Chereads / Detektif Mitologi / Chapter 35 - Eternal White

Chapter 35 - Eternal White

Ada satu lagi alasan kenapa aku begitu semangat dalam penjelajahan kali ini, tidak lain karena aku sudah lama ingin berkemah –meski kali ini harus dilakukan di pegunungan salju yang sangat dingin. Seperti pagi tadi, dengan antusias aku membantu Paman Liu mengemasi barang-barang yang dibutuhkan untuk perjalanan kami, bahkan aku sendiri yang berangkat menuju mini market untuk membeli bahan makanan yang kami butuhkan selama perjalanan. Dan tentu saja, aku berbelanja dengan membawa catatan dari Paman Liu yang berisi segala macam makanan dan barang karena dia yang lebih tahu, meskipun aku menambahkan barang yang tidak ada dalam catatan. Jika kalian mempunyai hobi naik gunung, sedikit banyak pasti sudah mengetahui apa yang harus kubeli. Makanan ringan, air mineral, sayuran segar, telur, daging, makanan yang mudah dimasak seperti mie instan dan lainnya.

Kini kami sudah berjalan mendaki selama hampir empat jam termasuk beberapa kali beristirahat sebentar sekedar melepas lelah. Suhu minus sekian derajat celcius, membuat otakku seperti membeku saat menghirup udara. Kami semua memakai jaket parasut tebal yang berlapis bulu sintesis hingga ke tudung kepala dan di dalamnya masih menggunakan baju berbahan woll, tapi aku masih merasakan dingin hingga rasanya bulu mataku menjadi kaku dan bisa patah jika kujentik dengan jari.

"Sebentar lagi kita mendirikan kemah." Kata Paman Liu yang berjalan paling depan.

Kami mengikuti arah yang ditunjukkan Paman Liu, jauh dari jalur pendakian yang dibuka oleh umum, tentu saja karena kami bukan berniat untuk mendaki puncak Everest dan memecahkan rekor.

"Kenapa tidak sekarang saja?" kata Bimo.

Paman Liu tidak menggubris kata-kata Bimo dan tetap berjalan.

"Kenapa? Sudah capek kau, Bemo?" kata Nick sambil senyum mengejek, "masa kalah sama orang tua."

Bimo menjawab dengan menggigil dan menunjuk ke perutnya, sepertinya dia mulai lapar. Tidak ada yang menanggapi isyarat Bimo, yang ia dapatkan hanya tawa ejekan dari Nick. Sebenarnya aku juga lelah dan ingin beristirahat, tapi mungkin Paman Liu punya alasan lain dan kami pun kembali berjalan. Paman Liu dan Nick berjalan di depan, dengan hanya membawa tongkat untuk membantu berjalan di salju –seperti tongkat untuk bermain ski.

Aku memandang sekeliling, hampir semuanya putih dan abu-abu. Bebatuan gunung dan salju, bagai kesuraman yang tertutup dengan keindahan sederhana yang abadi. Di depanku, puncak-puncak atap dunia terpampang. Jurang-jurang dan lembah-lembah pun siap menanti kami. Karena bukan jalur pendakian, jarang sekali kami menemukan tempat yang agak landai. Sedari tadi yang kami lalui adalah jalur menanjak dan kadang turun ke lembah dangkal dengan kemiringan berbeda, kami juga melewati beberapa bukit batu tertutup salju. Bahkan sekarang, saat menoleh ke belakang pun yang kulihat hanyalah bukit dan gunung bersalju.

"Yodha. Kau sudah mendapatkan informasi tentang ayahmu dari Paman Liu?" tanya Bimo dengan pelan padaku. Kami berdua berjalan paling belakang dengan masing-masing membawa ransel berat yang isinya mungkin melebihi isi kulkas.

"Sedikit," jawabku.

Malam sebelumnya memang aku banyak bertanya kepada Paman Liu tentang ayahku, dan memang itu tujuanku saat pertama datang. Sambil bermain catur Cina, aku 'menginterogasi' Paman Liu yang menjawab dengan ogah-ogahan dan membuatku kesal. Yang aku dapatkan hanyalah cerita masa lampaunya dengan ayahku dan dia berkata belum pernah bertemu dengan koleganya itu sejak ayahku menikah. Tentu saja aku tidak percaya begitu saja, apalagi dia selalu mengalihkan perhatian saat aku bertanya tentang kelompok-kelompok rahasia.

Paman Liu membawa kami melewati celah sempit di antara dua buah bukit batu lalu tiba di sebuah lembah kecil –mungkin lebih tepat disebut cerukan—yang dikelilingi batu-batu besar dan tersembunyi, mungkin luasnya hanya dua kali luas halaman di rumah kakek.

"Kita mendirikan kemah dan bermalam di sini," kata Paman Liu yang kemudian duduk di sebuah batu besar.

"Aah, akhirnya .... " Bimo menaruh ransel besarnya dan langsung duduk dengan bersandar di benda itu.

"Hei! Siapa yang menyuruhmu istirahat?" kata Paman Liu pada Bimo. "Kau kan masih harus mendirikan tenda untuk kita. Itu tugasmu!"

Bimo terlihat kesal lalu menggosok-gosok mukanya sendiri dengan kedua telapak tangan. Nick tertawa melihatnya lalu duduk sebelah Paman Liu.

"Ayo, Bimo. Kita dirikan tenda lalu makan," kataku.

Lebih dari setengah jam kami berdua mendirikan dua tenda kubah, satu untuk aku dan Bimo dan satu lagi untuk kedua pria tua yang bersikap masa bodoh dengan kesibukan kami. Dan bagian yang paling menyebalkan adalah saat menyalakan kompor portable. Kami membawa gas kaleng dan karena suhu dingin, isinya sedikit membeku sehingga susah menyala. Paman Liu meyakinkan bahwa itu akan segera menyala, dan akhirnya memang menyala. Memang, jika di jalur pendakian, kita disediakan gas dalam tabung di sebuah basecamp, tapi sekali lagi kami ke sini bukan untuk liburan dan tidak mungkin kami membawa-bawa tabung gas dalam perjalanan kami.

Langit sudah mulai gelap saat kami duduk mengelilingi kompor sambil meminum teh celup panas setelah makan.

"Masih jauh-kah perjalanan kita?" tanyaku tanpa menoleh pada siapa yang kutanya.

"Kita tidak bisa mengukur jarak atau waktu ke tempat yang kita tuju," jawab Paman Liu. "Karena tempat itu tersembunyi dari dimensi ruang waktu di dunia ini."

"Aku malah bingung dengan yang anda katakan," sahut Bimo. "Aku tidak paham."

"Memangnya apa yang bisa kau pahami, Bemo?"

"Begini," Paman Liu memegang cangkir dengan kedua telapak tangan. "Untuk menuju ke sana kita harus punya sedikit keberuntungan dan keberanian. Ada tiga tempat sebagai jalan menuju ke sana. Pertama, berjarak sehari lagi perjalanan dari sini, ada sebuah gunung dengan celah sempit dan terdapat 'gerbang' tersembunyi, itulah tempat yang sekarang ingin kita tuju."

"Wah, semoga pinggangku masih kuat," kata Nick.

"Kedua, yang ini harus dengan keberuntungan. Kadang ada 'gerbang' lain tanpa diduga dan tempatnya berpindah-pindah di sekitar pegunungan ini. Bisa saja kau menemukannya di lembah, di sela-sela bukit atau di dalam goa," lanjut Paman Liu.

"Memangnya seperti apa-sih? Apa seperti pintu gerbang di depan rumah dengan teralis besi dan digembok?" tanya Bimo sambil menyuapkan kue kering ke mulutnya.

"Lalu yang terakhir?" tanyaku, tanpa peduli kata-kata Bimo yang tidak jelas itu.

"Yang ketiga ...." Paman Liu diam sebentar untuk menyeruput tehnya. " kuharap jangan sampai kita terpaksa melaluli jalan ini, karena tidak mungkin."

"Memangnya kenapa, Liu?" tanya Nick.

"Ini masih legenda. Kalian ingat makhluk berbulu yang tempo hari aku perlihatkan gambarnya pada kalian?" Paman Liu menatap kami. "Jika kalian bisa menemukan sarang mereka, di situ-lah gerbang satu lagi berada. Itu juga kalau kalian bisa menemukan dan menghadapi mereka."

"Hmm. Berarti kita hanya punya satu pilihan," kata Bimo sambil mengusap dagu.

"Dasar penakut kau, Bemo. Lebih baik kau pilih jalan ketiga saja," kata Nick.

Aku tidak peduli nantinya jalan mana yang akan kulalui, asalkan aku bisa sampai ke tempat itu. Memang aku masih belum tahu tempat seperti apa itu, entah berbahaya seperti waktu di bawah tanah atau tempat yang damai. Tapi itu-lah tujuanku saat ini.

Paman Liu bangkit lalu berjalan menuju tendanya. "Cepatlah masuk tenda kalian lalu tidur! Rapatkan kantung tidur kalian kalau tidak ingin mati beku."

"Ya sudah-lah. Apalagi punggungku juga sudah berteriak ingin diluruskan," kata Nick yang ikut bangkit, lalu memutar tubuhnya ke kanan-kiri hingga punggungnya berbunyi. "Dengar teriakan punggungku ini. Hahaha."

"Ayo, Bimo. Kita masuk," ajakku. "Suhu semakin dingin, dan kurasa tempat ini aman dari angin atau badai salju jika datang."

"Ya, tapi tidak cukup aman jika makhluk itu datang," kata Nick menimpali sambil tersenyum lalu masuk ke tendanya.

Aku dan Bimo sudah berada di dalam tenda kami dan segera masuk ke dalam kantung tidur. Mungkin Bimo sangat lelah, tanpa mengobrol apapun, dia langsung tertidur pulas. Aku pun ingin segera tidur dan mematikan lampu senter yang aku gantung di bawah atap tenda. Di dalam kantung tidur, terasa hangat dan nyaman hingga membuatku terlelap.

Entah berapa jam aku tertidur hingga aku terjaga karena hawa dingin yang masuk ke tenda dan menyapu wajahku. Aku duduk dan melihat ternyata pintu tendaku sedikit terbuka, sepertinya tadi aku kurang rapat menarik resletingnya. Aku beringsut ke arah pintu karena malas keluar dari kantung tidur dan sebelumnya ku sempatkan mengintip keluar, terasa sangat dingin dan angin berhembus meski tidak terlalu kencang. Mungkin karena letaknya terlindung dan di lembah sehingga anginnya tidak terlalu kencang, dan di luar sana pasti lebih kencang lagi.

Karena tenda kami berhadapan dan hanya berjarak sekitar lima meter, bisa kulihat tenda Nick dan Paman Liu menyala. Sepertinya mereka tidur tanpa mematikan lampu senter, atau mereka mungkin belum tertidur. Tapi selarut ini?

Saat aku mulai menutup pintu tenda, tanpa sengaja aku melihat sosok di dekat tenda Nick. Aku diam dan memperhatikannya. Sosok itu hanya terlihat siluetnya yang hitam karena sinar temaram dari tenda, berdiri dan berjalan pelan di samping tenda Nick. Mungkin karena tendaku gelap, sosok itu tidak sadar jika ku perhatikan. Aku tahu jika itu mungkin manusia, melihat dari tinggi tubuhnya. Dan aku yakin itu bukan Nick yang tubuhnya besar atau Paman Liu yang kurus.

Saat sosok itu semakin mendekat ke arah pintu yang tertutup rapat, saat itulah aku mulai beraksi. Karena aku merasa akan gawat jika orang ini mau mencelakai Nick atau Paman Liu. Bagaimana jika itu adalah salah satu orang dari kelompok gelap?

Dengan berani aku keluar dan segera menerjang tubuhnya, hingga kami berdua jatuh tersungkur di atas salju. Dan ternyata, tubuh sosok ini dipenuhi dengan bulu-bulu yang bisa kurasakan menempel di wajahku saat aku menerjangnya.

....