Soni dan Fatma menoleh ke arah datangnya suara, terlihat wajah Brian yang pucat menjadi sedikit menggelap karena amarah. Soni yang tahu jika sepupunya itu sedang marah, langsung terdiam dan tidak berani memandang Fatma lagi. Fatma mengerutkan dahinya mendengar ucapan Brian.
" Siapa yang akan kamu buat buta?" tanya Fatma heran mendengar Brian yang tadinya masih pingsan tiba-tiba siuman dan marah-marah.
" Tidak ada!" jawab Brian pelan. Fatma mengambil bubur yang dibawa Isma.
" Terima kasih, mbak Isma!" kata Fatma.
" Iya, Nyonya! Saya permisi!" kata Isma dan pergi meninggalkan kamar Tuannya, lalu Isma meletakkan bubur itu di atas nakas.
" Apa dia baik-baik saja, dokter?" tanya Fatma pada Soni.
" Apa maksudmu, Za? Tentu aku baik-baik saja!" sahut Brian.
" Dokter?" tanya Fatma tidak menghiraukan suaminya.
" Dia baik-baik saja, Zahirah!" jawab Soni.
" Sejak kapan kamu memanggilnya seperti itu?" tanya Brian marah.
" Lalu dia harus memanggilku apa?" tanya Fatma yang sedikit kesal sama Brian.
" Zaaa!" rengek Brian. Soni yang melihat tingkah Brian tertegun dengan mata melotot, apa gue nggak salah lihat? Apa bener itu lo? Benar-benar ajaib! Seorang Brian yang sangat angkuh dan memandang tinggi dirinya, bisa seperti itu? batin Soni.
" Jangan manja!" sahut Fatma. Soni hampir saja tertawa jika saja dia tidak ingat kalau sepupunya sedang menatapnya. Dia langsung menyadarkan dirinya sebelum terjadi sesuatu pada hidupnya.
" Kalau begitu saya permisi dulu! Jika ada apa-apa..."
" Tidak akan terjadi apa-apa! Pergilah!" usir Brian tegas memotong kata-kata Soni.
" Huh! Apa lo nggak bisa sedikit sopan? Gue kesini juga karna meriksa lo yang sakit!" kata Soni sebel tanpa melihat Brian, karena dia takut melihat wajah sepupunya saat ini.
" Maafkan dia, dokter! Dia nggak bermaksud untuk..."
" Aku memang mengusirnya, Za!" potong Brian.
" Kamu..."
" Sudahlah, Za...maaf! Nyonya Manaf! Tidak apa-apa!" kata Soni.
" Jangan memanggil saya seperti itu, dokter! Panggil saya Zahirah saja!" kata Fatma dengan tersenyum.
" Tidak!" sahut Brian.
" Hentikan Tuan Brian!" kata Fatma tegas. Brian hanya cemberut mendengar ucapan istrinya. Soni sekali lagi melotot melihat semua adegan itu. Gue harus memberitahu keluarga tentang ini.
" Jangan sekali-sekali lo lakukan apa yang ada dipikiran lo! Ato lo akan tahu akibatnya!" kata Brian datar. Sial! Tahu aja dia isi pikiran gue! batin Soni kesal.
" Memangnya kamu dukun bisa tahu isi pikiran orang?" tanya Fatma heran.
" Tidak apa-apa! Dia memang seperti itu! Kamu harus extra sabar!" tutur Soni.
" Sekali lagi maaf, dokter! Dan trima kasih!" ucap Fatma pada Soni, Soni tersenyum meski dia tahu jika Brian pasti akan marah. Dasar suami pencemburu! batin Soni lalu pergi meninggalkan mereka berdua.
" Kenapa kamu marah-marah seperti itu? Sangat tidak sopan!" kata Fatma.
" Dia tidak berhenti menatapmu, Za! Aku tidak suka ada yang melihatmu seperti itu!" jawab Brian manja.
" Tapi dia sepupumu!" sahut Fatma.
" Tapi aku sangat cemburu, Za!" kata Brian cemberut. Fatma sudah mengira jika suaminya sedang cemburu buta, dia tersenyum dalam hati karena dia tahu jika Brian pasti sayang padanya. Tapi dia bergidik, bagaimana jika mereka sudah sah menjadi suami istri dan Fatma bertemu dengan pria yang menatapnya? Fatma tidak ingin membayangkan semua itu.
" Sudahlah! Makanlah bubur itu!" kata Fatma sambil menunjuk ke atas nakas.
" Suapi!" jawab Brian memandang istrinya dengan tatapan manja. Dasar Manja! Sudah tua juga! batin Fatma tertawa.
" Baiklah!" jawab Fatma. Brian duduk bersandar di kepala ranjang dan Fatma duduk di sebelahnya sambil membawa mangkok bubur yang masih agak panas. Fatma mengambil kipas dari dalam tasnya dan mengipasi sebentar bubur itu.
" Kenapa tidak kamu tiup saja?" tanya Brian.
" Tidak boleh meniup makanan dengan mulut, karena bisa menimbulkan penyakit di lambung!" jawab Fatma.
" Bacalah do'a dulu!" kata Fatma setelah merasa jika buburnya bisa dimakan.
" Sudah, Za!" jawab Brian. Dengan sabar Fatma menyuapi Brian sedikit demi sedikit sampai habis. Selama makan Brian menatap istrinya itu dengan tersenyum dan penuh kerinduan. Fatma sedikit salah tingkah saat menyadari jika Brian menatapnya tanpa berpaling, tapi dia mencoba untuk menekan perasaan itu. Dia tidak mau jika sampai Brian tahu kalau dirinya gugup.
" Sudah baca do'a?" tanya Fatma setelah Brian selesai makan dan membersihkan mulutnya dengan tissue.
" Sudah!" jawab Brian.
" Minumlah obat ini!" kata Fatma memberikan obat dan segelas air pada Brian. Brian melakukan apa yang diperintahkan istrinya dengan patuh. Fatma akan beranjak dari ranjang untuk membawa mangkok ke bawah, saat Brian memegang tangan Fatma.
" Duduklah dulu! Ada yang ingin aku katakan!" kata Brian. Dengan cepat Fatma menepis tangan Brian spontan, Brian sedikit terkejut begitu juga dengan Fatma, hampir saja mangkok yang dibawa Fatma terjatuh. Fatma tersadar, tidak seharusnya dia menepis tangan suaminya, tapi semua sudah terjadi.
" Kita shalat Dzuhur dulu! Apa kamu kuat?" tanya Fatma.
" Iya!" jawab Brian. Fatma turun kebawah untuk meletakkan mangkok di dapur kemudian naik lagi untuk melakukan shalat dzuhur di mushalla secara berjama'ah dengan Brian. Fatma mencium punggung tangan kanan suaminya setelah selesai shalat, dingin sekali! batin Fatma, dengan berani dia melihat wajah Brian, keringat dingin keluar dari wajah Brian.
" Apa kamu baik-baik saja?" tanya Fatma menundukkan wajahnya.
" Aku sedikit pusing dan mual!" jawab Brian.
" Kenapa memaksakan shalat disini?" tanya Fatma.
" Aku ingin shalat berjamaah denganmu!" jawab Brian.
" Tapi nggak harus disini! Kita bisa melakukannya dikamar!" jawab Fatma. Brian memang belum tahu tentang hal ini, yang dia tahu jika ingin shalat kalau tidak di mushalla ya di masjid. Sejak dia ditangkap, pelajarannya jadi terhambat.
" Apakah boleh?" tanya Brian menatap Fatma lekat.
" Tentu saja! Yang penting tempat itu harus bersih dan suci!" jawab Fatma. Kemudian mereka kembali ke kamar dengan berjalan perlahan karena Brian yang sedikit pusing dan mual. Brian berbaring di atas ranjang dan Fatma duduk di sofa.
" Apa yang ingin kamu katakan?" tanya Fatma. Brian menghela nafas dan memandang istrinya dengan lembut.
" Kenapa waktu itu kamu pergi?" tanya Brian.
" Aku mendapat pesan jika kamu bersalah atas kasusmu!" jawab Fatma.
" Boleh aku tahu dari siapa?" tanya Brian.
" Tidak perlu kamu tahu!" jawab Fatma.
" Bukankah menurut Islam seorang istri harus percaya pada suaminya?" tanya Brian. Fatma tahu jika Brian akan mengatakan hal itu.
" Memang benar! Tapi jika suaminya adalah seorang yang jujur!" jawab Fatma.
" Apakah menurutmu aku adalah seorang pembohong?" tanya Brian.
" Aku tidak tahu! Kita belum begitu mengenal!" jawab Fatma santai.
" Apakah orang yang mengirimmu pesan telah mengenalmu dengan baik?" tanya Brian. Astaghfirullah! Dia menjebakku dengan kata-kata lembutnya! batin Fatma.
" Sudah aku katakan kamu tidak perlu tahu!" kata Fatma.
" Apakah Arkan?" tanya Brian. Fatma akan membuka mulutnya saat Brian berkata,
" Atau Nabil!" kata Brian, seketika Fatma terkejut akan tebakan Brian. Dia tidak menyangka jika Brian akan menyebutkan Nabil.
" Aku akan menceritakan kejadiannya Za! Setelah itu kamu boleh mengambil keputusan akan meminta talak dariku atau menikah secara sah denganku!" tutur Brian. Fatma terdiam, jantungnya berdebar kencang, batinnya bertarung.