Lagash, pria berwajah khas Timur Tengah ini terus melangkahkan kaki memimpin jalan kami. Dia seolah tak ingin menjawab kebingungan kami yang harus kembali ke jalan kematian ini.
"Kita tidak salah jalan, kan?" tanya Bimo.
"Sudah, ikuti dia saja, Bimo," jawab Kinanti. "Tadi tidak ada pilihan lain selain melewati lorong itu."
"Ya, memang begitu. Mungkin kita perlu bergandengan tangan lagi, Kinanti," kata Bimo.
"Tidak usah!" jawab Kinanti dengan cepat.
"Oh, oke."
Kami mengikuti Lagash dengan terus memperhatikannya agar tidak tersesat. Rupanya jalan ini memang tidak hanya satu jalan, kami berjalan berkelok-kelok melalui kolam-kolam dan pepohonan, dan tidak berselang beberapa lama, kami tiba di sebuah tempat terbuka dan terdapat sebuah bangunan yang besar.
Bangunan itu terbuat dari batu-batu hitam yang sebagian tertutup oleh lumut kelabu. Jangan bayangkan jika seperti candi, itu seperti sebuah piramid Suku Maya kuno dengan puncak datar tetapi tidak ada tangga untuk menuju ke atas. Di bagian puncak bangunan terdapat sebuah benda bening besar berbentuk kubus yang bercahaya memantulkan sinar bulan biru dengan sangat terang. Di depan ada sebuah pintu besar seperti gerbang yang bentuknya menyeramkan, membentuk sebuah wajah manusia tua dengan mata terpejam, berjenggot dan berkumis lebat yang bergelombang bagai ombak dengan mulut menganga, mulut itulah pintu untuk masuk ke dalam bangunan itu. Dan wajah yang terpahat sebagai gerbang itu, tidak salah lagi adalah wajah Erlkonig, sang raja peri.
"Kita sudah sampai," kata Lagash. "Dan lihatlah! Itu siapa."
Rupanya Redcap dan Ibe sudah berada di sana, berdiri di depan mulut wajah Erlkonig dengan wajah masam. Dia berkali-kali mengumpat dengan marah dan memukul-mukulkan tongkatnya ke wajah batu raja peri. Sebuah gelombang seperti tembok air berwarna-warni muncul di lubang pintu dan mementalkan tubuh Redcap setiap dia berusaha masuk.
"Sialan kau, Erlkonig! Sudah mati pun masih menghalangiku!" teriak Redcap.
"Kau tak akan bisa memasukinya, Oolky," kata Lagash sambil berjalan mendekati Si Tudung Merah.
Redcap berpaling pada Lagash dan menatapnya dengan wajah kesal hingga matanya tidak terlihat karena memicingkannya dengan tajam. Kukira, mereka mungkin akan bertempur adu kecepatan senjata, karena sudah kulihat sendiri bagaimana cepatnya mereka berdua menggunakan senjatanya masing-masing, tapi rupanya Redcap hanya diam saja melihat Lagash. Bahkan pria itu kini mengulurkan tangannya dan entah kenapa, Redcap menyerahkan benda perak dan buku catatanku padanya, yang sebelumnya dengan susah payah dia merebutnya dariku. Aku semakin heran dengan Lagash. Siapa sebenarnya pria ini?
Lagash menoleh pada kami bertiga dan memberi isyarat agar kami datang padanya. Setelah menghampirinya, dia memberikan benda perak itu padaku. Aku mengalihkan pandangan pada Redcap, dia diam tanpa kata sambil menatapku dengan tatapan yang sama untuk Lagash tadi.
"Hanya kau yang bisa masuk kesana, Yodha," kata Lagash.
"Bukankah malah lebih bagus jika prisma itu tidak usah diambil? Lihat! Bahkan Redcap ini tidak bisa mengambilnya," kataku pada Lagash sambil menatap Oolky.
"Mungkin dia tidak bisa, tapi bagaimana jika orang-orang Novus yang kesini?" kata Lagash.
"Orang-orang Novus?"
"Kelompok yang ingin membebaskan Echidna. Mereka bisa mengambil setiap segel jika tahu tempatnya, di antara mereka pasti ada keturunan Themeus yang membelot pada mereka."
"Bukankah Redcap ini komplotan dari mereka?" kataku sambil kembali menatap Oolky. "Dan kau, Lagash. Kau juga bukan orang Themeus tapi kau tahu banyak."
"Yodha, aku memang bukan dari kelompok kalian, tapi aku bukan juga salah satu dari orang-orang Novus itu. Tapi aku pernah bertemu ayahmu, dan aku yakin jika sekarang dia disini, maka dia akan mengamankan benda itu."
Aku antara terkejut dan tidak mendengar pernyataan Lagash. Aku sudah menduga sejak dia bilang tahu tentang ayahku, tapi tetap saja saat dia mengatakan itu dadaku bergetar.
"Hanya kau yang bisa kesana, Yodha. Kami akan menunggumu disini dan tenang saja, Oolky tidak akan melukai siapa pun selama ada aku," kata Lagash lagi.
Aku menatap cukup lama wajah pria satu ini, mencoba memperhatikan perubahan ekspresi wajahnya.
"Baiklah, aku akan ke sana," kataku.
Aku berpaling menatap Bimo dan Kinanti yang menampakkan wajah cemas. Tapi mata mereka menyiratkan keyakinan padaku.
"Kau akan baik-baik saja, Yod. Itu tidak terlihat terlalu seram, lebih seram wahana rumah hantu waktu itu," kata Bimo.
"Hati-hati, Luk. Kami akan baik-baik saja di sini."
Aku tersenyum pada mereka lalu menatap gerbang berwajah Erlkonig. Wajah raja peri buruk itu terpejam sambil ternganga.
"Ingat ini, Yodha," Lagash berkata sesuatu yang membuatku berpaling padanya.
Dia sedang membuka buku catatanku yang menyala biru menampilkan simbol-simbol yang tidak bisa kubaca.
"Ini adalah sebuah peta, kau harus mengingatnya. Letak prisma Cherberus berada dalam lindungan Echidna dan Thypoon ---sang ibu dan sang ayah. Persembahkan keberanian Themeus, serahkan pedang pada sang bulan," kata Lagash membaca buku catatanku.
"Hanya beberapa simbol saja bisa dibaca sepanjang itu?" tanyaku.
"Ini tulisan Sumeria Kuno, Yodha. Setiap simbol mewakili kata, bukan huruf," jawabnya.
Aku terdiam sejenak dan manggut-manggut. "Oke, jadi apa maksudnya?"
"Di dalam kau akan menemui banyak sekali relief-relief. Carilah gambar Echidna dan Thypoon yang berdampingan dan yang dimaksud pedang keberanian ---mungkin benda perak itu. Bulan, pasti tempat kunci benda perak itu dan berbentuk bulat."
Teka-teki macam apa itu. Dibuat dengan kiasan seolah susah tapi sepertinya mudah sekali ditebak jika kau tahu kondisi di dalam sana.
"Baiklah, aku ingat semuanya."
Aku melangkah ke mulut gerbang. Aku ingat saat Oolky mencoba memasukinya, sebuah dinding transparan warna-warni mementalkannya. Saat aku berada tepat di depan mulut, dinding transparan itu muncul. Lalu kucoba mengulurkan tangan ke dalam, ternyata benda itu tidak menghalangiku sama sekali. Aku lalu masuk ke dalam dan seketika hening, aku tidak bisa mendengar suara sedikitpun dari luar, hanya suara napasku saja yang bisa kudengar.
Sebuah lorong gelap menanti di depanku dan aku melewatinya tanpa alat penerangan. Hanya sedikit cahaya remang terpantul dari luar namun masih bisa menunjukkan jalanku untuk terus ke depan hingga gelap sama sekali. Aku meraba-raba bagian depanku dan sebuah tembok kokoh berada di hadapanku.
Seperti pintu goa Alibaba, tiba-tiba tembok ini bergeser, hanya saja aku tidak mengucapkan mantra 'open sesamme', yang kulakukan hanya merabanya.
Cahaya biru menerobos ke mataku secara tiba-tiba, ruangan di depanku ini sangat terang. Aku masuk ke sana dan memandang sekeliling, ruangan yang luas seluas separuh lapangan bola yang menyala biru. Atapnya rupanya benda yang terletak bagian atas dari bangunan ini, sebuah kristal kubus yang memancarkan cahaya bulan biru ke dalam ruangan dan letaknya sangat tinggi.
Dindingnya terdapat ratusan relief-relief berbagai ukuran yang berbingkai persegi dari kristal yang menyala dan terhubung dengan kristal di atap.
Aku mendekat ke dinding dan mulai melihatnya. Relief seperti candi dengan penggambaran cerita antara manusia dengan makhluk-makhluk mitologi. Sphinx, Hydra, Cherberus, Naga, Garuda, Unicorn, Behemoth, dan banyak sekali gambar-gambar lainnya.
"Echidna ... Thypoon ..." gumamku sambil berusaha mencari relief mereka dari ratusan relief-relief yang ada.
Setelah aku melihat dan mencari hampir setengah dari seluruh gambar yang ada, akhirnya aku menemukannya. Relief wanita ular berdampingan dengan pria berkaki seperti gurita dengan penggambaran naga dan badai di bawahnya.
"Mana lubangnya?"
Aku mencari di sekitar relief itu sesuatu yang berbentuk bulat apapun itu, tapi aku tidak menemukan tempat untuk menaruh benda perakku ini.
Satu-satunya 'lubang' yang ada adalah sebuah lubang kecil sebesar jari di bagian bawah kaki Thypoon, tentu saja itu tidak cukup untuk menaruh benda perak ini.
Aku berusaha memasukkan telunjukku ke dalam lubang itu, tapi aku ingat, bagaimana jika ini jebakan?
Aku ingat, ada jebakan semacam ini di situs-situs tersembunyi. Dengan lubang lebar sebesar lengan manusia dan saat kau memasukkan tanganmu, kemudian 'crash', tanganmu terpotong. Bagaimana jika ini juga sejenis itu?
"Serahkan keberanianmu, Yodha. Ingat kata-kata simbol di buku tadi," gumamku lagi meyakinkan diri sendiri.
Dengan perlahan aku memasukkan telunjukku ke dalam lubang. Satu senti, dua senti, belum ada ujung yang bisa kurasakan. Lebih dalam lagi dan ....
Krak!
Aku menekan sebuah 'tombol' di dalam dan terdengar suara keras. Dengan cepat kutarik jariku dan masih utuh.
Tiba-tiba relief-relief itu bergeser dengan sendirinya. Seperti tatanan puzzle yang bergeser-geser hingga membentuk sebuah pola dan akhirnya membentuk simbol dua singa yang berdiri dan saling berhadapan dengan lingkaran menyala biru di tengahnya.
Aku segera meletakkan benda perakku di sana dan benda itu berputar 360 derajat lalu lingkarannya di sekitarnya menyala biru.
Seperti sebuah alat penyimpanan kapsul-kapsul di laboratorium canggih. Dari benda perak yang kuletakkan muncul sebuah tabung kristal. Tabung itu keluar dari tembok bersama benda perakku dan aku segera mengambilnya.
Kulihat di dalamnya terdapat benda bersinar berbentuk prisma dengan benda hitam tertanam di dalamnya. Aku masih seperti tak percaya meski melihatnya, mataku seperti membohongiku padahal ini nyata.
Aku bergegas keluar dari situ dengan perasaan campur aduk. Setengah berlari, aku mendatangi pintu hingga akhirnya aku keluar.
"Aku mendapatkannya!" teriakku pada mereka.
Namun yang kulihat kini sangat mengejutkan. Bimo terdiam dengan pedang Lagash diletakkan di lehernya, begitu juga Kinanti yang diancam dengan tongkat Redcap.
"Sekarang serahkan itu padaku, Yodha," kata Lagash sambil mengancam Bimo.
Tanpa banyak kata aku melemparkan benda itu pada Lagash dan langsung ditangkap olehnya.
"Terimakasih, kau sudah menyelamatkan dunia, Yodha," katanya lagi sambil tersenyum.
"Sudah kuduga, kau salah satu dari mereka," kataku.
"Jangan salah sangka. Tujuan kami lain, tidak seperti Themeus atau Novus. Kami punya jalan sendiri."
"Kami?"
"Tentu saja jumlah pengikutku banyak, kau masih belum tahu apapun tentang permainan ini, Yodha," Lagash menimang-nimang tabung berisi segel dengan benda perak menempel disana.
"Lepaskan mereka," kataku.
"Wahaha. Tentu saja, setelah memotong kepala mereka dulu," kata Redcap.
"Aaaargh!"
Suara teriakan, darah memancar terjadi bersamaan dengan suara daging yang terkoyak senjata.
Lagash dan Redcap-lah yang berteriak. Mereka berdua terlihat kesakitan dan berteriak marah. Di lengan Lagash tertancap sebuah palu tambang lancip hingga menembus bajunya. Redcap lebih mengenaskan, palu tambang menancap di punggungnya hingga ia tersungkur namun masih hidup.
Bimo dan Kinanti dengan cepat berlari kearahku setelah sebelumnya merebut segel dan buku catatanku.
Dari kegelapan di belakang Lagash dan Redcap, melayang dua buah lagi palu tambang. Namun kali ini Redcap bisa menghalaunya dengan tongkat meski tubuhnya sudah sekarat. Sedangkan Lagash berhasil menangkap salah satunya dan melemparkan kembali ke sana dan terdengar teriakan kesakitan.
Kami berlari menghampiri Ibe yang melambai-lambai memberi tanda pada teman-temannya yang bersembunyi di kegelapan.
"Bagus, Sobat. Ini sesuai rencana, tapi tak kusangka akan sekejam ini," kataku pada Ibe.
....