"Onee-san! Apa yang kau lakukan di sini?" Mamoru bertanya kaget melihat kemunculan Sayuri di ambang toko.
Sayuri memandang Mamoru dengan kaget ketika membuka kacamata hitamnya. Dia tidak menyangka akan menemukan pria itu di toko lampu tersebut. Diam-diam dia meremas kertas yang bertuliskan nama toko tersebut di dalam tas gantungnya.
Mamoru bergegas mendekati Sayuri yang terlihat canggung saat bertemu dirinya. Tapi wanita itu tetap bersuara ketus ketika menjawabnya.
"Seharusnya aku yang bertanya apa yang kau lakukan di sini?" Pandang mata Sayuri menelusuri penampilan Mamoru saat itu. Pria muda itu tampak sangat tampan dan wajar dengan kemeja lengan pendek berwarna cerah dipadu dengan jeans gelapnya. Ujung kemeja itu tidak dimasukkan dan Mamoru sengaja memakai kacamata tipis di atas batang hidungnya yang bagus. Mata Sayuri menyipit.
"Sejak kapan kau memakai kacamata seperti itu? Apa penglihatanmu kabur?" cetus Sayuri.
Mamoru memegang ujung gagang kacamatanya dan menjawab singkat. "Aku bekerja di sini."
Sayuri menatapnya tajam dan Mamoru merasa lega ketika dengan ramahnya Rui mendekati mereka dan menyapa Sayuri. "Selamat siang. Ada yang bisa saya bantu, Nona?"
Perhatian Sayuri teralihkan. Dia tersenyum tipis pada Rui dan menjawab ringan. "Sebenarnya aku ingin bertemu dengan designer lampunya karena seorang temanku di Amerika merekomendasikan bahwa di sini bisa juga membuatkan lampu berdasarkan permintaan konsumen. Apa aku bisa bertemu dengannya?"
Rui melirik Mamoru yang terlihat tegang. Dengan masa bodoh akan sikap Mamoru, Rui menjawab Sayuri dengan sopan. "Maafkan Nona. Nona kami tidak ada di tempat untuk beberapa hari."
Sayuri terlihat kecewa. Dia mengerling Mamoru melalui ekor matanya. Pria itu tampak bergerak tidak nyaman di tempatnya. Kembali perhatian Sayuri tertuju pada Rui. "Apakah masih lama hingga dia berada di sini?"
"Ruri-sama berkata dia tidak akan ada di Tokyo dalam dua hari ini. Dia..." Rui teringat bahwa Ruri pernah berpesan agar tidak boleh sembarangan menyebutkan alamat rumah ayah angkatnya di Koto. "Dia bepergian." lanjut Rui cepat.
Sayuri memegang bibirnya sambil melayangkan matanya di seputar toko yang terlihat ceria tapi elegan itu. Banyak lampu yang dipajang serta digantung. Semuanya terlihat berkilauan dan cantik. Dalam sekejab dia merasa suka berada di antara lampu-lampu tersebut. Sayuri menatap Rui dan tersenyum tipis. "Apa ada sesuatu yang bisa membuatku menghubunginya?"
"Kurasa kau tak bisa menghubunginya." Mamoru memotong percakapan Sayuri dan Rui, membuat Rui mendelik padanya.
"Mengapa aku tidak bisa menghubunginya?" tanya Sayuri heran.
"Itu..."
"Anda bisa menghubungi Nona di nomor ini," dengan cepat Rui menyodorkan kartu nama Ruri yang terletak di dalam sekotak penuh di atas meja kasir. Rui tidak ingin calon pelanggan yang terlihat kaya ini lepas begitu saja. Dia tidak ingin membuat nonanya kehilangan pembeli
Dengan senyum manis seraya melirik Mamoru, Sayuri meraih kartu nama itu dan menyimpannya dengan hati-hati di dalam dompetnya.
"Terima kasih. Nanti saya akan menelponnya," Sayuri membungkuk dan memutar badannya hendak keluar dari toko.
"Onee-san!" Suara Mamoru menghentikan langkah Sayuri.
Sayuri menatap Mamoru. Dia tidak berkata apa-apa ketika melihat Mamoru meraih ponselnya dan mengiringinya ke luar dari toko.
"Aku akan mengantarmu pulang."
"Aku belum mau pulang. Aku berencana mengunjungi beberapa tempat hari ini." sahut Sayuri sambil mengeluarkan kacamata hitamnya.
"Aku akan menemanimu," tukas Mamoru tenang.
"Tidak usah! Kau tidak perlu menemaniku, Mamoru!" Sayuri menolak dengan penekanan keras pada nama Mamoru.
Sayuri siap mengenakan kacamatanya saat dia mendengar balasan kalimat Mamoru. "Kalau aku menemanimu sebagai Hozy Mori? Kau tak akan menolakku kan?"
Mamoru menatap wajah Sayuri dengan tatapannya yang melembut membuat Sayuri terpaku sejenak. Ada suara degup keras menghantam sudut hati terdalam wanita itu ketika Mamoru berkata demikian. Dia mencengkram kencang tali tas gantungnya.
"Aku tidak tahu." Jawaban Sayuri terdengar lemah. Kemudian dia tersentak ketika merasakan betapa jemarinya digenggam Mamoru. "Jangan!" Sayuri hendak menepis tangan Mamoru namun pria itu menggenggam jemarinya dengan erat.
"Aku akan menjadi Hozy Mori kapan pun saat kau menginginkannya," bisik Mamoru.
Tubuh Sayuri terasa menggelenyar ketika mendengar suara lembut Mamoru. Dia membiarkan dirinya dituntun Mamoru memasuki mobil pria itu.
Baik Mamoru terutama Sayuri sama sekali tidak tahu bahwa seorang pria berpakaian serba hitam berdiri sembarangan di seberang toko Ruri.
Dari awal keberangkatan Sayuri dari penthouse hingga memasuki toko Ruri, pria berpakaian hitam itu selalu berada di belakang Sayuri tanpa wanita itu menyadarinya. Ketika dia melihat Sayuri memasuki mobil dan pergi bersama Mamoru, pria itu juga masuk ke mobil sambil berbicara di telepon.
"Sayuri-sama mendatangi toko lampu R.U.R.I Lamp Shop yang ada di Shibuya dan sekarang bersama Mamoru-san. Tanyakan pada beliau apakah aku masih harus mengikutinya?"
Suara pria itu tersambung pada seorang pria jangkung berwajah datar yang berada di sebuah gedung pencakar langit di pusat kota Tokyo. Asisten Hayashi mendorong pintu ganda ruang pertemuan itu dan mendekati Junichi yang duduk di kepala kursi di depan sebuah meja panjang dengan belasan kepala yang menatapnya dengan gugup.
Asisten Hayashi berbisik di telinga Junichi yang sama sekali tidak mengalihkan matanya dari para anggota pertemuannya. Alisnya berkerut ketika mendengar laporan bahwa Sayuri mendatangi Toko Lampu milik putri kandung Kenji Fujita. Dia mengetuk jarinya di lengan kursi dan berkata pendek. "Suruh dia kembali. Mamoru bersama Nona jadi tidak perlu lagi diikuti."
Asisten Hayashi mundur sambil kembali berbicara di telepon. Meski pun dia berkata demikian, Junichi mulai merasa janggal di dalam hatinya. Dia tidak mengerti mengapa Sayuri mendatangi toko lampu itu. Rasa janggalnya semakin besar ketika sekian jam kemudian dia menghubungi asisten rumah tangganya, Sayuri-sama belum kembali. Dia juga melacak keberadaan Mamoru tapi GPS pria itu tidak aktif.
Junichi mematikan ponselnya dengan perasaan tidak enak. Sinar matanya tampak mencorong tajam. Dia kembali menekan sebuah nomor di ponselnya. Ketika terdengar suara di seberang, Junichi berkata kasar. "Rampas semua saham yang dimiliki oleh Bank Asing London melalui bursa efek beserta semua anak cabangnya! Jatuhkan semua saham milik pria tua itu!"
Junichi membanting ponselnya ke sofa ruang kerjanya. Dia melonggarkan dasinya. Rasa marah memenuhi rongga dadanya. Dia gelisah ketika untuk sekian kalinya menghubungi ponsel Sayuri, benda itu dalam keadaan non aktif.
****
Ruri terbangun dan melihat langit remang Tokyo di luar jendela apartemen Daiki. Dia membuka matanya lebar-lebar dan bangkit duduk. Ruri menemukan tubuhnya kini telah diselimuti selimut hangat dengan rapi. Dia mengusap rambut kusutnya dan matanya mencari-cari Daiki yang ternyata sedang duduk di sofa single di depan televisi dengan sebuah laptop di atas pangkuannya.
Ruri menatap pria itu yang kini sudah memakai kaos putih lengan pendek pas badan dan celana jeans gelapnya. Rambut kecokelatan itu tampak basah sehabis mandi. Aroma maskulin tubuh Daiki tercium di hidung Ruri.
Ruri turun dari sofa dan berjalan pelan mendekati Daiki. Rasa nyeri sedikit menyerang tubuhnya membuat dia tidak berani melangkah lebar.
Daiki begitu serius menghadap laptopnya mencari keterangan jenis gelang yang dikenakan oleh pengantar pizza misterius itu ketika sepasang lengan memeluk dadanya dari belakang.
Ruri memeluk dada bidang itu dari belakang dan meletakkan dagunya di bahu Daiki dan melongok ke dalam laptop pria itu.
"Sedang mencari data?" tanya Ruri pelan.
Daiki mendongak dan menemukan Ruri yang memeluknya dari belakang. Harum tubuh wanita itu menguar di wajahnya. Dielusnya lengan yang tergantung lemas yang berada di dadanya itu.
"Aku sedang mencari produksi asli gelang ini." Daiki menunjuk gambar gelang di dalam laptopnya.
Ruri memajukan kepalanya hingga helaian rambut panjangnya menggelitik leher Daiki. Dia melihat sebuah bentuk gelang tipis berukir berlapis emas putih.
"Gelang semacam ini tidak dibuat tiruannya. Yang dijual di pasaran adalah asli karena harganya selangit dan memiliki sertifikat yang melarang pembuatan imitasinya." Ruri menunjuk dengan kukunya. "Gelang itu dibuat oleh Versace. Kira-kira 5 tahun lalu."
Daiki kembali menatap layar laptopnya. Jari-jarinya menari di atas keyboard mencari informasi pembuatan gelang tersebut. Ruri ternyata benar. Gelang itu dibuat dan diproduksi oleh rumah mode Versace. Daiki bersiul ketika melihat angka yang tertera untuk benda itu.
"Gaji polisiku selama 10 tahun baru bisa membeli gelang ini. Pembunuh macam apakah yang mampu mengenakan benda semahal ini?"
Selama Daiki berkutat dengan informasi itu, Ruri memiringkan kepalanya untuk menatap gelang itu lebih dekat. Dia merasa pernah melihat gelang serupa di suatu tempat. Tapi di mana?
Daiki menoleh Ruri yang hanya diam saja tetap memeluknya dari belakang. Mata wanita itu nyalang ke arah layar laptopnya.
"Ada apa?" tanya Daiki heran.
Ruri menegakkan tubuhnya. Dia mengusap rambutnya dan berkata ragu. "Sepertinya aku pernah melihat gelang itu..."
Daiki cepat membalikkan tubuhnya dan berdiri memegang bahu Ruri. "Di mana kau melihatnya?" Jantung Daiki berdebar tegang.
Melihat wajah tegang Daiki, Ruri cepat tertawa. "Mungkin aku pernah melihatnya di toko perhiasan tanpa kusadari. Tidak mungkin pembunuh itu pernah kulihat apalagi berada di sekitarku," Ruri menertawai pemikirannya sendiri.
Daiki melepas napas leganya dan menatap Ruri yang dililit selimutnya. Senyum khasnya muncul ke permukaan.
"Mau menginap atau pulang?" Nada suara Daiki terdengar menggoda Ruri.
Wajah Ruri merona. Dia menjawab dengan bergetar. "Pulang. Aku harus menyiapkan pakaian untuk ke Koto besok." Tiba-tiba wajah Ruri merona hangat ketika teringat apa yang terjadi dalam beberapa jam yang lalu bersama Daiki.
Senyum Daiki semakin lebar. Dia menunduk dan mendaratkan kecupan mesra di bahu Ruri dan melanjutkannya dengan ciuman mesra yang lembut. Daiki mengangkat wajahnya dan mendorong halus agar Ruri menjauh.
"Mandilah. Setelah itu kita mencari makan dulu. Baru kau boleh pulang."
Ruri bergegas memutar badannya untuk segera ke kamar mandi. Namun langkahnya terhenti dan dia meringis saat merasakan denyutan nyeri pada tubuh sensitifnya.
Daiki segera mendekat dan memegang bahu Ruri dari belakang. "Kau baik-baik saja?" tanyanya cemas.
Ruri menjawab jengah. "Aku baik. Hanya sedikit nyeri." Kedua pipi Ruri terasa panas seperti tungku ketika mengatakan hal itu.
Daiki memeluk tubuh Ruri dari belakang. Dia mengecup pelan puncak kepala Ruri dengan nada suara penuh sesal. "Maaf aku sudah menyakitimu," bisik Daiki.
Tiba-tiba terdengar suara riang Hideo dan Naoko memasuki apartemen Daiki -Hideo mengetahui nomor kombinasi apartemen Daiki- "Daiki, apakah Ruri sudah mengobati semua babak belurmu?" Hideo ternganga melihat apa yang sedang terjadi di depannya. Kedua sahabatnya itu sedang saling berpelukan.
"Ya Tuhan!!!" Naoko berteriak kaget dan menutup wajahnya hingga bungkusan makanan yang dibawanya jatuh ke lantai.
Daiki dan Ruri segera melepaskan diri dan saling mendorong tubuh masing-masing. Ruri segera merapikan selimut yang melilit tubuhnya.
"Senpai!"
"Hideo-san?!"
Daiki dan Ruri berseru bersamaan dengan wajah memerah. Hideo yang terpaksa memakai plester di dagunya terkekeh geli.
"Tampaknya Ruri sudah mengobatimu lebih dari sekedar menempelkan kapas obat," sindir Hideo ceriwis.
Daiki melempar Hideo dengan bantalan sofa terdekat dan berhasil dihindari Hideo.
"Brengsek!!"
"Woaa sekarang kau akan tahu perasaanku pada saat terpaksa meninggalkan ranjang hangat yang kulalui bersama Naoko sebelum teleponmu masuk." Hideo terbahak keras membuat Daiki mengejarnya dengan geram, melupakan tulang keringnya yang memar.
Naoko mendekati Ruri yang tampak sibuk memperbaiki letak selimutnya. Wanita itu tertawa melihat wajah tomat Ruri.
"Hohoho Ruri...kau sudah dewasa." Naoko menggoda Ruri.
Ruri mencubit lengan Naoko dan cepar berlari ke kamar mandi. "Jangan menggodaku, Nao!!" teriak Ruri sebelum menghilang ke kamar mandi.
Ruri mengatur napasnya yang memburu. Dia mengusap wajahnya dan tidak mengira akan ketahuan oleh Hideo. Bagi Ruri, Hideo adalah orang yang menggantikan paman Takao saat mereka berjauhan. Hideo sangat bertanggung jawab akan segala urusan Ruri dan Daiki. Rasanya dia sangat malu dilihat Hideo sedang bermesraan seperti tadi. Rasanya seperti kepergok oleh ayah walinya, Takao.
Ruri menatap wajahnya di cermin dan perlahan membuka selimut yang membalut tubuhnya.
Sejak kecil mereka bersama sehingga benih-benih cinta itu tumbuh dengan sendirinya. Rasa tidak nyaman sebagai hubungan persaudaraan - meskipun mereka sama sekali bukan saudara sedarah- membuat mereka hanya memendamnya sehingga ketika semua terungkap, mereka sama-sama meledak.
Ruri membiarkan dirinya diguyur shower dan keluar setengah jam kemudian dengan setelan kemeja dan celana linennya yang disisipkan Naoko di celah pintu.
Ketika dia mendekati mereka yang duduk berkumpul di depan televisi dengan beberapa makanan panas di atas meja, Ruri melihat Daiki dan Hideo sedang berdiskusi serius.
Ruri menjatuhkan tubuhnya dengan hati-hati di samping Naoko. Sahabatnya itu menyodorkan mangkuk ramen ke dekat Ruri.
Ruri meraih mangkuk itu dan bergumam lirih. "Dari sekian banyak pilihan mengapa selalu ramen menjadi pilihan pertamamu?" Meski protes Ruri melahap juga ramen di tangannya.
Naoko tertawa pelan dan terdengar suara Hideo. Tampak beberapa lembar kertas tersebar di sofa panjang tempat keduanya duduk.
"Aku sudah mengecek waktu produksi gelang tersebut. Dibuat dan diproduksi oleh rumah mode Versace 5 tahun lalu..."
Daiki mengangkat matanya dan melihat Ruri menaikkan alisnya tinggi-tinggi. Lalu dia kembali fokus pada suara Hideo.
"White Guardian Brecelet adalah nama gelang ini. Produk Limited dan hanya diperjual belikan di Amerika dan Eropa. Jumlah produk yang dipasarkan hanya 100 buah yang tersebar di dua benua tersebut. Aku berhasil menembus data komputer milik Rumah Mode tersebut di Milan dan mengambil semua data para konsumen yang membeli gelang tersebut," Hideo menyerahkan selembar kertas kepada Daiki yang langsung dibaca pria itu.
Hideo meraih air mineralnya dan menunjuk kertas di tangan Daiki. "Semua nama disitu tertera nama Amerika, Eropa dan China. Tidak ada nama Jepang di sana..."
Daiki meneliti hingga nama paling akhir dan dia mendengus ke arah Hideo. "Ada satu nama Jepang di sini! Kau kurang teliti."
Hideo beranjak mendekati Daiki dan merampas kertas di tangan pria itu. "Apa? Tidak ada nama Jepang di sini! Aku sudah memeriksanya berulang kali," protes Hideo.
Daiki menyeruput ramennya dan menunjuk deretan nama paling akhir pembelian dengan sumpitnya. "Ini...memang nama barat tapi coba kau lihat rekening yang dikeluarkan melalui kartu kredit tersebut. Itu adalah rekening dari Bank of Tokyo! Dan pembelian itu terjadi sekitar 3 tahun lalu, di etalase H&M, SoHo di Manhattan." Daiki sekali lagi menunjuk kertas di bagian riwayat pembelian dengan sumpitnya. Senyum sombong bermain di wajah tampannya. Sambil menekan ujung sumpitnya di pelipis, Daiki memajukan wajahnya pada Hideo yang melongo.
"Fokus, Hideo Senpai! Aku bertaruh kau mencari data ini bersama Naoko di ranjang." Daiki menyodok dada bidang Hideo dengan sumpit.
Ruri hampir menyemburkan ramennya karena tidak bisa menahan tawanya melihat wajah Hideo dan Naoko merah padam bergantian. Hideo merasa ingin sekali mencekik leher juniornya ini. Dia selalu kalah cepat. Dan juga Daiki selalu jitu dalam menebak apa yang dilakukannya.
Ruri merangkul bahu Naoko dan berseru pada Hideo. "Onii-san*, seharusnya kalian segera menikah."
Hideo menatap Ruri dengan memelas. "Aku ingin..tapiii.." Hideo menatap Naoko dengan lembut. "Kami sepakat akan menunggu sebentar lagi."
Ruri ingin membuka mulut tapi Naoko menahan tangan Ruri. " Ruri-chan..aku juga berpikir demikian. Hideo-san mempunyai tugas berat..."
"Tapi dia memang seorang polisi. Tugasnya memang berat dan tapi tidak melarang dia untuk menikahimu," bantah Ruri.
"Tapi ini tentang dirimu. Kau berbeda dari kasus mana pun yang pernah kuhadapi. Kau spesial," Hideo bersuara halus seraya menatap Ruri.
Ruri merasa dadanya sesak. Dia ingin menangis mendengar kalimat Hideo. Daiki yang tegar memilih mendengar itu sambil mengutak-atik laptopnya. Dia menerobos masuk ke jaringan rahasia milik Rumah Mode yang membuat gelang yang mereka selidiki dan dia terbelalak ketika berhasil meretas sebuah data.
"Kita keliru. Data yang ditemukan Hideo Senpai dan aku ternyata bukanlah data yang pertama kali produksi gelang itu dibuat. White Guardian Brecelet pertama kali dibuat sekitar tahun 1995 atau 20 tahun lalu. Dan jumlah pasarannya hanya 5 buah dan hanya ada di Etalase Rumah Mode asal di mana benda itu dibuat!"
Kalimat Daiki membuat ketiga orang di depannya terkejut dan bergegas berada di dekat Daiki untuk melihat semua data yang diretas Daiki masuk dengan cepat.
Daiki menunjuk pergerakan data yang bergerak turun dengan cepat. Data-data konsumen terlihat dengan jelas karena hanya ada 5 buah gelang saja. Dengan cepat Daiki menghentikan laju pergerakan data dan mengarahkan kursor pada nama yang berada di urutan ketiga.
"Tahun 1996. Shinobu Kimura. Jepang. Rek.Bank of Tokyo. Azabu. Jepang."
Daiki mengangkat matanya menatap Hideo. Ruri dan Naoko saling bertukar pandang dengan bingung. Hideo menekan batang hidungnya.
"Kau tidak boleh menunda kepergianmu ke Koto. Kurasa hanya Takao Oji-san yang bisa membantu penyelidikan kita." Hideo berdiri dari duduknya, dia melirik Naoko. "Naoko, lebih baik kau pulang bersama Ruri. Aku mau ke markas sekarang melapor pada Kepala Ichiro."
Daiki juga bangkit berdiri. Dia berjalan ke kamarnya sambil berkata cepat. "Aku juga. Aku ingin melacak nama yang terdapat di rek.Bank of Tokyo yang digunakan untuk membeli gelang itu 3 tahun lalu," Daiki memakai jaketnya dan menatap Ruri yang berdiri kaku menatap kedua orang pria itu. Sementara dengan sigap Naoko membersihkan bekas makanan mereka.
Daiki menarik Ruri dengan halus ke dekat pembatas ruang antara ruang televisi dan ruang tengah. Sebuah pembatas berbentuk rak buku yang tidak tertutup namun cukup terlindung.
Daiki merangkum wajah Ruri dan berbisik pelan pada wanita itu. "Pulang nanti jangan lagi ke mana-mana. Aku dan Hideo Senpai melacak pemilik gelang yang membunuh tersangka pembunuhan ibumu dan Bank Asing Saitama. Aku justru lebih condong pada gelang 1995 tersebut tapi aku juga curiga dengan pembelian 3 tahun lalu. Apa pun itu, ini merupakan awal dalam penyelidikan ini."
Ruri menatap manik mata pekat milik Daiki. Pria itu tersenyum dan membelai lembut pipi Ruri. "Sebenarnya aku ingin sekali memelukmu sepanjang malam ini. Tapi kita harus bersabar. Ada 2 hari bebas di Koto," senyum Daiki.
Ruri terpaksa tersenyum mendengar kalimat yang menjanjikan itu. Dia mengancingkan jaket Daiki. Dia menunduk sambil memegang bagian dada pria itu.
"Dalam seminggu ini aku melihat kau makan tidak teratur. Di Koto kau harus makan yang banyak bersama Takao Oji-san."
"Daiki!! Ayo! Sekarang baru kau tahu kan mengapa aku selalu terlambat dengan panggilan apa pun!"teriak Hideo dengan nada bergurau.
Daiki dan Ruri tertawa. Dengan cepat Ruri menarik wajah Daiki dan mengecup pria itu dengan lembut. "Sampai jumpa besok pagi." Lalu dia lebih dulu ke arah Hideo dan Naoko sambil meraih tas dan kunci mobilnya.
Daiki menyentuh bibirnya dan tersenyum simpul. Dia terkejut saat mendengar suara deheman Hideo.
"Senpai?"
Hideo bersandar sambil melipat kedua tangan di dada. "Kau harus banyak belajar denganku memanfaatkan waktu sesedikit mungkin yang kita miliki untuk bersama kekasih."
Daiki tertawa seraya meletakkan tangannya pada bahu bidang Hideo. "Aku memang harus belajar banyak denganmu, otak mesum! Aku gugup sekali tadi saat melakukannya pertama kali."
Dan senyum Hideo muncul selebar wajahnya mendengar kalimat Daiki. Dia mengacak rambut cokelat berantakan itu dan berkata bersungguh-sungguh. "Kau harus menjaganya baik-baik".