denganmu. Aku girang sekali kau dapat bersamaku lagi, Mamoru."