Chereads / RUNAWAY BRIDE (JAPAN VERSION) / Chapter 14 - Bab 13

Chapter 14 - Bab 13

Bibir Daiki menempel di atas bibir Ruri yang ranum. Waktu seakan berhenti saat itu. Kedua pasang mata saling berpangutan dan baik Ruri mau pun Daiki sama-sama menanti dengan tegang.

Tapi Daiki menyadari segalanya, dia tidak sanggup lagi menutupi semuanya lebih lama. Kasus pembunuhan yang masih diliputi teka-teki membuat beban hatinya begitu berat. Keinginan untuk menjaga Ruri menjadi lebih kuat membuat Daiki tak bisa menghindari lagi akan perasaan cinta terpendamnya selama ini.

Ruri merasakan bibir hangat yang jantan itu menempel diam di bibirnya. Daiki menantinya dan dengan lambat Ruri membuka bibirnya. Dan semuanya pun terjadi. Ruri merasakan sebuah ciuman panjang yang diberikan oleh Daiki yang membuatnya nyaris menahan napasnya dan tubuhnya seketika melemah dalam pelukan pria itu.

Seolah tanda bagi Daiki, bibir pria itu menyesap pelan bibir lembut yang terbuka itu. Ruri memejamkan matanya ketika bibir Daiki mulai menjelajah hati-hati sudut bibirnya.

Daiki menyesap pelan bibir bawah Ruri sebelum melumat mesra bibir yang kini terbuka dengan pasrah. Bagai sebuah menemukan oasisnya, Daiki melumat dan mengulum bibir itu dengan penuh penghargaan. Ciumannya lembut namun menuntut, memberi namun meminta. Lidahnya membelai lembut lidah Ruri dan membelitnya dengan gairah yang meledak.

Ruri menyambut ciuman panas itu dengan sama panasnya. Lidahnya balas membelit lidah Daiki. Pria itu terdengar menggeram seksi dan semakin dalam mencium bibir Ruri yang kini mulai membengkak.

Tangan Daiki mengelus leher jenjang Ruri dan tanpa sadar dia mendorong tubuh lembut itu pada sandaran ranjang. Dan semakin memperketat ciumannya yang posesif, Daiki seolah begitu tak puasnya menikmati bibir Ruri. Lidahnya mengisap lidah Ruri dan membelai rongga mulut hangat milik wanita itu.

Ruri merasakan kerasnya sandaran ranjang di punggungnya. Merasakan jemari panas Daiki membelai lehernya. Sesuatu yang hangat menerpa kulitnya dan meninggalkan jejak di sana yang tidak akan hilang dalam sekejab. Dan kini dirasakannya juga betapa kini bibir pria itu mulai menelusuri garis rahangnya dan menyusuri lehernya. Daiki menggigit pelan sisi leher Ruri dan mengisapnya lembut sehingga meninggalkan tanda kemerahan samar di sana.

Daiki menghentikan sejenak ciumannya pada bibir Ruri. Bibirnya sama sekali tidak berjarak sejengkal pun dari bibir yang kini begitu merah akibat perbuatannya.

"Tidak bisa. Kita tidak bisa begini, Ruri," Daiki terengah oleh gairahnya sendiri. Dia merasakan dirinya akan meladak dan dia tidak ingin itu terjadi. Ruri terlalu berbahaya. Respon wanita itu membuatnya tidak mampu berpikir yang lainnya.

Napas Ruri yang memburu menerpa hangat wajah Daiki. Ruri melihat sepasang mata pekat milik Daiki tampak berkabut oleh gairah. Ruri terengah dan jemari lentiknya membelai dada Daiki di balik T-Shirt putihnya. Dia membuka lepas jaket kulit pria itu. Dan dia bebas menyentuh dada keras Daiki.

Daiki berada tepat di antara kaki Ruri yang terangkat sebelah. Meski samar, Ruri dapat merasakan milik Daiki di balik jeans itu begitu keras menempel pada bagian segitiga miliknya yang ditutupi celana linen.

Bibir Daiki beranjak naik pada bibir Ruri yang membengkak dan sekali lagi melumatnya dengan bergairah. Dia mendesah ketika merasakan belaian lembut jemari Ruri pada dadanya yang keras. Daiki menghentikan sejenak ciumannya pada bibir Ruri. Bibirnya sama sekali tidak berjarak sejengkal pun dari bibir yang kini begitu merah akibat ciumannya.

Ruri mencengkram erat bagian dada T-Shirt Daiki dari jaket kuit yang barusan dilepasnya. Napas wanita itu sama memburunya seperti Daiki. Ruri masih merasakan betapa tangan pria itu masih berada di lehernya, membelai sepanjang leher.

"Mengapa?" Ruri berbisik serak di atas.

"Sekali aku menyentuhmu, aku tak bisa berhenti menyentuhmu, Ruri!" Daiki mengeluh dan mencoba menjauhi wajahnya.

Daiki melihat wajah Ruri berkilauan, wanita itu terlihat begitu menggairahkan dengan rambut panjangnya yang kusut dan sepasang bibirnya yang bengkak.

Daiki menarik napas dan menghembuskannya perlahan ke udara. Dia mengusap wajahnya dan menatap Ruri. Dia merapikan rambut kusut wanita itu seraya berkata pelan.

"Maaf.." dengan gerakan kilat dia turun dari ranjang dan meraih jaket kulitnya. Dikenakannya benda itu sambil berjalan cepat menuju ke luar kamar.

Melihat Daiki memilih untuk berlalu, Ruri melompat dari ranjang dan berlari mengejar Daiki.

"Daiki-kun! Apa ini artinya aku sama sekali tidak berarti bagimu? Lalu..ciuman tadi?" Ruri bertanya gelisah.

Daiki menghentikan langkahnya dan berdiri diam. Dia menjawab Ruri tanpa emosi. "Kau sangat berarti bagiku.."

"Mengapa minta maaf?" tuntut Ruri ngotot. Melihat punggung lebar itu tampak tegang, Ruri maju selangkah. Tangannya menyentuh punggung Daiki. "Aku mencintaimu, Daiki-kun...tidak sebagai saudara.."

Tiba-tiba Ruri tersentak ketika merasakan punggungnya tersandar di dinding. Lebih kaget lagi ketika menyadari bahwa kini Daiki sudah melumat habis-habisan bibirnya. Kedua tangannya dicengkram oleh pria itu di atas kepalanya sementara tangan lainnya yang bebas bergerak membelai leher dan menyapu ringan dadanya. Di antara ciuman yang menuntut itu, Ruri merasakan bagaimana jemari Daiki menyusup ke balik kemejanya dan membelai lembut kulit perutnya membuat Ruri mengerang.

Bibir Daiki memenjaranya. Pria itu menempelkan tubuh mereka begitu dekat sehingga Ruri bisa merasakan diri pria itu. Tangan Daiki membelai Ruri dan kini turun mengelus paha wanita itu.

Di sela ciumannya, Daiki menggumam geram. "Ini yang kukatakan. Sekali aku menyentuhmu, aku tak pernah bisa berhenti. Selama ini aku bertahan atas cinta terpendamku padamu selama belasan tahun. Tapi malam ini kau menuntutku untuk mengakuinya," desis Daiki tajam.

Ruri menahan napas dan menatap manik mata pekat milik Daiki. Pria itu tampak begitu jantan dan panas. Bahkan dirinya sendiri begitu menginginkan sentuhan Daiki di atas kulitnya.

"Kalau denganmu...aku menginginkannya." Jawaban Ruri membuat Daiki ternganga. Membuat dia menghentikan gerakan tangannya membelai tubuh Ruri.

Dia menjauhkan wajahnya dan melepas cengkraman tangannya pada kedua tangan wanita itu. Wajah Ruri terlihat merona ketika menjawab gertakannya.

"Aku mendengar tadi kau mengaku mencintaiku selama belasan tahun ini."

Daiki mengusap wajahnya. "Iya. Aku mencintaimu! Tapi aku tak ingin menyentuhmu karena.."

"Karena kita akan meledak oleh gairah kita sendiri? Begitu?" tanya Ruri menantang.

Daiki memalingkan wajahnya dengan semburat merah di pipinya. Ruri meraih wajah itu dan menariknya mendekati wajahnya. Dikecupnya bibir itu seraya berbisik.

"Daiki-kun, kau memang pria unik." Senyum Ruri. "Saat kau menyentuhku seperti tadi, aku begitu menginginkanmu sama sepertimu."

"Ruri..kasus pembunuhan ibumu masih penuh teka teki. Aku yakin kau mulai tidak aman. Aku khawatir aku lengah menjagamu. Kita sedang dibayangi bahaya yang aku sendiri tidak tahu apa itu. Aku tidak berani..."

"Tidak malam ini. Aku tahu pikiranmu." Ruri tersenyum. "Paling tidak kau sudah mengakuinya padaku."

Daiki menghela napas. Dia tahu bahwa tadi gairahnya telah tersulut. Keinginan untuk memeluk tubuh Ruri begitu besar memenuhi benaknya. Hanya karena akal sehatnya sajalah yang masih sisa sedikit itu mampu menahannya. Kalau tidak, mungkin dia sudah merobek kemeja Ruri. Dia menggelengkan kepalanya. Otak ini ternyata mesum juga, umpat Daiki dalam hati.

"Aku harus segera pulang." Daiki mundur selangkah dan siap berlalu ketika suara Ruri menghentikannya.

"Bagaimana dengan perkembangan kasusmu? Apakah yang membunuh pembunuh ibuku sudah ditemukan?"

Daiki menatap Ruri. Ingatan akan sebuah nama yang ditemuinya di jaringan Jiro Miura mengusik hati Daiki. Tapi dia hanya bisa menggelengkan kepalanya.

"Belum. Aku sedang mempelajari CCTV yang terekam malam itu dan akan menelusuri semua toko pizza yang ada di Tokyo."

Ruri membelalakkan matanya. "Yang benar saja? Toko pizza di Tokyo begitu banyak!"

Daiki menarik resleting jaketnya. "Tapi mereka semua memiliki logo berbeda di tiap toko." Daiki sangat mengingat bentuk logo yang ada di jaket pengantar pizza misterius itu. Dia yakin bahwa pembunuh Jiro Miura adalah pengantar pizza tersebut karena potongan kertas keras yang ada di tong sampah dan telah diteliti oleh analisis bukti, benda itu adalah potongan dari kotak pizza.

Daiki mengecup ringan pipi Ruri dan tersenyum. "Aku pulang."

Ruri mengunci pintu apartemennya dan masih ada senyum di bibirnya. Dia berjalan menuju dapur untuk mengambil air mineral dingin di lemari pendingin. Pada kaca di atas wastafel, dia melihat sebuah tanda kecil kemerahan di lehernya yang berdenyut. Disentuhnya tanda itu dan jantungnya berdebar. Daiki telah meninggalkan jejaknya di tubuhnya. Ruri duduk di kursi sambil memeluk botol mineral dingin. Dia tersenyum bahagia dan berpikir akan tidur dengan nyenyak malam itu.