Chereads / RUNAWAY BRIDE (JAPAN VERSION) / Chapter 15 - Bab 14

Chapter 15 - Bab 14

Sehabis mandi Daiki langsung duduk di depan komputernya. Lama dia termenung menatap komputernya sedang loading. Ingatannya kembali pada waktu beberapa jam lalu di apartemen Ruri. Mengingat betapa bergairahnya mereka berdua. Daiki mengusap rambut basahnya dan menggelengkan kepalanya.

Jarinya menyentuh bibirnya seolah masih dirasakannya kehangatan Ruri. Dia menepuk dahinya dan meneguk kopi yang sengaja diseduhnya untuk menemaninya malam itu.

Perhatian Daiki kini mulai fokus pada komputer di depannya untuk mengontrol jaringan situs kepolisian Tokyo. Itu adalah tugasnya sebagai detektif di bagian cyber crime. Beberapa detektif di bagian divisi tersebut memiliki akses tersendiri untuk masuk ke situs kepolisian secara bebas untuk mengontrol agar jaringan mereka tidak diretas atau disadap oleh pihak asing. Dan biasanya mereka memiliki jadwal dan malam itu merupakan jadwal Daiki untuk mengontrol.

Dia masuk ke situs kepolisian dengan sandi miliknya dan mulai menjelajah memeriksa keamanan situs mereka. Pada awalnya semua berjalan aman dan Daiki bersandar sambil berselonjor kaki menatap layar komputer yang tampak normal. Tiba-tiba dia duduk lebih tegak ketika sebuah pergerakan asing masuk ke dalam situs dan langsung menyerang ke dalam situs para petinggi kepolisian dan menyedot semua informasi ke sebuah jaringan asing yang menerobos.

Daiki cepat menekan tombol-tombol keyboard dan menyelip laju pergerakan asing tersebut. Data-data yang bergerak naik dengan warna merah kini kembali bergerak turun dengan cepat dengan warna hijau.

Daiki terus menekan berbagai sandi untuk mematahkan usaha jaringan asing itu untuk meretas data-data kepolisian. Namun hacker di luar sana juga ternyata lawan tangguh, pergerakan data yang mulai turun cepat kembali bergerak naik dengan warna merah. Tulisan WARNING muncul di layar komputer Daiki membuat Daiki marah. Dia menekan semua sandi pengunci untuk menyedot kembali data-data tersebut dan data-data itu terserap kembali ke asalnya dengan warna hijau.

Sebuah nama peretas muncul di sudut layar. Sebuah tulisan merah bertuliskan Guardian itu sempat didapatkan Daiki dan di block untuk tersimpan secara otomatis ke dalam folder pribadi Daiki. Setelah itu dia menekan beberapa sandi dan langsung menekan enter. Data-data tersebut dapat dirampasnya kembali dan suara dalam komputer terdengar jelas. Akses complete.

Daiki menatap layar komputer yang kembali normal dan mengusap peluhnya. Dia mengklik folder yang bertuliskan guardian dan membukanya. Sebuah virus jahat langsung menyerang komputernya namun dengan tangkas Daiki memberantasnya dengan pembunuh virus miliknya. Dia masuk ke dalam sandi tersebut dan mandapatkan beberapa sandi yang tumpang tindih.

"Hmmm..mengecoh dengan sandi heh! Aku bisa menemukanmu!" gumam Daiki. Meski harus diakuinya hacker yang dilawannya barusan bukan lawan yang mudah.

Sementara itu Mamoru menendang meja komputernya dengan rasa kesal yang sudah mencapai ubun-ubun. Dia berdiri dan menekan kedua lengannya di meja komputer dan mengumpat habis-habisan di depan layar komputernya yang tampak gelap.

Usaha meretasnya gagal total. Satu pun informasi sama sekali tidak didapatnya. Justru kini hacker di sana mengiriminya virus yang membuatnya harus berkutat di depan komputer setidaknya dua hari untuk membunuhnya.

"Sialan! Sialan!" Mamoru menggigit kukunya. Baru kali ini dia gagal meretas sebuah jaringan bahkan tanpa bisa melawan. Baru kali ini dia bertemu hacker yang mampu mengalahkannya setelak itu.

Dia tidak bisa melacak hacker tersebut karena komputernya mati total dan itu membuat Mamoru nyaris membanting benda itu. Tapi dia mencoba mengatur emosinya dan mencabut tali komputer. Dia berjalan ke arah jendela sambil meneguk wine.

Saat itu dia masih berada di kediaman Junichi karena pria itu mengatakan tidak akan kembali sampai subuh. Junichi memintanya untuk menjaga Sayuri yang hanya bersama dua orang pembantu. Mafia itu belum menempatkan bodyguard di penthousenya.

Mamoru menyentuh kaca jendela dan mengguman pelan. "Onee-san...Sayuri Onee-san.."

****

Suara hingar bingar klub di luar sana teredam oleh ruangan kedap suara yang ditempati Junichi bersama wanita yang menemaninya malam itu. Pria itu menghabiskan malam bersama seorang wanita cantik berambut pirang dan melupakan sejenak tunangannya yang cantik dan aristokrat.

Suara ketukan pada pintunya membuat Junichi menghentikan kesibukannya bersama sang wanita cantik itu. Didengarnya suara protes dari celah bibir si wanita. Junichi menutup protes itu dengan ucapan ketus.

"Aku di sini sudah berjanji akan bertemu seseorang. Lekas berpakaian dan segera ke luar ketika aku membuka pintu." Suara Junichi terdengar dingin. Dia berjalan menuju sofa lainnya yang terletak setelan jas licinnya.

Junichi memakai celana panjangnya dan melempar segepok Yen ke pangkuan wanita itu dan berkata datar. "Ambil itu dan cepat pergi."

Dia memakai kemeja putihnya dan hanya mengancingkan dua kancing saja sehingga dadanya yang berotot itu membayang. Dia menatap tidak peduli pada wanita yang memakai pakaian secara terburu-buru itu sambil duduk bersandar di single sofa yang menghadap pintu.

Sekali lagi suara ketukan pada pintu. Junichi berkata keras. "Buka pintu itu," perintahnya pada si wanita yang segera membuka pintu dan menyelinap pergi.

Sebelah alis Junichi terangkat ketika melihat sosok asistennya, Koji Hayashi berdiri tegak di depannya. Pria itu membungkuk hormat seraya bersuara datar. "Tamu anda sudah datang, Junichi-Sama."

Junichi mengetukkan jari-jarinya pada lengan sofa ketika melihat Asisten Hayashi menepi dan membiarkan dua orang pria besar tinggi memasuki ruangannya. Senyum Junichi bermain di bibirnya yang bagus dan dia mengulurkan tangannya pada dua orang itu ke arah sofa panjang di sampingnya.

"Silakan duduk Kepala Polisi Soji Hasegawa."

****

Pagi-pagi sekali Daiki sudah di telepon oleh Divisi Pengamanan CCTV yang mengatur segala CCTV yang tersebar di jalan-jalan kota Tokyo beserta CCTV milik kepolisian itu sendiri. Akira Houjo, salah satu polisi yang berada di bawah naungan Divisi Pengamanan CCTV memberitahukan adanya rekaman CCTV yang dobel pada saat terjadi pembunuhan di sel tahanan Jiro Miura tiga hari lalu.

Mendengar laporan itu, Daiki segera bangun dari tidurnya dan sedikit limbung karena dia baru saja tidur sejam yang lalu akibat mengutak-atik sandi milik Guardian.

"Yup. Aku segera ke sana." Daiki mematikan ponselnya dan menekan kedua lengannya pada wastafel, mencoba menyeimbangkan tubuhnya serta kepala peningnya. Dia membuka keran air dan membasuh wajahnya sebelum meraih handuk untuk mandi kilat. Dia masih sempat menelpon Hideo dan mendengar suara serak di seberang.

"Hallo...." - suara Hideo.

"Segera keluar dari selimut! Kita ke markas sekarang. Ada berita terbaru tentang CCTV pada waktu pembunuhan Jiro Miura."

"Apa bisa tunggu sejam lagi.." - Suara Hideo.

Kalimat Hideo membuat telinga Daiki berdenging. Kepalanya yang pusing akibat kurang tidur membuatnya menjadi naik darah.

"Bercinta saja kerjaanmu, Hideo-san!" Dengan kesal Daiki tidak menggunakan kata Senpai pada Hideo dan memutuskan percakapan untuk segera masuk ke kotak shower. Dia membasahi seluruh tubuhnya yang penat dengan air hangat sambil sebelah tangannya menekan dinding kamar mandi.

Tubuhnya diguyur air hangat membuat rasa peningnya sedikit berkurang. Tak lama setelah itu dia keluar dari kamar mandi dan memakai pakaiannya yang khas detektif. T-Shirt putih dipadu dengan jaket kulit (dia mempunyai selusin jaket kulit seperti itu) dan segera memakai sepatunya. Ketika dia berjalan ke arah pintu, matanya menatap sebuah lampu duduk yang terletak di atas meja kecil di sudut ruangan. Lampu itu berbentuk bunga lonceng berwarna biru dengan dasarnya berbentuk oval. Itu adalah karya pertama Ruri yang didesain wanita itu sebagai hadiah kelulusannya sebagai polisi.

Bola lampu di dalam bunga lonceng itu berwarna putih sehingga warna biru terlihat sangat dominan. Daiki berjalan mendekat dan mematikan tombol lampu itu dan tersenyum sebelum berlari pergi.

Sementara Daiki menuju markas kepolisian, Ruri datang ke toko sedikit terlambat dari waktu biasanya. Bahkan kali ini tanpa make up karena dia bangun terlambat. Hal yang paling jarang dilakukannya.

Ketika dia mendorong pintu kaca tokonya, dia melihat Rui sudah melayani seorang pelanggan. Sementara Mamoru berada di bagian kasir mempelajari catatan pemasukan selama sebulan terakhir.

"Selamat pagi." Ruri menyapa semua yang ada di toko dan merasakan pandangan heran dari Rui. "Aku bangun terlambat."

Mamoru melepas kacamata tipisnya dan tersenyum pada Ruri yang berlari menaiki tangga. "Apa aku mengganggu jika berbicara denganmu sekarang?"

Ruri menoleh sambil menaiki tangga. "Tidak..kau boleh bicara di ruanganku."

Mamoru keluar dari meja kasir dan menuju tangga putar itu. Dia menyimpan kacamata tipisnya di saku kemeja. Ruri tidak menutup pintunya sehingga dia bisa mengintip melihat wanita itu sedang memoles bibirnya dengan lipstik merah.

Ruri menurunkan cerminnya dan mendapati Mamoru tengah berdiri di ambang pintu. "Duduklah."

Mamoru berjalan mendekati meja kerja Ruri dan duduk menghadap wanita itu. Ruri tampak sedang menunduk memasukkan peralatan make upnya ke dalam laci meja kerja. Rambut panjangnya tampak tergerai di atas meja. Dalam hati Mamoru tidak mengerti mengapa Junichi begitu bersikeras membalas dendam kepada Ruri. Bukankan Ruri merupakan korban akibat perbuatan ayahnya? Mamoru menaksir bahwa usia Ruri tidak terlalu jauh dari usia Sayuri. Dan harus diakui Mamoru bahwa keduanya memiliki raut wajah yang hampir sama. Dia sempat kaget sewaktu pertama kali bertemu Ruri.

"Nah..ada yang ingin dibahas?" Ruri menatap Mamoru yang tampak melongo menatapnya. "Mamoru?" Ruri mengibaskan tangannya di depan wajah tampan itu sehingga membuat pria muda itu tersadar.

Mamoru mengerjabkan matanya dan tersenyum malu. "Maaf Ruri-sama..aku melamun." Mamoru teringat kalimat Junichi yang mengatakan agar Ruri percaya padanya. Dengan kata lain dia harus bisa mengambil hati wanita itu.

Ruri tertawa pelan. "Masih terlalu pagi untuk melamun," cetusnya singkat.

Mamoru menggaruk kepalanya dan berkata pelan. "Aku teringat seseorang ketika menatapmu." Mamoru menentang pandang mata Ruri yang terlihat heran. "Seorang Onee-san." Jawaban Mamoru memancing rasa penasaran Ruri.

"Seorang Onee-san? Apakah dia yang kau jemput kemarin?" senyum Ruri.

Mamoru tertawa. Dia meletakkan sebuah buku di atas meja. "Begitulah." Lalu dia memandang Ruri. "Anda mengirimiku pesan tadi malam untuk mempelajari kontrak kerja sama yang ditawarkan perusahaan interior di London?"

Ruri melipat kedua tanganya di meja dan mengangguk. "Sebenarnya aku bisa melakukannya sendiri tapi kau seorang lulusan ekonomi dan bisnis tentu sangat memahami apa yang kuminta."

Ruri memang mengirim pesan pada Mamoru untuk mempelajari kontrak kerja sama yang dikirim melalui email. Pada saat email Ruri masuk, Mamoru tengah berdiri tepat di depan pintu kamar Sayuri dan dia berterima kasih pada Ruri. Karena suara email wanita itu, dia tidak jadi mengetuk pintu kamar Sayuri.

Ruri mengeluarkan salinan kontrak kerja yang diprintnya dari situs dan mengangsurkannya di depan Mamoru. "Aku ingin kau mempelajarinya pelan-pelan saja. Besok atau lusa aku tidak ada di sini."

Mamoru menerima salinan itu dan menatap Ruri. "Anda ingin pergi?" tanyanya dengan nada wajar. Tapi Mamoru mencurahkan semua perhatiannya pada perkataan Ruri.

Ruri menjawab santai tanpa curiga. "Aku mau ke Koto sekitar 2 hari."

"Koto?" Mamoru kembali bertanya seraya menyimpan kembali salinan itu ke dalam sebuah map tipis yang diberikan Ruri.

"Ke rumah ayah angkatku. Bengkelku ada di sana," sahut Ruri ringan.

Di balik senyumnya, Mamoru merasakan dadanya yang berdegup kencang. Tanpa harus bekerja keras mencari informasi di komputer, keberadaan Takao Watanabe didapatnya dengan sangat mudah.

Tengah bercakap seperti itu, kepala Rui muncul dari pintu. "Yuri-sama...ada telepon..." suara gadis itu terdengar cemas.

Ruri mengangkat alisnya. "Dari mana..."

"Dari Markas Kepolisian. Kedua Senpai anda berkelahi."

Mendengar kalimat Rui, Ruri mendorong kursinya dan segera berlari keluar dari ruangannya tanpa meminta Mamoru keluar.

Mamoru mendapatkan kesempatan untuk mencari akal agar dia bisa mengetahui keadaan Ruri di Koto. Dia mengeluarkan benda kecil yang dikenal sebagai alat pelacak dari saku celananya. Dia mencari benda yang akan selalu dibawa oleh Ruri dan matanya tertuju pada dompet kecil yang kerap kali dibawa Ruri ke mana saja. Dia pernah melihat benda itu di tangan Ruri sewaktu dia diterima, ketika hari pertama dia bekerja dan hari ini. Dompet itu selalu dibawa Ruri.

Tanpa membuang waktu, Mamoru meletakkan alat pelacak itu di dasar dompet. Tanpa ingin mencari tahu, Mamoru melihat isi dompet kecil itu yang ternyata hanya berisi beberapa kartu kredit dan selembar foto yang terselip. Dia melihat foto itu sekilas dan menemukan bahwa itu adalah foto wanita itu bersama seorang pria tampan. Dan Mamoru mengenali wajah pria itu dari data yang diprintnya dari data kepolisian yang sempat diretasnya sebelum seorang hacker mengambil alih.

****

Sebelum salah satu polisi menghubungi Ruri di tokonya, awalnya Daiki dan Hideo meneliti di bagian Divisi Pengamanan CCTV untuk melihat rekaman dobel yang ditemukan oleh Akira.

Ternyata CCTV yang diteliti oleh Daiki pada saat malam Jiro Miura terbunuh adalah CCTV yang telah diubah sandinya. Divisi Pengamanan CCTV menemukan kejanggalan karena kode produksi CCTV yang diubah itu terlihat masih baru sementara CCTV yang berada di sel tahanan merupakan produk lama yang tidak pernah berganti. Kode itu selalu muncul di layar kamera di bagian sudut kanan. Ketika detektif Akira mengecek melalui kode tersebut, ternyata rekaman CCTV tersebut telah diubah seseorang.

Pada saat itu untunglah salah satu detektif di bawah tim penyidik kasus Jiro Miura berada di markas dan membuka kode yang terbilang tidak rumit itu. Maka muncullah rekaman asli pada saat Jiro Miura terbunuh.

Daiki dan Hideo melotot melihat rekaman yang menunjukkan seorang pria pengantar pizza mendekati sel Jiro Miura. Jiro terlihat menghampiri pria bertopi itu dan dalam hitungan detik Jiro jatuh dalam keadaan tertembak jarak dekat.

"Stop!" Daiki menekan tombol stop dan menekan tombol replay dengan lambat.

Semua yang ada menatap heran ketika Daiki memutar balik rekaman saat pria pengantar pizza itu berdiri di depan sel Jiro.

"Perhatikan lengan pria itu." Daiki menunjuk layar dan menekan tombol lambat ketika pria itu menggerakkan tangannya mengetuk jeruji sel tepatnya mengetukkan sesuatu di sana. Daiki menekan tombol stop dan memperbesar layar pada bagian tangan pria tersebut. Sebuah gelang berlapis emas putih dikenakan pria itu untuk mengetuk jeruji sel.

"Ini bisa dijadikan bahan untuk mempersempit penyelidikan kita tentang pembunuh Jiro Miura. Pria pengantar pizza dengan gelang emas putih..." dengan cekatan Daiki memfokuskan layar pada gelang tersebut dan merekam pada sebuah folder dan men-sharenya pada rekan lainnya di tim penyidik melalui email. "Kita harus segera menemukan produksi asli gelang yang dipakai pria ini karena benda seperti ini banyak ditemukan tiruannya," Daiki menatap Hideo dan dua orang rekan di tim penyidik yang sama.

"Kau bisa bersama mereka mencari tahu gelang yang dikenakan pria itu asli apa palsu. Dan menelusuri asal gelang itu dibeli oleh siapa. Aku besok akan ke Koto bersama Ruri untuk meminta data pada Ayahku terkait kasus Toshima." Daiki melihat Hideo tidak segera menerima usulnya. "Senpai...kita bisa berbagi tugaskan?" tegas Daiki.

Hideo menggaruk belakang kepalanya. Dia memberikan tatapan bersalah pada Daiki. "Sebenarnya aku berniat mengajukan izin 5 hari dari markas karena perkembangan kasus ini sangat lambat."

Daiki berdiri dengan tegak. Matanya mencorong menatap Hideo. Emosinya mulai naik separuh. "Kau izin? Ke mana?"

Hideo dapat menangkap sorot mata ganas dari Daiki. "Aku ikut Naoko ke Hongkong. Dia akan menggelar fashion show gaun pengantin rancangannya.."

Darah Daiki naik ke kepala. Wajahnya berubah gelap dan dia maju selangkah ke depan Hideo. "Kau izin hanya untuk menemani Naoko menggelar Fashion Show?? Kau lupa tugasmu?"

Hideo reflek mundur selangkah. Tapi sorot matanya sama kerasnya seperti Daiki. "Kasus ini berjalan sangat lambat! Terlalu banyak teka teki yang membuat lelah tubuh dan pikiran!"

"Tapi pekerjaan detektif adalah mencari dan menunggu! Itu yang dikatakan ayahku dan ayahmu!"

"Ada kalanya kita butuh untuk diri sendiri! Apa yang dikatakan Ruri benar seharusnya aku juga memikirkan diriku sendiri tanpa terikat kasus 19 tahun lalu!"

Kalimat Hideo terhenti seketika ketika kepalan tinju Daiki menghantam dagunya. Hideo terdorong keras menabrak meja monitor CCTV dan membuat semua polisi yang ada di situ terkejut.

HIdeo merasa dagunya berdenyut nyeri akibat tinju Daiki yang telak. Dia berdiri tegak menatap Daiki dengan marah sambil memegang dagunya.

"Kau berani hah!" bentak Hideo pada Daiki. Dia bergerak cepat dan melayangkan tinjunya yang kokoh pada wajah Daiki.

Menduga bahwa Hideo pasti menyerang balik, Daiki mengelak namun kaki Hideo justru menendang tulang kering Daiki. Daiki terbanting jatuh dan Hideo sukses meninju pipi Daiki.

Dalam sekejap perkelahian tidak dapat dihindari lagi. Para polisi berusaha melerai keduanya namun baik Daiki maupun Hideo sudah persis dua harimau mengamuk. Mereka saling memukul dan menendang. Akhirnya salah satu dari mereka berlari menghubungi orang terdekat.

"Tidakkah kau tahu bahwa Ruri berkata begitu hanya untuk menutupi rasa takutnya!" Daiki berteriak seraya menendang perut Hideo.

"Kau terlalu terobsesi dengan kasus 19 tahun lalu!" Hideo balas meninju dada Daiki.

Daiki berhasil mencengkram kerah T-Shirt Hideo dan mendesis geram. "Ruri hanya memiliki kita! Apa kau tahu malam-malam yang dilaluinya ketika kecil heh! Rasa takut dan cemas! Apa kau tahu bagaimana akhirnya dia bisa berbicara lagi! Apa kau lupa bagaimana kau menyelamatkan kami berdua di lautan Odaiba, sialan!!" sembur Daiki di muka Hideo, dia mendorong Hideo ke dinding dan siap kembali memukul wajah Hideo ketika mendengar teriakan di belakangnya.

"Hentikan!!"

"Detektif Watanabe! Detektif Katoo!"

Daiki dan Hideo sama-sama melihat orang yang meneriaki mereka. Tatapan keduanya jatuh pada Ruri yang berdiri pucat di ambang pintu dengan kedua tangan menutupi mulut. Setelah itu mereka melihat Kepala Divisi Ichiro Nakano berdiri menjulang di depan mereka dengan tampang garang.

"Ruri!!" Daiki dan Hideo bersuara bersamaan tapi tubuh besar Ichiro menghalangi keduanya mendekati Ruri.

"Kalian berdua ikut aku ke ruanganku!" ucap Ichiro tegas. Lalu dia membalikkan tubuh dan berjalan duluan. Pada Ruri dia berkata halus. "Anda bisa menunggu disini, Nona. Mereka harus menjelaskannya padaku."

Ruri menganggguk cepat dan melihat wajah kedua pria itu penuh dengan lebam biru akibat tinju masing-masing. Daiki merasa menyesal telah memukul Hideo saat melihat bagaimana shocknya Ruri melihat hal itu. Wanita itu selalu merasa takut melihat kekerasan dalam bentuk apapun.

Saat melewati Ruri, Hideo menepuk pipi Ruri dengan lembut. "Maaf, Ruri, kau melihat hal yang tidak baik."

Ruri melihat kedua pria itu berjalan mengikuti pria besar tinggi itu. Sepasang kakinya terasa seperti jelly. Dia merasa sangat ngeri melihat bagaimana keduanya saling melayangkan tinju.

Seorang polisi wanita mendekati Ruri dan menawarinya duduk. "Duduklah dulu, Nona."

Sementara itu Daiki dan Hideo dimarahi habis-habisan oleh Ichiro diruangannya. Pria itu memukul meja dan berteriak di depan wajah keduanya.

"Aku tidak ingin hal memalukan seperti ini terjadi lagi! Kita seharusnya saling bahu membahu dalam menuntaskan kasus ganda ini! Harus kuakui aku melarangmu meninggalkan Jepang di saat kepolisian kita juga sedang dalam kondisi bahaya!" Ichiro menatap Hideo yang ternganga.

Daiki mendengus. Dia menoleh Hideo itu dan berkata ketus. "Kau tidak tahu bukan kalau tadi malam seorang hacker jitu meretas jaringan kepolisian kita dan hampir seluruh data rahasia kepolisian tersedot habis oleh hacker sialan itu?!"

Hideo tersandar di kursinya. Dia mengusap wajahnya yang berdenyut-denyut. "Aku tidak tahu.."

Ichiro terduduk di kursi kebesarannya dan menghela napas. "Tadi malam markas kita diserang oleh hacker dan untung saja Detektif Watanabe cepat menanganinya dan seluruh data kepolisian aman. Dia menghubungiku serta Kepala Divisi Cyber Crime untuk mengubah sandi database Kepolisian kita. Dan sekarang kita kembali menemukan rekaman CCTV yang digandakan saat pembunuhan Jiro Miura. Dan yang terakhir...ini juga baru saja ditemukan oleh salah satu polisi di bagian pendataan kasus bahwa data kasus pembunuhan 19 tahun lalu, kasus Toshima telah terblock oleh suatu sistem tak dikenal!"

Daiki dan Hideo terdiam. Ichiro mengusap wajahnya. "Bukan hanya kalian saja yang merasakan beban berat akan kasus yang tumpang tindih ini. Aku dan yang lainnya juga merasakan bahwa kedua kasus ini penuh diliputi misteri. Ada seseorang atau kelompok yang tidak ingin kedua pembunuhan ini terungkap. Dan aku khawatir bahwa seseorang di kepolisian ini terlibat!"

****

Ruri menunggu dengan sabar di lobi kepolisian ketika kedua pria itu berjalan mendekatinya. Dia bangkit berdiri dan memeluk keduanya dengan rasa khawatir.

"Kalian tidak apa-apa kan?"tanyanya cemas ketika melihat wajah keduanya yang babak belur.

Hideo terpaksa tertawa. "Jangan khawatir, Ruri. Daiki sungguh-sungguh menjadi polisi tangguh. Dia memukulku dengan begitu semangat dan memberiku sedikit kesempatan menghantam wajah tampannya ini." Hideo menunjuk pipi Daiki yang lebam.

Daiki mendengus dan menepis jari Hideo. "Baiklah aku mengaku salah. Aku egois dan sudah menerima keputusan untuk berbagi tugas denganmu dan lainnya. Aku tidak akan ikut Naoko ke Hongkong". Ucapan Hideo terdengar dengan nada sangat menyesal.

"Hongkong? Kau berencana pergi ke Hongkong?" tanya Ruri.

Hideo mengangkat bahu. "Itu keputusan khilafku sebelum Daiki menghantamku dengan kepalan tanganya ke wajahku." Hideo berjalan ke arah pintu. "Kami diliburkan hari ini dan sebaiknya kau juga istirahat di apartemenmu." Dia melambai dan berlalu.

Daiki berdiri diam dan berjalan sedikit pincang karena tulang keringnya yang ditendang Hideo sepertinya memar. Ruri segera memegangnya.

"Ayo kuantar kau pulang"

Daiki menoleh dengan cepat. "Tidak usah.." tapi dia menghentikan protesnya ketika melihat sinar mata penuh teguran dari Ruri. Dia tersenyum tipis. "Baiklah"

Ruri membawa mobil ketika datang ke markas kepolisian. Mobil Daiki terpaksa ditinggal di basemen kepolisian dan Ruri menyetir mobil menuju keluar area kepolisian. Di tengah jalan dia baru menyadari bahwa dia meninggalkan dompet pentingnya di toko. Dia menoleh Daiki.

"Aku harus mengambil dompetku di toko. Boleh?" tanya Ruri.

Daiki yang sedang menatap jalanan Tokyo berkata ringan. "Tentu saja. Aku ikut aturanmu."

Ruri tertawa dan membelokkan setir masuk ke jalur dua arah dan melaju ke tokonya.

****

Sayuri sedang berpakaian ketika Junichi masuk kedalam kamarnya dengan setelan kasualnya yang menawan. Melihat Junichi muncul begitu saja membuat Sayuri manarik sebuah kain panjang yang membatasi kamar tidurnya dengan ruang tamu kecil di dekat balkon.

Junichi tersenyum menyaksikan bagaimana Sayuri menutupi tubuhnya yang hanya mengenakan underwear dengan kain tipis itu. Dengan ringan dia melangkah mendekati wanita itu yang berlagak tidak peduli dengan kemunculannya.

Sebenarnya Sayuri merasa jengah tunangannya melihat dia sedang berpakaian namun dia bersikap tenang dan terus saja meraih blus lengan pendek dan sepotong rok model payung di atas lutut. Napasnya tercekat ketika sepasang lengan Junichi melingkari pinggangnya.

Junichi mendaratkan kecupan mesra di bahu mungil Sayuri dan tangannya mengelus lekukan pinggang mulus itu.

"Kau tampak cantik," bisiknya serak.

Sayuri berusaha untuk tidak menepis jari-jari nakal tunangannya yang kini mulai merambat naik dari pinggangnya.

Sayuri memiringkan wajahnya sedikit hingga bibir Junichi yang menuju rahangnya mengenai udara kosong. Dia juga menggeser tubuhnya tanpa kentara.

"Aku ingin keluar sebentar." Sayuri masih menjaga nada suaranya yang diyakininya mulai sedikit gemetar akan sentuhan jari Junichi.

Junichi menghentikan gerakan tangannya dan menatap manik mata Sayuri melalui cermin di depan mereka. "Kau ingin ke mana? Aku akan mengantarmu"

"Jangan!" Sayuri membantah dengan cepat membuat alis Junichi berkerut. Sayuri menggigit bibirnya ketika mengucapkan itu terlalu bersemangat. Junichi terlihat curiga menatapnya. "Aku hanya ingin berjalan-jalan melihat Tokyo. Kurasa kau hanya membuang waktumu jika menemaniku. Bukankah kau akan bertemu beberapa orang penting di sini sebentar lagi?" Sayuri tersenyum manis. Dia harus bisa membuat Junichi tidak ingin mengikutinya.

Lama Junichi menatap Sayuri melalui cermin. Jantung Sayuri berdetak kencang dan kemudian dia bernapas lega ketika melihat senyum Junichi. Pria itu mencium pipinya dan berkata lembut.

"Baiklah. Apa kau ingin disupiri atau.."

"Aku ingin naik taksi saja. Aku sudah mempunyai peta Tokyo untuk ke tempat-tempat menarik."

Junichi tetap tersenyum. Kemudian dia mengambil blus dan rok yang dipegang Sayuri. "Baiklah. Tapi sebagai izin dariku biarkan aku membantumu berpakaian," ada nada bergairah di suara Junichi membuat Sayuri waspada. Namun karena dia harus bisa keluar tanpa Junichi, dia membiarkan saja pria itu meraih roknya dan memakaikannya.

Apa yang diwaspadakan Sayuri terbukti. Junichi tidak hanya sekedar membantunya berpakaian, pria itu mengambil kesempatan itu untuk menggoda tunangannya dengan sentuhan-sentuhannya yang liar. 

Sambil memasukkan sepasang kaki Sayuri ke dalam rok itu, Junichimembelai kulit paha wanita itu dan memberikan kecupan mesra di pangkal paha Sayuri.Tubuh Sayuri menggigil ketika merasakan bibir hangat Junichi mengecupi pangkalpahanya dan terus naik menciumi pusarnya sebelum menuntaskan roknya tergantungdi lingkar pinggangnya. Penderitaan Sayuri tidak sampai di situ, sewaktu Junicchimemasukkan blus berlengan balon itu ke tubuhnya, pria itu mengambil kesempatanmelumat bibirnya dan jari-jari yang liar itu membelai kulit dadanya di atas brahitamnya. Bahkan dengan lembut jari-jari Junichi menangkup payudara Sayuri yangditutupi bra itu dan memutari jempolnya menggoda puting di balik bra tersebut.     

Penderitaan Sayuri tidak sampai di situ, sewaktu Junichi memasukkan blus berlengan balon itu ke tubuhnya, pria itu menciuminya dengan keras. Sayuri nyaris menangis namun akhirnya blusnya terpakai dengan sempurna.

Junichi melihat wajah Sayuri yang memucat. Dia tersenyum sambil merapikan rambut panjang wanita itu dan merangkum wajah lembut itu. Di dekatkannya wajah itu pada wajahnya dan bibirnya yang menempel pada cuping telinga Sayuri bersuara begitu tajam.

"Aku sangat mencintaimu Sayuri. Tapi aku tidak ingin ada pengkhiatan di belakangku." Dengan lembut Junichi mengecup pipi Sayuri dan melepaskan tangannya. Dia mengeluarkan kartu kredit dari dompetnya dan memberikannya ke telapak tangan Sayuri.

"Kau boleh puas berbelanja dengan semua Dollar yang ada di situ." Setelah berkata demikian, Junichi berjalan keluar dari kamar Sayuri.

Sayuri merasakan kedua kakinya gemetaran oleh ancaman Junichi dan masih berdiri terpaku di tempatnya. Ditatapnya kartu kredit gold yang ada di telapak tangannya. Dia menyimpannya ke dalam tas kecilnya dan mengeluarkan secarik kertas bertuliskan R.U.R.I Lamp Shop di daerah Shibuya.

****

Ruri memarkir mobilnya tepat di depan tokonya. Dia menatap Daiki dan bertanya pendek. "Kau di sini?"

Daiki menatap gedung toko Ruri yang tampak cantik khas wanita. Dia membuka pintu mobil dan berkata singkat. "Aku ikut turun."

Ruri dan Daiki mendorong pintu toko dan melihat ada beberapa pelanggan yang dilayani oleh Rui bahkan dilihatnya Mamoru juga ikut sibuk bersama dengan berada di meja kasir.

"Ruri-sama, selamat datang." Rui tertawa melihat nonanya datang terutama bersama seorang pria yang selama ini dikaguminya. "Ah, Detektif Watanabe. Apa yang terjadi dengan wajah anda?"

Ruri berlari menuju tangga putarnya dan berseru pada semuanya. "Aku hanya mengambil dompetku yang ketinggalan. Toko kutitip pada kalian." Lalu dia menatap Mamoru yang tampak melongo pada satu objek. "Dan juga untuk 2 hari ke depan ya, Mamoru."

Mamoru yang mendengar seruan Ruri tersadar dari perhatian penuhnya terhadap sosok pria yang masuk bersama Ruri. Mamoru mengetahui siapa pria yang kini berdiri santai di toko itu bercakap-cakap ramah pada karyawan Ruri. Daiki Watanave. Detektif muda yang menjadi penyidik kasus pembunuhan Bank Asing Saitama dan kasus 19 tahun lalu, Toshima. Ini benar-benar sebuah jackpot, ucap Mamoru dalam hati.

Daiki sedang menikmati semua lampu yang didesain Ruri saat sebuah suara menegurnya dengan sopan. Dia menoleh dan mendapati seorang pria muda bertubuh sedang berdiri di depannya.

"Selamat siang. Aku Mamoru, karyawan baru Ruri-sama bagian keuangan." Mamoru mengulurkan tangannya untuk berjabat.

Daiki menatap wajah tampan itu yang tersenyum amat bagusnya. Ketika mendengar pria itu memperkenalkan dirinya, rasanya ada sesuatu yang menghentak di benak Daiki meski pun dia tidak tahu apa itu. Tapi dia menyambut uluran tangan itu dan menjabatnya dengan hangat.

"Daiki. Daiki Watanabe. Detektif kepolisian."

Mamoru tersenyum dan mengguncang jabatan Daiki sebelum melepasnya. Terdengar suara Ruri sambil menuruni tangga. Dia melihat Daiki dan Mamoru sudah saling berkenalan dan dia berada di antara kedua pria itu.

"Tampaknya kalian sudah saling kenal. Baiklah, Mamoru aku titip toko. Kami harus segera pergi, Daiki harus cepat diobati." Ruri mendorong punggung Daiki yang tertawa. "Kau tidak mengkhawatirkan Hideo-san?"

"Dia ada Naoko."

Mamoru melihat keduanya keluar dari toko dan dengan diam-diam dia menekan sebuah tombol kecil yang ada di dalam saku celananya. Tombol itu membuat alat pelacak yang berada di dasar dompet Ruri langsung aktif dan dapat segera bisa dilihatnya keberadaan wanita itu melalui komputer maupun ponselnya yang sudah dirancangnya untuk keperluan tersebut.

Ruri mendorong pintu kaca bertepatan dengan seorang wanita yang turun dari taksi mengenakan kacamata hitam. Mereka saling berpapasan ketika Ruri berjalan keluar dari toko dan wanita itu melangkah memasuki toko. Mata keduanya saling bersirobok dalam hitungan detik dan berakhir begitu saja karena Ruri langsung memasuki mobil dan wanita itu telah memasuki toko.

Mamoru yang kebetulan berdiri tepat di depan pintu masuk melongo melihat siapa yang masuk. Jantungnya berdetak lebih kencang daripada waktu dia meretas jaringan di komputer. Urat nadi dilehernya berdenyut lebih cepat ketika melihat Sayuri membuka kaca mata hitamnya.

"Onee-san? Apa yang kau lakukan disini?"

****

"Bisakah lebih pelan mengobatiku?" keluh Daiki sewaktu Ruri mengobati wajahnya yang lebam.

Ruri tidak memperdulikan segala macam protes yang dilontarkan Daiki dan terus saja menekan memar-memar itu dengan kapas obat. Dia menarik lepas T-Shirt pas badan yang dikenakan Daiki dan melihat beberapa memar di dada dan perut pria itu.

Daiki melihat wajah Ruri yang menunduk dan berkata tidak nyaman. "Kalau kau keberatan aku bisa mengobatinya sendiri," ucap Daiki halus ketika dilihatnya tangan Ruri yang gemetaran bergerak menuju tubuhnya.

Ruri menggelengkan kepalanya dan menekan memar di dada Daiki yang lebar dan putih itu dengan jarinya. Dia membelai memar itu dengan lembut.

"Mengapa harus berkelahi dengan Hideo-san?" Suara Ruri terdengar bindeng.

Sebenarnya kepala Daiki mulai merasa pening ketika merasakan bagaimana lembutnya jemari Ruri mengelus dadanya. Jantungnya berdegup sangat kencang.

"Aku sedang kesal dengan Senpai yang tidak memikirkan kasus ibumu dan yang lainnya. Jadi tanpa sadar aku menonjoknya." Kumohon jangan sentuh aku seperti itu Ruri, atau aku akan kehilangan kendali diriku, Daiki menjerit dalam hati.

Ruri masih membelai dada lebar dan hangat itu dengan lembut. Melalui telapak tangannya dia bisa merasakan detak jantung Daiki begitu jelas. Sedetik kemudian tangannya diraih oleh Daiki dan pria itu mendorong punggungnya ke sandaran sofa.

"Jangan menyentuhku seperti itu atau aku bisa menjadi monster di depanmu." Daiki berbisik pelan di depan wajah Ruri. Suaranya terdengar berat dan sangat mengancam.

Manik mata Ruri berbinar lebih terang. Wanita itu menatap Daiki tidak berkedip. Ruri bisa melihat dengan jelas bagaimana Daiki berusaha mengendalikan emosinya namun pandang mata pria itu tidak bisa lagi disembunyikan. Sepasang mata pekat dan tajam itu diliputi kabut gairah dan sialannya membuatnya semakin tampan.

Bukannya gentar dengan ancaman Daiki, Ruri justru memajukan tubuhnya sehingga bersentuhan dengan dada Daiki.

"Aku tidak peduli kau menjadi monster bagiku! Terlalu lama kita bersembunyi. Terlalu lama kita membiarkan perasaan kita menutupinya. Jika kau akhirnya mengeluarkan monster dari dalam dirimu, aku tidak takut! Aku mencintaimu. Kaulah alasan utamaku menjadi RUNAWAY BRIDE."

Daiki hampir menangis mendengar pengakuan Ruri. Selama ini dia mempertahan dirinya karena tidak ingin Ruri bermain di dalam maut karena kasus ibunya. Tapi selama ini perasaan Daiki semakin tersiksa. Dia mencintai Ruri. Mencintai teman masa kecilnya dari lubuk hatinya yang paling dalam.

Ruri membelai wajah Daiki dan dengan lembut mengecup dagu yang bagus milik pria itu. Dirasakannya tubuh Daiki bergetar saat dia memberikan ciuman lembut penuh perasaan itu.

"Aku tidak peduli dengan bahaya yang mengancamku di belakang. Aku selalu tahu kau ada untukku. Kumohon jangan saling menyiksa."

Daiki meraih tubuh Ruri ke dalam pelukannya. Dia tidak peduli lagi apa yang akan terjadi di masa depan. Saat itu dia ingin memeluk tubuh terkasih itu sepanjang waktu. 

Dengan frustasi dia melumat bibir Ruri dengan ciuman yang dalam dan panjang. Ciumannya begitu penuh pemujaan. Lidah keduanya saling membelit dan mengisap dengan begitu rakus. Lidah Daiki membelai rongga mulut Ruri dengan lambat seolah ingin menikmatinya.

Jemari Ruri membelai dada keras Daiki dan mengelus puncak dada Daiki. Terdengar geraman pria itu di rongga mulutnya. Sementara itu, tangan Daiki mengelus leher Ruri dan turun pada kancing-kancing kemeja wanita itu.

Mereka saling melepas ciuman untuk menghirup udara agar masuk ke rongga dada dan saling bertatapan. Napas keduanya saling memburu ketika jari jemari Daiki mulai membuka satu persatu kancing kemeja Ruri.

Daiki melihat kulit tubuh Ruri yang cokelat susu. Melihat payudara penuh di balik bra berwarna krem berenda serta perut yang ramping. Dilemparnya kemeja itu jauh-jauh dan menempelkan telapak tangannya di atas perut rata itu. Matanya tak lepas pada sepasang mata bening itu.

Wajah Ruri merona karena gairah, dia merasakan panasnya telapak tangan Daiki di atas kulit perutnya. Daiki menempelkan dahinya pada dahi Ruri. Dia berbisik serak.

"Apa kau yakin dengan ini?" Suara Daiki sarat oleh gairah. Napasnya menerpa wajah Ruri.

Sebagai jawaban, dengan lambat jari-jari Ruri bergerak membuka resleting celana jeans Daiki. Dia membiarkan resteling itu terbuka dan meraih wajah Daiki. Dia balas berbisik di atas bibir itu.

"Aku ingin kau menyentuhku," dengan gerakan cepat dia membuka kaitan branya dan kini Daiki melihat bagaimana indahnya payudara Ruri menerpa pupil matanya.

Daiki kembali melumat bibir sensual itu dan terus menciumi sepanjang rahang dan dagu wanita itu. Bibirnya terus meluncur turun ke sepanjang leher jenjang itu dan lidahnya menggoda lekuk leher itu.

Ruri sudah setengah berbaring di sofa itu ketika bibir Daiki berada tepat di atas dadanya. Napas panas pria itu menyapu puting payudaranya yang menegang. Dia memejamkan matanya ketika bagaimana dengan lembut dan hati-hati Daiki mengulum puting payudaranya dengan gerakan maju mundur seperti bayi menyusui sementara tangan pria itu yang bebas membelai dan meremas lembut payudara yang satunya lagi. Ruri mengerang dan melengkungkan punggungnya dan mencengkram rambut Daiki agar pria itu lebih dalam menciumi payudaranya yang kini terasa begitu panas berada di rongga mulut Daiki.

Ruri mendesah ketika dengan berirama Daiki meremas payudaranya dan memainkan putingnya dengan ibu jari dan telunjuk pria itu. Membangkitkan gairah Ruri.

Daiki seakan mabuk mencium aroma tubuh Ruri. Lidahnya menggoda puting payudara Ruri yang tegang dan mengisapnya. Dia melumat dan menggigit pelan puting payudara itu dan menjilat sehingga menggelenyar. Setelah itu Daiki beralih pada payudara satunya lagi dan melakukan hal yang sama. Dia memainkan puting payudara Ruri yang sudah menantinya. Sementara jari Daiki yang bebas kini turun ke arah pinggang celana linen Ruri. Dia membuka resleting itu dan melepaskan mulutnya dari payudara dan menatap wajah Ruri yang merona.

Ruri sudah tak sanggup lagi berpikir. Dia hanya bisa mengangguk ketika Daiki menarik lepas celana linenya. Kemudian dia melihat bagaimana bibir Daiki bermain di atas perut ratanya, lidah pria itu memainkan pusarnya yang membuat bulu kuduk Ruri meremang.

Bibir Daiki menemukan tali celana dalam Ruri dan dengan perlahan dia menarik lepas perlindungan terakhir wanita itu. Ruri begitu indah dalam ketelanjangnya.

Ruri merasakan udara dingin AC menerpa tubuh polosnya. Dia tahu dia sudah tidak mengenakan selempar benang pun di tubuhnya. Dia memejamkan matanya ketika melihat Daiki melepas celana jeans dan celana dalam. Didengarnya suara parau Daiki di dekat bibirnya.

"Lihat aku, Ruri-chan," bisik Daiki.

Ruri membuka mata dan dia melihat Daiki yang keras dan tegang. Pria itu sangat jantan dan indah membuat jantung Ruri nyaris melompat.

"Kau indah.." Ruri mencetuskan apa yang ada dalam benaknya begitu saja.

Daiki tersenyum dan berada di atas Ruri. Bibirnya mengulum bibir Ruri yang merah basah. "Kau yang indah," jari Daiki yang ramping itu membelai daerah sensitif Ruri yang hangat. Jari itu membuat gerakan lambat di seputar daerah sensitif Ruri sebelum memasukinya. Ruri menahan napasnya ketika sebuah jari Daiki memasuki dirinya yang terdalam.

Daiki melumat bibir Ruri sementara jarinya bergerak pelan di dalam kehangatan tak berbatas milik Ruri. Jarinya bergerak secara berirama di klitoris membangkitkan gairah Ruri.

Suara erangan keluar dari celah bibir Ruri ketika merasakan kenikmatan yang dilakukan jari Daiki yang berada di dalam dirinya. Ruri mendesah ketika Daiki menyentuh pusat nikmatnya dan gerakan jari pria itu semakin cepat.

"Ahh...ah....." tubuh Ruri bergetar dan tanpa sadar melebarkan kedua pahanya memberi ruang lebih luas bagi jari Daiki di dalam tubuhnya.

Daiki sendiri terengah dan menyadari bahwa Ruri hampir mencapai orgasme, dia bisa merasakan jarinya yang basah dan kesiapan Ruri menyambut dirinya. Di antara gairah itulah, Daiki mengeluarkan jarinya dan memposisikan dirinya di atas Ruri.

Sebelum dia memasuki Ruri, dia berkata pelan. "Jika sakit, kau boleh menghentikanku."

Ruri mengangguk dan merasakan bagaimana Daiki menyentuhkan miliknya pada bibir sensitifnya sebelum masuk dengan pelan. Dia terkesiap saat merasakan milik Daiki yang tegang dan keras memasuki dirinya. Daiki bergerak pelan dan terus memasuki diri Ruri yang sempit. Dia mencium Ruri ketika mulai mempercepat irama gerakannya.

Ruri menahan jeritannya ketika Daiki menambah kecepatan gerakan miliknya di dalam tubuhnya. Airmatanya mengalir tanpa diminta dan dia mencengkram punggung Daiki untuk menahan rasa sakit yang luar biasa ketika Daiki terus bergerak semakin dalam untuk menembus dirinya.

Rasa sakit dan nikmat berbaur menjadi satu membuat Ruri menggigit bibirnya. Melihat airmata Ruri yang bercucuran, Daiki nyaris menarik dirinya namun Ruri menekan kukunya yang runcing di punggung Daiki.

"Teruskan! Aku tidak apa-apa..."ucap Ruri parau.

Daiki kembali mencium bibir Ruri seraya berbisik lembut. "Sebentar lagi..." dan ketika Daiki mempercepat gerakannya, ada sesuatu yang berhasil ditembus. Dan Ruri merasakan semburan cairan hangat memenuhi dirinya.

Daiki dan Ruri menyerukan nama masing-masing sebelum terkapar puas di atas sofa. Keringat membanjiri tubuh keduanya.

Segalanya bagai benang yang terurai dengan perlahan membuka bendungan yang selama ini tertahan. Sentuhan kulit dan kulit, hati dan hati serta genggaman jemari membuktikan cinta mereka yang selama ini bernaung di hati masing-masing selama belasan tahun. Semuanya meledak hari itu membuat Ruri mau pun Daiki tunduk akan apa yang disebut cinta.

"Lihat aku, Ruri", bisik Daiki parau. Dia bisa melihat airmata menggenang di pelupuk mata lentik itu dan dia memeluk erat tubuh Ruri yang gemetar. "Aku mencintaimu". Dan dimulailah semuanya.

Dengan mencengkram lengan kokoh itu, Ruri berkata sama pada Daiki dengan senyumnya yang paling menawan. "Aku lebih mencintaimu".