Aku dan Bimo berjalan bersama menuju jalan yang tadi ditunjuk olehnya, namun tidak ada siapapun disini. Aku duduk dan bersandar pada sebuah pohon, aku masih merasa agak lelah karena aksiku bersama troll dan hampir 'dilamar' oleh peri wanita tadi. Bimo ikut duduk di sebelahku.
"Tadi mereka benar-benar disini, Yod."
Aku setengah mendengarkan dan tidak perkataan Bimo, pikiranku masih menerawang tentang ayahku yang kulihat tadi. Kenapa dia lari dariku dan bahkan dua kali bahaya menantiku setiap aku mengikutinya, bertemu makhluk jelek yang ingin membuatku gepeng dan makhluk cantik yang ingin membawaku menghilang dari dunia ini. Aku berusaha menjernihkan pikiranku, yang harus aku pikirkan saat ini adalah menemukan Kinanti dan semoga nanti aku bertemu ayahku lagi.
"Yodha, kau masih memikirkan ayahmu yang kau lihat tadi? Memang kau yakin itu benar dia?"
Aku menoleh pada Bimo dengan lesu.
"Tentu saja, Bimo. Meski sudah lama tidak melihatnya, aku yakin itu dia, wajah dan pakaiannya bahkan persis seperti di dalam foto di buku catatan — tunggu!" tiba-tiba aku menyadari sesuatu.
Aku merogoh sakuku dan aku tidak menemukan apa yang kucari, buku catatan pemberian Nick.
"Kau mencari apa, Yod?"
"Bimo, kau tahu, kan, kalau di dalam buku catatan itu ada foto ayahku dan Nick? Dan buku itu terjatuh di dunia ini tapi entah dimana."
"Lalu apa kau menyadari sesuatu?"
"Firr Darrig, Bimo. Firr Darrig!"
Asal tahu saja, peri yang kusebutkan tadi punya keahlian menyamar menjadi siapa saja dan hampir sempurna. Entah bagaimana dia melakukannya dengan sihir atau kemampuan menyamar seperti agen mata-mata Mission Imposible — aku belum terlalu tahu cara dia melakukannya — dia bisa menjelma menjadi siapapun dan menipu. Dia adalah badut alam yang konyol dan menyebalkan.
"Jadi menurutmu badut itu melihat foto ayahmu dari bukumu yang terjatuh dan menipumu? Karena harusnya wajahnya lebih tua dan kenapa juga pakaiannya sama persis, begitu, kan?"
"Benar, Bimo. Hei, kau terlihat lebih pintar sekarang, Bimo. Bukan seperti kau yang biasanya."
Aku menatapnya dengan tatapan curiga karena firr darrig bisa menjadi siapa saja, begitu juga Bimo yang menatapku dengan pandangan aneh, lalu tiba-tiba dia terkekeh dan..
"BOOO!"
Bimo berteriak di depanku sambil mengangkat kedua tangannya, matanya melotot dan menyeringai.
"Hahaha. Yodha, kau mencurigai aku adalah firr darrig? Ini benar-benar aku," Bimo lalu terus-terusan tertawa lalu menatapku kembali. "Jangan-jangan kau bukan Yodha?"
Kini malah Bimo yang menatapku dengan curiga, dan akupun tersenyum.
"Bodoh, aku sudah tahu kalau itu kau. Jika aku curiga, aku tidak akan bilang kau terlihat lain dan pura-pura mempercayaimu," kataku.
Bimo dan aku tertawa pelan bersama. Aku sudah mengenal Bimo sejak lama, jika firr darrig sekalipun menyamar menjadi dia, aku pasti akan segera tahu, kurasa begitu juga Bimo, dia mungkin satu-satunya orang yang paling paham tentang aku. Tapi kadang Bimo orangnya sulit ditebak, dia bodoh namun sewaktu-waktu bisa terlihat sangat pintar bahkan keputusannya sering memberiku jalan untuk menguak misteri. Bahkan aku beberapa kali mendapati wajahnya yang terlihat berbeda saat dia berpikir, begitu tenang dan serius, tidak seperti biasanya yang terlihat sok tahu sambil menggaruk dagu.
Kami lalu bangkit berdiri bersamaan dan melihat sekitar.
"Jadi bagaimana, Yod? Kita cari buku harianmu dulu atau Kinanti?"
"Tentu saja Kinanti dan Ibe, Bimo."
"Syukurlah kau menjawab begitu. Aku mencemaskannya."
"Ya, aku juga."
Kami memutuskan untuk berjalan mengikuti jalan tadi dan menuju ke arah yang kami yakini itu adalah depan — arah yang kami tuju.
"Berarti badut itu cukup pintar, ya," kata Bimo.
"Kenapa?"
"Ya, jika dia bodoh maka kau akan melihat ayahmu yang berwarna hitam putih seperti di foto."
Aku melirik Bimo dan sangat ingin tertawa karena ini memang lucu, tapi — seperti biasa — aku menahannya.
"Ya, dia pintar, Bimo. Yang harus kita khawatirkan lawan kita kali ini bisa menjadi siapapun, jika kita nanti bertemu Kinanti atau Ibe, kita harus berhati-hati."
Pepohonan yang mengapit jalan yang kami lewati semakin rapat dan lebat, sehingga jalan terlihat semakin gelap karena dedaunan dari dahan-dahan pohon menghalangi sinar bulan biru yang seperti mata dan terus mengawasi apapun yang terjadi di dunia peri ini. Suara-suara yang tadi tidak terdengar pun kini bisa kami tangkap dengan telinga, ada suara berisik seperti serangga malam, suara sendu seperti nyanyian wanita yang mengerikan, dan suara keramaian seperti kerumunan dari kejauhan.
Sraak! Sraak!
Sebuah suara gesekan terdengar dari balik pohon yang gelap, sebuah langkah seperti sesuatu yang diseret dan membuat kami waspada. Suara itu terdengar kembali dan membuat langkah kami terhenti.
Bruk!
Sesuatu tiba-tiba meloncat dari balik pohon dan kini berada di tengah jalan di depan kami. Diam, tak bergerak, hanya terlihat siluet hitam seperti gundukan benda atau bayangan kura-kura. Aku dan Bimo menghampirinya dan ternyata itu adalah tas ransel milik Kinanti.
Kami berpandangan dan menoleh ke arah tadi benda ini 'meloncat'. Lalu sebuah bayangan muncul dari kegelapan dan menyergap kami.
"Dor!"
Dia berteriak hingga membuat Bimo kaget dan terjengkang, aku juga kaget tapi tidak sampai seperti Bimo yang bodoh itu. Ternyata itu Kinanti yang lalu tertawa cekikikan seperti setan.
"Oh, ternyata kau," kata Bimo yang lalu berusaha bangkit.
"Kalian lucu sekali saat ketakutan," kata Kinanti yang masih tertawa.
"Aku sih tidak," jawabku.
Jika saja dia bukan wanita, ingin kupukul kepalanya, jantungku hampir copot tadi
"Kau tadi kemana? Aku kan menyuruhnu menunggu, kenapa kau menghilang?" kata Bimo.
"Kau yang tidak kembali, kami menunggumu lama tadi," jawab Kinanti. "Dan kau, Luk, darimana saja kau?"
"Aneh sekali, aku kembali ke jalan tadi tapi kau tidak ada dan..." jawab Bimo tapi lalu dia diam saat aku mendekat dan berbisik padanya.
"Ingat, Bimo. Jangan percaya apa yang kau lihat, bisa saja dia bukan Kinan," kataku pada Bimo. Meski pelan, kurasa Kinanti pun bisa mendengarnya, terlihat dari wajahnya yang menampakkan kebingungan melihat tingkah kami.
"Kau lihat tingkahnya tadi yang seperti badut dengan menakuti kita dan tertawa?" kataku lagi sambil terus melihat Kinanti begitu juga Bimo yang memperhatikan wanita itu dari ujung rambut sampai ujung kaki.
"Ya, ya. Kau benar, Yodha. Meski gelap, aku masih bisa melihat kalau sepertinya dia terlihat lebih gendut," kata Bimo.
"Hei! Apa-apaan kalian? Bimo, apa maksudmu mengataiku gendut?!" kata Kinanti sambil menunjuk ke arah Bimo.
"Lihat! Lihat! Badut kalau sudah marah terlihat lebih mengerikan, ya," kataku.
Bug!
Kinanti maju dan meninju perutku dan membuatku membungkuk.
"Badut, kepalamu!"
"Uhuk! Ya, aku yakin kau benar-benar Kinan,"
Yah, siapa lagi wanita yang brutal melebihi troll kalau bukan dia. Kinanti berkacak pinggang sedangkan Bimo tertawa terpingkal-pingkal sambil memegang perutnya.
Jduk!
"Aduuh."
Kinanti menendang lutut Bimo dan membuatnya berjongkok.
"Itu karena mengataiku gendut. Sebenarnya akan kupukul perutmu tapi kau memegangnya," kata Kinanti yang lalu memungut tasnya.
"Lalu dimana Ibe?" tanyaku.
"Dia tadi di belakangku," jawab Kinanti.
Tak lama sosok Ibe muncul dari kegelapan dan menghampiri kami.
"Bagus, semuanya sudah berkumpul kembali dan di depan kita adalah pintu keluar dari jalan kematian ini," kata Ibe.
Kami memutuskan berjalan sambil bergandengan tangan agar tidak berpisah seperti usulku, Bimo dengan semangat menyetujuinya dan kini dia sedang memegang tangan Kinanti. Ya, bisa dibayangkan seperti apa ekspresi wajah Bimo karena itu.
Benar kata Ibe, hanya beberapa saat kini kami telah keluar dari hutan dan terlihat terang oleh cahaya bulan biru. Namun tentu saja, kami masih harus melewati jalan lain lagi. Kini beberapa puluh meter di depan kami terdapat sebuah jurang lebar yang menganga, bagai bibir raksasa dengan ukuran tak terbatas yang menengadah ke langit. Ada sebuah jembatan gantung dari tali dan papan-papan kayu menggantung di atas jurang, menghubungkan tanah tempat kami berdiri dengan tempat lain di seberang sana.
"Tempat apalagi ini?" tanya Kinanti.
"Tentu saja desa peri yang lain lagi," jawab Ibe. "Oh, ya, kurasa ini milikmu."
Ibe menyerahkan sesuatu padaku, buku catatanku yang hilang. Aku menerimanya dan kulihat kancingnya sudah terbuka.
"Terimakasih, Sobat," kataku.
"Bukan masalah," jawab Ibe.
"Coba lihat dulu dalamnya, Yod, apakah masih komplit atau tidak," kata Bimo sambil mendekat padaku.
"Memangnya kau kira itu dompet," kata Kinanti dan membuat Bimo hanya nyengir kuda.
Tapi entah kenapa aku pun membuka buku catatan itu, dan kupandangi dengan lekat foto ayahku bersama Nick yang ada di lembar kedua buku itu. Tak kusangka seekor makhluk bodoh mempermainkan emosiku dengan menemuiku menggunakan wajah ayahku. Cahaya bulan yang biru menyinari wajah ayahku di dalam foto, tersenyum padaku seolah wajahnya bersinar dan memberikan semangat padaku untuk menemukannya.
"Yod, ada yang aneh, kau tak lihat?" kata Bimo tiba-tiba sudah berada di sampingku dan ternyata ikut memperhatikan foto itu.
Dia menunjuk di sudut kanan bawah foto yang menempel dan memang terlihat menyala biru. Tadinya kukira itu hanya cahaya pantulan dari bulan, tapi di sudut sebelah bawah ini terlihat lebih terang dan hanya seperti garis tipis beberapa senti saja, aku tak menyangka Bimo bisa secermat itu.
Aku lalu membalik lembaran yang tertempel foto ayahku itu untuk melihat halaman di sisi belakangnya, dan yang kulihat membuatku terkejut. Terlihat dengan jelas di bawah sinar bulan biru sebuah gambar simbol yang tadinya tidak ada disana, simbol singa yang berkali-kali kami temui itu menyala biru tergambar di atas kertas.
"Wow, bagaimana bisa seperti itu?" tanya Bimo.
"Entahlah, kurasa ini seperti kita melihat uang kertas dengan sinar ultraviolet, sedangkan ini bereaksi dengan sinar bulan di dunia peri ini."
Aku lalu membalik halaman selanjutnya, ternyata banyak terdapat pesan-pesan tersembunyi yang lain, dan di halaman- halaman selanjutnya pula. Bahkan pesan-pesan itu masih terlihat jelas di lembar-lembar yang sudah kugunakan untuk menulis, menyala biru dan terlihat indah.
Apakah ini pesan-pesan tersembunyi dari ayahku? Lalu kenapa harus di dunia peri agar bisa membacanya? Ayah, apa sebenarnya yang ingin kau sampaikan dan kau sembunyikan?
...