Sosok itu mengayunkan tangannya ke belakang. Sikutnya mengenai pipiku dengan keras hingga dekapanku terlepas. Masih dalam keadaan terbaring, dia memutar badannya menghadapku dan menendang perutku dengan keras sampai aku terjengkang ke belakang. Belum sempat aku bangkit, dengan cepat sosok itu sudah duduk di atas badanku dan mengepalkan tinjunya siap memukulku. Aku langsung bersiap menutup wajahku dengan tangan untuk menangkis, tapi gerakannya terlalu cepat. Tinggal menunggu sepersekian detik saja hingga sosok ini membengkokkan hidungku, tetapi aku tidak merasakan apapun. Ternyata dia menghentikan pukulannya tepat di depan hidungku. Kenapa?
Sepertinya tubuh sosok ini cukup kecil, hanya jaket bulunya saja yang tebal, karena badannya tidak terasa berat. Karena gelap, aku tidak bisa melihat wajahnya. Apalagi dia menutupi kepalanya dengan tudung dari jaketnya yang terbuat dari bulu yang kelihatannya sangat tebal.
"Tidak bisakah kalian lebih tenang sedikit?"
Tiba-tiba suara Paman Liu terdengar dari arah tenda. Dia ke luar dari tenda dengan membawa lampu senter dan Nick menyusul di belakangnya.
"Wah, belum apa-apa kalian sudah bermesraan di tempat yang dingin ini," kata Paman Liu sambil mengarahkan sorot lampu senternya ke padaku yang sedang ditindih oleh 'seseorang' yang misterius ini, sepertinya Paman Liu mengenal orang ini. Meski samar, terlihat orang ini memakai masker menutupi wajahnya.
Sosok ini lalu bangkit dan mengulurkan tangannya padaku. Aku menolak uluran tangannya dan bangkit sendiri lalu berdiri di sampingnya. Kalau bukan kenalan Paman Liu, sudah aku balas menonjok wajah orang ini. Dia hanya beruntung tadi karena aku belum siap, aku bisa mengalahkannya kalau aku mau. Tapi memang aku akui gerakannya sangat cepat dan lincah, lebih cepat dariku.
Sosok itu membuka tudung kepala dan maskernya, dan ternyata dia seorang wanita yang kutaksir umurnya sekitar dua puluhan. Wanita berwajah oriental dengan rambut lurus panjang berwarna hitam, kulit wajah yang putih terlihat jelas meski keadaan masih gelap, mengalahkan putihnya salju di sekitarku. Dia berpaling padaku dengan senyum termanis yang pernah kulihat, wajah ini-kah yang barusan ingin kutonjok? Aku sedikit menyesal kenapa tadi tidak menerima uluran tangannya. Aduh, kenapa malah sekarang aku seperti Nick. Bodoh, itu hanya wanita arogan yang bahkan belum ku kenal.
"Kenapa kau lama sekali?" tanya Paman Liu pada wanita itu.
"Maaf. Banyak urusan yang harus saya bereskan sebelum menyusul kalian," jawab wanita itu dengan sangat sopan.
"Ehm! Maaf tadi aku menerjangmu, Nona. Kukira, kau adalah musuh," kataku.
"Oh, tidak masalah," jawabnya sambil tersenyum. "Seharusnya saya yang meminta maaf karena sudah menendang perut anda. Anda tidak apa-apa?"
"Tidak terasa sakit, kok."
Ya, sebenarnya tadi itu sakit sekali. Jangan berpikir kalau aku sombong, aku hanya pura-pura karena tidak enak padanya saja.
"Namaku Yodha," kataku sambil mengulurkan tangan.
"Saya April. Senang berkenalan dengan anda," jawabnya membungkukkan badan tanpa menanggapi uluran tanganku.
April? Wajah oriental seperti itu, kukira mungkin namanya Ling Ling atau Wen Wen. Tapi, ya sudah-lah.
"Jangan bicara terlalu resmi seperti itu. Jika kau adalah bawahan atau anak buah Paman Liu, maka kita adalah teman dan mungkin bisa bekerjasama dengan baik," kataku.
Wanita itu tertawa kecil dan manggut-manggut.
"Hei, mau ngobrol sampai kapan?" kata Paman Liu yang ternyata dari tadi hanya memperhatikan kami sambil menyorotkan senternya bersama Nick. "Ayo, masuk ke tenda! Ada yang harus kita bicarakan."
"Wah, Junior. Sepertinya wajah dan sifatmu tiba-tiba berubah. Hahaha," Nick mengejekku sambil mengikuti Paman Liu masuk ke tenda.
Nick bodoh, memangnya wajahku kelihatan kalau gelap-gelapan begini?
Kami berempat sudah berada di dalam tenda dan duduk mengelilingi kompor kecil yang dinyalakan untuk menghangatkan badan.
"April. Kau membawa apa yang kuminta?" tanya Paman Liu.
"Sudah saya bawa," jawab April.
April lalu menunjukkan sebuah tas punggung kecil seperti tas anak sekolah dasar yang entah isinya apa. Saat April menepuk-nepuknya, terdengar suara benturan benda-benda keras dari dalam.
Ya, aku serius kalau itu seperti tas anak SD. Berwarna biru dan merah dengan gambar tokoh kartun yang dibuat asal-asalan sedang memperagakan sebuah jurus beladiri dan ada tulisan dengan huruf Cina.
"Seleramu agak unik, April," kataku sambil menaikkan sebelah alis.
"Kenapa?" tanya Paman Liu. "Itu tasku."
"Ini dibacanya apa?" tanyaku sambil menunjuk pada huruf Cina itu.
"Wong Fei Hung," jawab April sambil menahan tawa menutup mulutnya.
Aku ingin tertawa, tapi kutahan dan yang terjadi mungkin wajahku terlihat aneh, karena Paman Liu langsung melotot padaku.
"Kau, Anaknya Edward. Ah, aku masih bingung mau memanggilmu apa."
Paman Liu mengusap-usap keningnya.
"Bagaimana kalau Pranayodha? Ah, terlalu panjang," lanjut Paman Liu yang lalu kembali mengusap-usap kening.
Nick tertawa terkekeh melihat ekspresi wajahku yang datar karena Paman Liu, dan kulirik juga April tertawa kecil sambil menunduk.
"Terserah kau saja mau memanggilku apa. Panggil saja Orang Ganteng atau Pintar, itu tidak masalah," kataku.
Nick tertawa semakin keras.
"Ah, malah tambah panjang. Ya sudah, Yodha saja," kata Paman Liu.
"Itu lebih baik," kataku.
"Aku ingin bertanya satu hal kepadamu?"
"Apa itu, Paman?"
"Apa kau menyimpan barang-barang peninggalan Edward?" tanya Paman Liu.
"Ya, aku menyimpan semua buku catatan tentang makhluk-makhluk tulisan ayahku."
"Selain itu? Benda yang tidak biasa, seperti hiasan misalnya."
"Tidak ada. Mungkin hanya topi bulat seperti topi koboi yang sudah kupajang di lemari kaca di perpustakaan pribadiku," jawabku.
Sejenak Paman Liu seperti berpikir, aku bisa menangkap ekspresinya meski hanya sepintas.
"Ah, ya sudahlah. Kukira dia meninggalkan sebuah senjata yang berguna karena musuh yang kita hadapi ini tidak akan mudah," kata Paman Liu yang mengalihkan pandangan matanya dariku.
"Dan lagi ...." Nick menyambung kata-kata Paman Liu, "kau bercerita sebelumnya kau bertemu pria misterius yang mengaku mengenal ayahmu dan mengetahui tentang Themeus dan Novus, Junior. Jika menurut ceritamu, sepertinya orang itu mempunyai kelompok juga."
"Ya. Dia berkata kalau dia tidak memihak Themeus atau Novus dan punya tujuannya sendiri. Tapi sepertinya itu bukan lagi ancaman. Lagash bilang kalau dia adalah pemimpin mereka dan sekarang dia sudah mati di sana," kataku.
"Kau yakin dia sudah mati?" tanya Nick.
"Tentu saja."
"Semoga begitu," kata Paman Liu menyela. "Jika begitu, kita bisa berkonsentrasi menghadapi satu musuh saja dan lebih mudah mencari Edward."
"Aku yakin bisa, Paman. Kita cukup kuat meski hanya sedikit orang, apalagi kini ditambah dengan Nona April yang pintar beladiri. Paman mengajari anak buah Paman Liu dengan baik," kataku sambil sedikit mencuri lirikan pada April.
"Huh, anak buah kepalamu!" kata Paman Liu. "Dia putriku."
"Hah?"
...