Mamoru menatap gelang emas putih yang melingkari pergelangan tangannya. Gelang itu pemberian Junichi ketika pria itu mengangkatnya sebagai adik. Itulah tanda bahwa pria itu mengikatnya. Tapi bagi Mamoru, tanpa itu pun dia akan berada di samping Junichi. Dia berhutang budi pada pria itu. Dia hanya bisa membalas kebaikan itu dengan menjadi orang terpercaya Junichi. Menjadi orang yang berada di belakang Junichi untuk menjaga pria itu. Itulah arti nama "MAMORU" yang diberikan Junichi. Dia sudah membuang jauh nama aslinya.
"Apa semuanya berjalan lancar?"
Terdengar suara Junichi memecah lamunan masa lalu Mamoru. Dia menoleh ke belakang di mana Junichi menatapnya dengan senyum.
"Semua sesuai yang kau inginkan, Junichi-sama," jawab Mamoru. Tanpa sadar dia melayangkan pandangannya pada sosok yang duduk di sebelah Junichi.
Sayuri menatapnya dengan matanya yang sinis. Wanita itu memalingkan wajahnya ketika Mamoru menatapnya.
****
Ruri dan Naoko bergembira di sebuah karaoke yang terdapat di area Shibuya. Kelompok sosialita itu menguras semua Yen yang ada di dompet Naoko. Ruri tertawa melihat mimik menyedihkan Naoko.
"Tenang saja..jika kau kurang, aku akan menambahnya," bisik Ruri.
Naoko tersenyum lebar. Dia memeluk lengan Ruri dan menunjuk teman-teman mereka dengan bibirnya. "Mereka memang berniat menguras dompetku sejak lama. Mereka menjadikanmu taruhan agar aku kalah."
Ruri meneguk vodkanya dan tersenyum pada Naoko. "Seharusnya kau setuju pada pendapat mereka."
Naoko memutar bola matanya. Dia memainkan ujung gelasnya. "Aku tak pernah berhenti berharap bahwa kau tidak lagi kabur dari altarmu makanya aku berkata demikian." Naoko mengangkat matanya. "Dari dulu aku penasaran. Mengapa kau bisa kabur begitu?"
Suara nyanyian sumbang dari para wanita itu nyaris menenggelamkan pertanyaan Naoko. Tapi Ruri dapat mendengar dengan jelas sehingga tanpa sadar pipinya merona.
Naoko memajukan wajahnya dan menyentuh ujung hidung Ruri. "Wajahmu merona? Apa ada yang tidak kuketahui tentang hatimu?"
Ruri menepis jari Naoko dan segera meraih buku daftar lagu. Naoko tertawa pelan. Ketika Ruri asyik menyusuri daftar lagu, ponsel Naoko berdering.
Wanita itu melihat nama yang muncul dan langsung panik. Nama Hideo terpampang jelas dan membuatnya berlari keluar dari ruang karaoke.
Naoko menjawab panggilan Hideo di toilet wanita. "Hallo..." Naoko bersuara sok ceria. Berdoa agar suara hingar bingar klub karaoke itu sudah teredam. Tapi suara di seberang terdengar marah.
"Kau di mana sekarang?" - Suara Hideo.
"Oooo....aku sedang di toko Ruri..."
"Naoko Abe! Jika ingin berbohong, belajarlah lagi. Aku dan Daiki berada tepat di depan klub karaoke tempat kau bersama Ruri!" - Suara Hideo.
Tanpa menunggu lanjutan kalimat pria itu, Naoko sudah memutuskan percakapan. Dia menyumpah dirinya sendiri yang ternyata mengaktifkan GPSnya sehingga Hideo menemukan di mana dia berada. Dengan berlari dia keluar dari toilet dan menuju ruang karaoke yang dibookingnya.
Ruri tengah bernyanyi ketika dia diseret Naoko keluar dari ruangan. Suara-suara protes terdengar mendengung seperti lebah. Sambil menutup pintu, Naoko menjawab mereka di dalam. "Tenang saja..semua akan kubayar di depan. Oke!" Dengan kasar Naoko menutup pintu dan setengah menyeret Ruri menuju lift.
"Apa-apaan ini Nao?" Ruri bertanya heran melihat Naoko begitu panik di dalam lift.
"Hideo di bawah." Jawaban Naoko yang seperti kehilangan semangat membuat Ruri terbahak.
"Ku tebak pasti GPSmu sedang aktif!"
Naoko menepuk dahinya. Dia menoleh Ruri dengan memohon. "Dia pasti marah besar padaku. Aku sudah berjanji tidak akan mendatangi karaoke mana pun. Ruri, kau bisa menjelaskannyakan?"
Mau tak mau Ruri melebarkan tawanya sehingga deretan gigi putihnya tampak. Dia tahu bahwa Hideo melarang keras Naoko berkeliaran di klub karaoke seperti dulu, karena dulu sewaktu Hideo dan Naoko mulai dekat, pria itu pernah menemukan Naoko menjadi penyanyi sebuah klub karaoke dan duduk menemani para pria gendut hidung belang. Ketika itu Hideo sedang investigasi kasus penggelapan dana hiburan bersama Daiki. Saat itu juga Hideo menyeret Naoko keluar dan menyatakan cintanya. Bila ingat hal itu, Ruri bisa tertawa keras.
"Jangan tertawa, Ruri!"gerutu Naoko.
Ruri mengusap airmatanya dan berusaha menghentikan tawanya. Mereka kini berjalan menuju lobi. Ruri dapat melihat bayangan dua orang pria berdiri di depan pintu kaca klub dan suasana ramai Shibuya di luar sana.
Ruri merangkul bahu Naoko. "Tenang saja.." dia mendorong pintu lobi klub dan melihat langsung Daiki dan Hideo berdiri di sana. Hideo menatap mereka dengan tatapan penuh teguran dan bercakak pinggang.
Daiki yang mundur dua langkah di belakang Hideo menunjukkan gerakan berdoa sambil nyengir.
Melihat tampang Hideo, Naoko bersembunyi di belakang punggung Ruri yang tinggi. Dia menunduk dan berusaha tidak terlihat oleh Hideo.
"Ah..Hideo-san.." Ruri menyapa dengan nada girang tapi disambut dengan semburan nada kesal dari Hideo.
"Apa yang kalian lakukan di sini!!" bentak Hideo, pertanyaan itu lebih ditujukan pada Naoko yang mengkerut di belakang punggung Ruri.
Ruri dan Naoko bersamaan menutup matanya mendengar bentakan itu. Ruri cepat memulihkan dirinya dan menatap Hideo. "Hideo-san*..kau membentak kami. Semua tidak sama yang ada di pikiranmu."
Hideo mengerutkan keningnya. Dia menunjuk klub karaoke di belakang kedua wanita itu.
"Apa?! Kalau di dalam sana tentu kalian bernyanyi dan bersenang-senang dengan lelaki hidung belang! Apa kalian sama sekali tidak punya otak?!"
Daiki menyentuh bahu Hideo. "Senpai...ikat lidahmu..." bisiknya menenangkan.
Tapi Ruri sudah marah dituduh seperti itu. Dia maju ke depan Hideo dan menunjuk batang hidung pria itu. "Hidungmu yang belang! Kami terpaksa ke sini karena diseret teman-teman kami yang menang taruhan atas Naoko! Sebenarnya Naoko tidak mau ke sini tapi dia kalah taruhan. Kaukan tahu apa itu taruhan? Kau pasti juga pernah melakukannya dalam hidupmu. Apa pernah ada pilihan jika kita kalah taruhan? Tidak ada! Kau datang-datang marah seperti itu! Seluruh uang Naoko sudah habis dirampok mereka di dalam sana, kau masih saja mengomel persis perempuan!"
Hideo terbelalak mendengar kalimat penuh amarah dari Ruri. Dia tidak bisa membalas kata-kata wanita itu dan hanya bisa menatap Naoko yang masih bersembunyi di balik punggung Ruri.
Daiki mendengus menahan tawanya. Melihat Hideo hanya terpaku mendengar omelannya, Ruri membalikkan tubuhnya dan menyeret Naoko untuk kembali ke dalam klub.
"Maaf..."
Langkah keduanya terhenti saat mendengar suara Hideo. Naoko cepat menoleh dan mengguncang lengan Ruri. Ruri menoleh Hideo dan mencibir.
"Bicara apa barusan!" tukasnya ketus.
Hideo menggaruk kepalanya. "Maaf..aku tak ingin melihat kalian berdua berada di dalam sana. Aku tidak bisa membayangkan Naoko berada di sana lagi. Aku cemburu."
Sebenarnya Ruri menahan rasa geli hatinya mendengar kalimat yang keluar barusan dari mulut seorang pria pendiam seperti Hideo. Tapi dia berlagak angkuh dan sama sekali tidak peduli. Naoko tidak tahan untuk tidak memeluk Hideo. Dia melepaskan genggamannya pada tangan Ruri dan berlari ke arah Hideo.
Ruri ternganga melihat dua orang itu justru berlenggang pergi di depan batang hidungnya. Terdengar Daiki tertawa ngakak dan mengacak rambut Ruri.
"Kau tahu istilah pacaran yang overdosis? Merekalah orangnya."
Ruri memajukan mulutnya. "Aku baru mendengar istilah itu," sindirnya sambil berjalan menyusuri jalanan Shibuya.
"Istilah itu aku yang membuatnya," Daiki nyengir.
Ruri menyilangkan tangannya di belakang dan mendongak menatap Daiki. "Apa kita juga akan pulang?"
Daiki menatap Ruri. Dia mengangkat bahunya. "Apa kau mau pulang? Kalau begitu kita naik busway. Hideo senpai tentu sudah membawa mobil dan meninggalkan kita. Atau kau membawa mobilmu?"
Ruri menggeleng. "Aku dan Naoko tidak mengendarai mobil ke sini. Aku belum mau pulang," jawab Ruri. Matanya intens menatap Daiki. Jantungnya berdebar melihat pria itu. Rambut pria itu tampak berantakan dan wajahya tampak letih. Dia bisa melihat pistol membayang di balik jaket kulitnya. Meski begitu Daiki justru terlihat tampan dan jantan.
Daiki terpaku melihat Ruri begitu lekat menatapnya. Seolah segala hiruk pikuk Shibuya lenyap seketika ketika tatapan mereka saling berpangut. Daiki seolah bisa mendengar detak jantungnya di telinganya sendiri.
Tiba-tiba tangan Ruri terulur ke depan dan memegang pipi Daiki. Pria itu terlalu kaget akan sentuhan itu dan hanya sanggup terpaku.
Ruri membelai pipi Daiki yang putih dan kini terasa hangat di telapak tangannya. Ruri menyentuh kulit itu dengan lembut. "Kau tampak berantakan, Daiki. Apakah kasus itu telah membuatmu begini?" ucap Ruri pelan.
Daiki menahan napasnya ketika Ruri menyentuh kulit wajahnya yang terasa panas. Dia bisa menatap manik mata bening itu begitu dekat. Sudah cukup lama mereka tidak bersentuhan seintens itu. Sejak mereka beranjak remaja, Daiki mulai menjaga jaraknya untuk tidak terlalu sering menyentuh Ruri. Karena dia tahu apa yang terjadi pada setiap jengkal tubuhnya sendiri jika dia menyentuh wanita itu.
Tanpa sadar Daiki memegang tangan Ruri yang melekat pada pipinya. Digenggamnya dengan erat dan matanya tak lepas menatap wanita cantik itu. Entah sejak kapan dia melihat Ruri begitu matang menjadi seorang wanita.
Ruri terdiam ketika merasakan bagaimana Daiki menggengam tangannya dan melepaskannya dengan perlahan.
"Aku baik-baik saja," ucap Daiki lembut. "Jika kau tak ingin pulang, kita akan berjalan-jalan di Shibuya."
Ruri merasakan betapa kini tangannya telah menjauhi wajah tampan itu. Namun Daiki masih menggenggamnya. Di dalam hatinya justru menjawab ucapan pria itu. Karena aku masih ingin bersamamu.
Ruri tersenyum lebar dan menarik lepas tangannya dengan halus. "Aku ingin melihat perayaan festival musim semi sambil memakan gula-gula. Setelah itu aku ingin makan ramen."
Ketika musim itu berjalan, sepanjang hari Shibuya dipadati pengunjung. Diskon besar-besaran di tiap toko serta pertunjukan bermacam atraksi yang diadakan serta pawai karnaval yang akan mengelilingi sepajang Shibuya.

Ketika masa kanak-kanak Daiki dan Ruri selalu datang ke Shibuya untuk melihat festival musim semi. Takao tak pernah absen membawa keduanya menikmati segala permainan anak-anak di sana. Setelah beranjak dewasa dan meninggalnya Sakura, kebiasaan itu perlahan menghilang. Takao lebih banyak menghabiskan masa tuanya di rumah penuh kenangan Sakura di Koto sementara Daiki dan Ruri begitu sibuk dengan pekerjaan masing-masing.
Ruri merindukan masa itu dan tak ingin melewatkan kesempatan itu. Dia bisa bersama Daiki menikmati festival musim semi.
Daiki juga merindukan hal sama dan ketika Ruri mengatakan keinginannya, dia langsung melangkah dengan bersemangat.
Mereka seolah kembali ke masa kecil mereka. Saling berlarian di antara kepadatan pejalan kaki, tertawa dan bermain tangkap ikan di kolam anak-anak. Ruri memakan gula-gulanya yang besar dan berambut lembut berwarna merah muda. Seolah segalanya baik-baik saja.
Mereka juga mendatangi warung ramen kesukaan mereka ketika kecil. Berjumpa dengan paman pemilik warung dan memakan dua mangkuk masing-masing. Paman tua itu memeluk keduanya dan berseru girang.
"Lihat! Kalian berdua tumbuh dewasa dan begitu sempurna. Aku sudah begini tua." Senyuman Paman itu membuat Ruri teringat Takao.
"Kau belum terlalu tua, Paman," hiburnya.
"Dan ramenmu sama sekali tidak berubah." Daiki menyeruput ramennya dan mengacungkan jempol.
Paman itu tertawa dan menepuk bahu Daiki. "Kalian begitu terlihat sehat dan muda. Apakah kalian sudah memberikan menantu yang baik untuk ayah kalian?"
Daiki dan Ruri terdiam. Mereka saling berpandangan dan menggeleng bersamaan.
"Tidak ada gadis yang mau dengan detektif gila kerja sepertiku, Paman," gelak Daiki.
Ruri tertawa dan menyambung. "Dan tidak ada pria yang akan mau bersama wanita yang selalu kabur di altar pengantinnya."
Keduanya tergelak membuat paman itu meninggalkan meja mereka. Kemudian Ruri menatap Daiki dengan senyum terkulum.
"Ternyata kita begitu menyedihkan." Ruri mengangkat kedua bahunya dan kembali memakan ramen.
Daiki menatap Ruri yang makan dengan diam. "Apa kau ingin ikut aku ke Koto? Ada beberapa hal yang ingin kuketahui tentang kasus 19 tahun lalu pada ayah." Daiki menanti reaksi Ruri mendengar kasus ibunya dibicarakan. Daiki masih menyembunyikan penemuan terbaru tentang pemilik Bank Asing London yang menaungi Bank Asing Saitama adalah pria tua yang memiliki nama yang sama dengan nama ayah wanita itu. Meskipun gambar wajah pria itu tidak sempat didapatnya kerena dia lengah dari hacker yang merebut jaringannya, tapi dalam hatinya yakin bahwa pria itu adalah Kenji Fujita, ayah kandung Ruri.
Tapi Ruri terlihat tegar dan mengangguk. Dia menghabiskan ramennya dan memiringkan kepalanya. "Tentu saja. Kapan kau akan pergi? Kurasa aku juga akan melakukan sesuatu di bengkelku."
"Akhir minggu ini. Mungkin sekitar dua hari aku mengambil ijin dari kepolisian. Apakah ada order lampu?"
Ruri terbayang sketsa lampu yang barusan dibuatnya tadi. Sejenak wajahnya merona lalu dia teringat tentang kontrak kerja sama yang ditawarkan oleh perusahaan interior terkenal di London.
"Ah..aku harus membuat contoh lampu untuk kontrak kerja sama yang baru saja kuterima," sahut Ruri cepat, dalam hati dia menyambung. Aku harus segera mengirim kata ' ya ' pada tawaran mereka di email.
Setelah makan ramen, keduanya menonton karnaval yang melintasi sepanjang jalanan Shibuya. Padatnya yang menonton membuat mereka saling berdesakan. Seorang anak lelaki berlarian di antara kepadatan itu dan tidak sengaja mendorong Ruri k ebelakang.
Tubuh Ruri terdorong kuat ke belakang dan menghantam sesuatu yang keras. Secara reflek Daiki cepat memeluk tubuh Ruri ke dalam dekapannya.
"Dasar anak nakal sialan!" umpat Daiki geram.
Ruri merasakan bagaimana lengan kokoh itu memeluknya dengan protektif dan hangat. Suara jantung Daiki terdengar jelas di telinganya berlomba dengan suara detak jantungnya. Aroma maskulin pria itu membelai tubuhnya. Sudah begitu lama mereka tidak berpelukan seperti itu. Waktu kecil mereka sangat sering berpelukan sehingga kerap kali Ruri membenci waktu membuat mereka menjadi dewasa.
Daiki merasakan tubuh lembut Ruri berada di pelukannya. Keadaan yang riuh dan padat itu membuat orang-orang tidak peduli dengan sekeliling mereka. Daiki memejamkan matanya dan sejenak mengetatkan pelukannya. Andai saja mereka seterusnya menjadi anak kecil. Tidak ada norma yang menghalangi mereka seperti ini. Tapi waktu menjadikan mereka dewasa dan itu membuat Daiki menghela napas.
Dia melepas pelukannya dan menjauhkan Ruri selengan di depannya. "Ayo kita pulang."
****
Sayuri dan Junichi bersama Mamoru melakukan makan malam mewah di salah satu restoran mewah di pusat kota Tokyo. Sebenarnya setelah makan, Junichi ingin mengajak Sayuri melihat rumah lamanya di kawasan Azabu yang merupakan daerah elit di Tokyo. Namun Sayuri menolak dengan alasan lelah dari perjalanan jauh dan meminta diantar pulang ke penthouse mereka di Hiboo.
"Kau bisa melakukan apapun di sini tanpa membawaku," senyum Sayuri manis. Dia memberi tanda agar Junichi membiarkannya sendirian dan memberi ijin pria itu bersenang-senang di luar sana.
Tapi Junichi ingin membahas sesuatu bersama Mamoru dan menunda keinginannya bersenang-senang di pusat kota Tokyo. Junichi mengecup leher jenjang Sayuri -dia begitu kecanduan mencium area leher Sayuri, dengan begitu dia bisa menghirup aroma manis tubuh tunangannya- dan berkata serak.
"Tidak. Aku akan kembali ke penthouse bersamamu. Ada sesuatu yang ingin kubicarakan dengan Mamoru."
Mamoru yang menyetir memandang kedua orang yang duduk di bangku penumpang melalui spion dalam. Kembali tatapannya bersirobok dengan Sayuri dan kali ini wanita itu tidak melepas tatapan dinginnya pada Mamoru. Tapi dengan terpaksa Mamoru yang mengalihkam matanya jika mereka tidak ingin celaka. Mamoru mencengkram kuat setirnya saat mendengar bagaimana Junichi bersuara mesra pada Sayuri. Dia tahu itu bukan urusannya namun dia tak bisa menutup telinganya begitu saja.
Kali ini Sayuri tidak menolak Junichi menciumnya di dalam mobil. Junichi sendiri merasa kaget sekaligus senang mendapati Sayuri merespon cumbuannya.
Ketika bibir Junichi beranjak naik ke bibir indah tunangannya, Sayuri menyambut ciuman itu.
Seketika Junichi mendapat angin dan menambah intensitas ciumannya dan tangannya bergerak membelai Sayuri yang membuat wanita itu mengeluarkan suara seperti tercekik.
Ketika hasrat Junichi mulai beranjak naik, tiba-tiba mobil terhenti mendadak. Mamoru mengerem dengan tiba-tiba membuat Junichi menjauhkan dirinya dari Sayuri dan membentak Mamoru.
"Ada apa?!"
"Tidak....Ada mobil yang menikung tiba-tiba. Maaf." Mamoru cepat menjawab dan menjalankan kembali mobilnya.
Gairah Junichi menyurut seketika. Dia menoleh Sayuri dan melihat wanita itu sedang merapikan rambutnya. Junichi menyentuh pipi yang tiba-tiba menjadi dingin itu.
"Maafkan aku. Benar-benar merusak suasana saja," keluh Junichi dan menyandarkan punggungnya di sandaran kursi.
Suasana mobil yang cukup gelap sama sekali tidak dapat diduga Junichi bahwa betapa pucatnya wajah Sayuri. Dia memeluk erat tubuhnya sendiri dengan tubuh gemetar. Bibirnya masih terasa sakit akibat ciuman Junichi dan tubuhnya yang disentuh Junichi terasa sangat tidak nyaman. Dia merasa jijik dan menggigil. Dia terlalu mengambil resiko, umpatnya dalam hati.
Tapi Mamoru melihat itu dari balik spion. Dia melihat bagaimana Sayuri menggigil di dalam gelap dan dia semakin dalam menekan gas.
Junichi menatap bagaimana Mamoru mulai meretas jaringan kepolisian Tokyo dan masuk dengan sandi. Dia duduk bersandar sambil memegang gelas winenya dan mulai membiarkan pikirannya mengembara.
Awal mulanya dia menemukan keberadaan anak kandung Kenji Fujita dari sebuah pesta yang tak terduga. Selama ini dia dan ayahnya, Shinobu Kimura merasa tenang bahwa anak kecil yang menjadi saksi mata pembunuhan isteri Kenji sudah lama mati di lautan Odaiba.
Namun informasi tak terduga justru muncul setelah bertahun-tahun kemudian, sekitar 3 tahun lalu. Saat itu dia dan Sayuri diundang sebuah pesta koktail di Hollywood di rumah seorang pengusaha kaya di sana. James Roland merupakan rekan bisnis Junichi dalam merampas perusahaan-perusahaan kecil yang ada di Asia.
Ketika itu Nyonya Roland membanggakan lampu kristalnya yang megah dan cantik yang tergantung anggun di langit-langit ruang tamunya. Wanita itu memuji desain lampu itu setinggi langit serta dollar yang dikeluarkannya. Awalnya Junichi hanya mendengar masa bodoh sampai Sayuri terlihat tertarik sewaktu Nyonya Roland bercerita tentang designer lampunya yang berbakat. Bahkan nyonya itu mengeluarkan rekomendasi pada para wanita di pesta itu untuk mengunjungi situs online desiner lampu tersebut.
Karena Sayuri begitu tertarik, Junichi mulai bertanya iseng. "Apakah memiliki brand?"
"Of course! R.U.R.I adalah brandnya. Design lampunya sangat meluas di Amerika dan Eropa! Dia memasarkannya melalui online. Kau bisa memeriksanya di situs resminya."
Sekembali dari pesta tersebut, Junichi membuka situs web tersebut dan mendapati bisnis lampu yang dijalankan sang designer sangat berkembang. Wanita itu mendesain dan membuatnya sendiri bahkan menerima pesanan berdasarkan imajinasi pelanggan.
Rasa penasarannya tergugah ketika mengetahui bahwa designer lampu itu adalah wanita asli Jepang. Dia semakin jauh membuka situs tersebut dan menemukan profil sang designer.
Terlihat beberapa foto tentang diri designer bersama hasil karya dan data diri. Saat menatap wajah cantik itulah Junichi seolah terhenyak ke masa lalu. Raut wajah cantik dan lembut itu mengingatkannya akan seseorang. Seseorang yang sudah sangat lama. Seseorang yang mempunyai sinar mata yang sama. Seseorang yang...Junichi menepuk meja kerjanya. Gambaran sekelumit wajah wanita muda di masa lalu menghentak benak Junichi. Wanita muda yang kurus dan memberikan tubuhnya sebagai perisai bagi suaminya yang bejat. Wanita yang mati sia-sia.
"Tidak mungkin anak itu! Dia sudah mati di laut." Untuk memastikan hal tersebut Junichi menghubungi Mamoru yang ketika itu sedang menjadi mahasiswa tingkat akhir di Universitas Washington DC. Dia memberikan alamat situs produk R.U.R.I dan meminta malam itu juga mendapatkan semua info tentang wanita itu. Dan seperti yang diharapkannnya, dalam satu jam data tersebut sudah dikirim Mamoru melalui email.
Designer lampu yang cantik itu adalah Ruri Fujita, anak wali dari pasangan Takao Watanabe dan Sakura. Anak yang ditemukan oleh sang detektif dari dalam sebuah lemari pakaian. Anak kandung dari Akemi Kondoo yang terbunuh.
"Semua data yang kau inginkan ada disini, Junichi-sama." Mamoru menyerahkan beberapa lembar berkas yang baru saja di printnya dari sistem Kepolisian tokyo yang diretasnya.
Junichi meraih beberapa lembaran itu dan membaca dengan kening berkerut. Dia menatap Mamoru. "Marga mereka mengingatkanku akan seseorang?"
Mamoru meneguk winenya dan duduk dengan tenang. "Daiki Watanabe dan Hideo Katoo. Keduanya adalah anak dari detektif Takao Watanabe dan detektif Yoshio Katoo. Dua detektif senior yang dibebas tugaskan dari kasus pembunuhan Akemi Kondoo atau Kasus Nyonya Fujita. Keduanya merupakan detektif muda di bawah divisi cyber crime dan salah satu di antara merekalah yang melawanku ketika berada di jaringan Jiro Miura. Seperti yang kau ketahui dari berita bahwa kini kasus pembunuhan Akemi Kondoo kembali dibuka bersamaan dengan kasus Bank Asing Saitama. Dan kedua detektif ini masuk dalam tim penyidik."
Junichi mengelus dagunya. Dia menatap wajah kedua detektif tersebut ketika Mamoru kembali bersuara. "Detektif Daiki Watanabe adalah putra kandung Detektif Takao Watanabe. Itu artinya dia dan Ruri Fujita saling berhubungan."
Junichi menatap Mamoru. Pria muda itu mengangkat alisnya. Junichi mengepalkan tinjunya. "Dan masalah keparat tua itu?"
"Kenji Fujita masih belum menyadari bahwa kita semakin mendekatinya. Biarkan dulu dia merasa drop dengan pengalihan Bank Asing Saitama serta pembunuhan itu."
Junichi terbahak keras. Dia bangkit berdiri dan menepuk bahu Mamoru. "Aku selalu tahu bahwa mengandalkanmu adalah hal yang tepat. Dekati Ruri Fujita. Buat dia percaya penuh padamu. Dan untuk Kenji, hancurkan pelan-pelan semua Bank Asing miliknya. Dia harus mengembalikan harta milik ayahku. Dia juga harus membayar apa yang sudah diambilnya dari ibuku." Wajah Junichi berubah gelap dan bengis, kemudian dalam hitungan detik wajah itu tersenyum begitu tampan.
Tanpa sadar Mamoru bergidik. Dari dulu dia sudah tahu bahwa pria di depannya ini memiliki hati yang keji. Namun baru kali ini dia melihat kebengisan yang tidak wajar.
Junichi membuka jasnya dan melonggarkan dasinya. "Kau ingin ikut aku ke klub? Aku butuh sesuatu yang segar."
Mamoru memahami arti segar yang dikatakan Junichi. Artinya pria itu butuh wanita saat itu juga. Mamoru menggeleng dengan tersenyum lebar.
"Tidak...kau saja. Aku juga ingin segera pulang ke apartemen." Dia menolak ajakan Junichi dengan halus dan menatap bagaimana pria itu mengedipkan matanya dan menghilang di balik lift rahasia di ruang kerjanya.

Mamoru menghela napas dan mematikan komputer serta lampu kamar. Dia keluar dari kamar itu dan seluruh inderanya bekerja dengan cepat. Dia melihat sosok yang menyelinap dari balik pintu rahasia ruang kerja Mamoru.
Sayuri memang memasang telinganya di balik dinding buku yang tertutup tirai ketika Junichi dan Mamoru berbicara. Dia memutuskan segera berlalu ketika mendengar suara Junichi yang menghilang ke dalam lift rahasianya.
Saat itulah pergelangan tangannya dicengkram seseorang dan menekan punggungnya di dinding dingin di belakangnya. Matanya terbelalak ketika melihat Mamoru yang menekannya di dinding.
"Onee-san!" Sangking kagetnya, Mamoru mencetuskan panggilan itu kepada Sayuri. "Apa yang kau lakukan disini?"
Sayuri memalingkan wajahnya. Dia berusaha melepaskan cengkraman tangannya. "Lepaskan aku!" desis Sayuri sengit.
Mamoru menatap wajah cantik yang dingin itu di bawah temaram lampu lorong. Sayuri masih begitu cantik dan anggun. Tubuh ramping itu begitu mulus di balik gaun tidur tipisnya. Mamoru teringat apa yang terjadi di dalam mobil tadi. Sebelah tangannya yang bebas terulur dan mengelus garis pipi wanita itu.
"Kau sengaja melakukannyakan? Tadi..di mobil," ucap Mamoru halus.
Sayuri menoleh Mamoru dan menatap marah. "Jangan sentuh aku!"
"Kau melakukannya untuk menunjukkan padaku betapa kau sedang marah padaku kan?" bisik Mamoru tepat di depan bibir Sayuri. Tanpa mampu ditolak oleh Sayuri, Mamoru menyapukan bibirnya pada bibir Sayuri.
Napas keduanya saling berbaur dalam keremangan malam itu. Sayuri menggigit bibirnya. "Kau berubah Hozy Mori!"
Mamoru menjawab dan tatapannya mengeras. "Hozy Mori sudah lama mati! Sekarang hanya ada Mamoru!"
Sayuri melihat wajah tampan Mamoru tepat di depan wajahnya. Bibir pria itu masih menempel di bibirnya. Dadanya begitu sesak dan mendorong dada bidang itu dengan keras.
"Kalian sedang berencana jahat terhadap seseorang kan? Dan aku membenci itu!"
Sayuri bergerak hendak berlalu tapi sekali lagi tubuhnya tersandar di dinding. Mamoru tampak menunduk dan berkata lirih. "Jangan membenciku."
Sayuri bisa melihat dengan jelas kepala yang tertunduk itu. Dia mendorong bahu Mamoru dengan pelan. "Lepaskan aku!" Dan dengan lemah, Mamoru membiarkan Sayuri berlalu.
****
Daiki dan Ruri berada di busway menuju apartemen Ruri. Ruri menatap luar jendela dan melihat Daiki melalui pantulan kaca. Mereka tidak mengeluarkan sepatah kata pun. Dan tanpa disadari apartemen Ruri sudah di depan mata.
Daiki mengantar Ruri hingga di depan pintu apartemen wanita itu. "Kau yakin sendirian di apartmen?"
Ruri tertawa. "Aku bukan seorang penakut. Kejadian beberapa hari ini memang membuatku sedikit shock tapi aku bisa melewatinya."
Daiki tersenyum dan mengacak rambut Ruri. "Aku pulang." Daiki membalikkan tubuhnya dan langkahnya terhenti ketika ujung jaketnya ditarik Ruri.
"Ruri...?"
Ruri memegang erat ujung jaket Daiki. Dia menatap pria itu dengan penasaran. "Apa selamanya kau akan menganggapku sebagai adik kecilmu, Daiki?"

Daiki terpaku mendengar kalimat Ruri. Dia bisa mendengar suara dengung panjang di telinganya. Suara Ruri terdengar putus asa dan menurutkan hatinya, Daiki ingin sekali meraih Ruri dalam pelukannya dan berkata pada wanita itu betapa dia tidak pernah lagi menganggapnya sebagai adik kecilnya. Tapi Daiki sekuat tenaga menahan keinginan itu. Di depan matanya terhampar beban berat yang dihadapinya. Dia harus menuntaskan kasus pembunuhan Akemi Kondoo. Dia harus menahan hasrat memiliki Ruri.
Daiki melepaskan pegangan Ruri pada ujung jaketnya. Dia menunduk dan merangkum wajah itu di tangannya.
"Kau tahu betapa berartinya dirimu bagiku. Jadi kau tak perlu bertanya lagi." Daiki tahu dia memberi jawaban yang gamang untuk Ruri. Dia berharap wanita itu mengerti maksudnya.
Tapi Ruri cukup keras kepala. Dia kembali mencengkram ujung jaket Daiki dan maju selangkah. "Tapi mengapa kau tidak mau lagi memelukku?"
Daiki terdiam. Mengapa? Karena sekali aku menyentuhmu, segala predikat saudara yang kita bina selama 19 tahun akan runtuh berganti dengan hasrat pria dan wanita yang selama ini kutahan. Haruskah aku mengatakannya?, Daiki berbicara dalam hati dengan frustasi.
"Seharusnya kau mengerti.."
"Tidak! Aku tidak mengerti! Aku...aku..selalu merasa kau menjaga jarak denganku sejak kita beranjak remaja. Hingga kini kau semakin sulit kujangkau!"
"Ruri, aku tidak pernah menjaga jarak denganmu!" bantah Daiki. Dadanya mulai berdebar kencang.
"Ya..kau mulai menjaga jarak sejak aku mengalami masa remaja. Persis seperti percakapanmu malam itu dengan Hideo-san!"
"Kau tidak mengerti sama sekali!" Daiki berteriak di depan Ruri membuat wanita itu tersentak kaget dengan wajah pucat. Dengan lemas Ruri melepaskan tangannya dari ujung jaket Daiki.
Daiki sendiri kaget dengan suaranya sendiri. Dia menyesal telah membentak wanita yang paling dicintainya. Melihat wajah pucat Ruri, Daiki seolah membuka trauma Ruri akan kekerasan yang dilihatnya semasa kecil.
Ruri membalikkan tubuhnya dan segera masuk ke apartemennya. Daiki cepat menahan pintu yang nyaris tertutup oleh Ruri. "Sial!"desis Daiki sambil menerobos masuk.
Ruri sudah menghilang ke kamarnya dan sebelum wanita itu mengunci pintu kamarnya, Daiki cepat masuk dan mendapati Ruri menelungkup di atas ranjangnya
Daiki melihat bagaimana kedua bahu Ruri berguncang turun naik oleh tangis. Daiki mengusap wajahnya dan melangkah pelan mendekati ranjang. Dia menekuk lututnya di tepi ranjang dan mencoba membalikkan tubuh Ruri.
"Pergi! Kau sudah cukup jelas menjawab pertanyaanku." Ruri mengedikkan bahunya yang disentuh Daiki.
Dengan lembut Daiki beranjak naik ke ranjang dan memeluk tubuh yang menelungkup itu dengan penuh kasih sayang.
Ruri terdiam ketika merasakan hangat tubuh Daiki di punggungnya. Dia bisa merasakan embusan napas hangat pria itu di samping daun telinganya.
"Tidak. Kau tidak pernah mengerti bagaimana kerasnya aku berjuang menahan untuk tidak menyentuhmu. Kau tidak pernah mengerti bagaimana kerasnya aku bertahan akan rasa sakit tiap kali melihatmu berjalan menuju altar meski pun akhirnya kau selalu kabur. Kau tidak pernah tahu bahwa sekali aku menyentuhmu, aku tidak lagi menginginkanmu sebagai adik tapi menginginkanmu sebagai wanita seutuhnya."
Ruri berusaha membalikkan tubuhnya dan Daiki segera duduk menghadap Ruri yang kini telah duduk pula. Wajah wanita itu penuh airmata.
"Apa arti semua kalimat itu?" ucap Ruri pelan. Dia masih terisak.
Daiki memejamkan matanya sejenak. Dia sudah mengungkapkan isi hatinya. Dia tidak mungkin mundur lagi. Tangannya terulur menyentuh wajah Ruri. Ibu jarinya mengusap linangan airmata yang mengalir turun. Di tariknya pelan wajah terindah itu.
Bibir Daiki sudah sangat dekat dengan bibir Ruri. "Apa aku mesti mengatakannya bahwa aku menginginkanmu sebagai wanita seutuhnya?" Daiki berbisik halus tepat di atas bibir Ruri.