Chereads / Detektif Mitologi / Chapter 38 - Missing Person

Chapter 38 - Missing Person

Suara geraman itu semakin mendekat, lalu samar-samar terlihat sosok besar mendekati kami yang duduk berhimpitan merapat di dinding batu. Aku menahan napas dan berusaha berpikir cepat apa yang harus aku lakukan kali ini.

"Kita bisa menggunakan tenda ini untuk bersembunyi," bisik Bimo. "Ayo, kita selimutkan ke tubuh kita!"

Bimo mulai menarik layer tenda ke atas.

"Lari!"

Tiba-tiba, April berseru dan berlari sambil menarikku. Bimo yang sudah hampir menutupi seluruh tubuhnya dengan tenda, langsung berdiri dan ikut berlari mencampakkan 'benda pelindung'-nya sambil mengumpat.

Kami berlari menuju ke arah di balik batu. Terdengar geraman makhluk itu semakin keras dan suara langkah kakinya yang berat menginjak tumpukan salju di belakang kami. Jarak pandang kami hanya beberapa meter karena salju yang turun sangat pekat dan langit menjadi gelap.

"Yodha! Tunggu!" teriak Bimo di belakangku. Aku tak bisa melihatnya.

April masih menarikku sambil berlari. Aku menarik tangan April dan kami berdua berhenti.

"Kita tidak bisa menghadapi mereka tanpa ayahku!" kata April dengan keras.

"Tapi Bimo masih di belakang!" kataku.

Memangnya, sehebat apa jurus beladiri Paman Liu hingga April berpikir ayahnya bisa mengalahkan Yeti?

Beberapa detik kemudian Bimo muncul dari kepekatan siraman ribuan salju yang turun. Namun, hanya beberapa meter lagi jarak Bimo sampai ke tempatku, sebuah lengan yang sangat besar menariknya kembali ke kegelapan.

"Bimo! April, ayo tolong dia! April?!"

Aku menoleh, dan April tidak ada di tempatnya tadi. Tanpa sadar aku melepas genggaman tanganku dengannya. Apa dia lari? Se-penakut itu 'kah dia?

Sesaat sebelum aku memutuskan akan mengejar Bimo atau April, sebuah telapak tangan yang sangat besar meraih wajahku dari belakang.

....

Shangri-La adalah salah satu tempat mistis dan harmonis yang tersembunyi dan berada di pegunungan Himalaya atau di pegunungan Kunlun. Dalam kitab suci Tibet kuno, mereka menyebutnya 'Khembalung' dan terisolasi dari dunia. Orang-orang yang tinggal di Shangri-La hampir abadi, hidup ratusan tahun di luar usia normal dan hanya mengalami penuaan yang sangat lambat.

....

Ini benar-benar menyebalkan. Seperti dejavu saat berada di dunia bawah tanah, kami ditangkap dan disekap. Waktu itu kami bertiga bersama Kinanti, dan sekarang hanya berdua dengan Bimo. Dulu kami diikat dan digeletakkan di tanah begitu saja. Kalau sekarang, mungkin bisa dikatakan lebih 'sopan'. Kami berdua duduk --tanpa diikat-- di atas sebuah batu persegi besar di dalam sebuah ruangan. Aku tidak tahu pasti apakah ini goa atau kami sedang berada di dalam sebuah igloo. Tapi aku yakin ini di dalam goa, karena tidak ada suku Eskimo dan balok es di Himalaya, tapi memang mirip. Ruangan ini berbentuk kubah berdinding batu, seperti goa pada umumnya. Tapi, terdapat banyak sekali tonjolan-tonjolan pada dinding dan atap ruangan, seperti batu berukuran kepalan tangan orang dewasa dan berwarna putih pekat seperti es batu. Tidak ada obor atau lampu neon di sini, tapi dinding ruangan ini bersinar meski remang dari puluhan batu aneh itu.

Di salah satu sisi ruangan ada sebuah lorong besar, tempat kami masuk ke sini tadi dengan dibawa oleh makhluk-makhluk besar berbulu dan mereka pasti sedang berjaga di ujung lorong sana. Aku sempat heran kenapa mereka membawa kami ke sini. Sebelumnya aku sempat berpikir akan langsung dimakan, tapi kini aku berpikir bahwa kami adalah cadangan makanan untuk mereka.

"Kita akan dijadikan sup hangat," kata Bimo dengan raut wajah 'sok serius' menatapku.

"Tidak, Bimo. Tidak mungkin itu terjadi," jawabku.

"Benarkah? Kau yakin?" Mata Bimo melebar, seperti tersirat harapan mendengar jawabanku.

"Tentu saja. Karena mereka tidak pandai memasak. Paling kita akan dimakan mentah-mentah," jawabku lagi.

Sinar harapan di mata Bimo pun kembali meredup.

"Kita harus memikirkan cara untuk kabur, Yod. Kau 'kan bisa tembak mereka tadi. Ah, tapi tas kita juga tertinggal waktu kita lari."

Bimo berkata padaku, tapi lebih mirip gumaman untuk dirinya sendiri.

"Aku tidak membawa pistol ke sini. Tidak mungkin bisa membawa benda itu ke luar negeri karena ada pemeriksaan di bandara."

"Oh, begitu 'kah?"

Ya, ampun. Aku heran Bimo baru tahu hal itu. Padahal bukan pertama kali dia naik pesawat.

"Apakah April juga ditangkap mereka, Yod?"

"Entahlah, Bimo. Semoga dia berhasil kabur."

Sebenarnya aku tidak yakin dengan kata-kataku barusan.

"Halo, kalian!"

Kami tiba-tiba dikejutkan oleh suara seseorang hingga kami berdiri. Dia muncul begitu saja dari pintu masuk dan berjalan ke arah kami. Seorang pria kurus dengan wajah khas orang Eropa tersenyum hingga menunjukkan giginya pada kami. Dia melambai-lambai, tingkahnya seperti komedian. Ekspresi wajah dan tingkahnya malah membuatku ngeri. Rambutnya kelabu agak panjang menutupi telinga dan kulit wajahnya terlihat sudah berkerut karena kurus sehingga membuatnya terlihat tua, meski aku yakin dia tidak setua Nick.

Berjarak beberapa langkah dari kami, dia berdiri dan memperhatikan kami masih dengan raut muka yang sama. Ingin ku lempar wajah orang ini dengan sepatu, rasanya. Tapi aku lebih memikirkan siapa dia dan bagaimana dia bisa ke sini dari pada melakukan itu.

"Anda siapa? Bagaimana anda bisa masuk ke sini? Di luar banyak makhluk besar itu, kan? Anda juga ditangkap oleh mereka?" tanya Bimo pada orang itu.

"Makhluk besar?"

Pria itu melirik ke atas, seolah-olah mengingat sesuatu seperti orang pikun.

"Ya!" kata Bimo.

"Oh, para Iblis Kanchanjunga itu?" jawab pria tadi. "Mereka tidak berbahaya, kok. Tenang saja."

"Tidak berbahaya dari mana. Kami berdua bisa di sini karena ditangkap oleh mereka," kata Bimo. Entah kenapa dia bicara dengan ngotot.

"Ya, aku tahu," jawab pria itu. "Tadinya aku heran, kenapa mereka membawa manusia ke sini. Biasanya mereka malah berusaha menghindari manusia. Bahkan mayat-mayat pendaki pun dijauhi oleh mereka. Tapi setelah aku melihat ... kau! Aku tahu alasan mereka."

Pria itu menunjuk padaku sambil tersenyum sambil menaikkan alisnya berkali-kali.

"Memangnya aku kenapa?" tanyaku. "Dan biar kutebak. Kau bisa mengendalikan atau menyuruh para Yeti itu. Bisa dibilang, kau adalah pemimpin mereka."

"Emmm ...." Pria itu memejamkan matanya dan mengepalkan tangan. "Bingo!"

Pria itu mengacungkan dua pistol jari pada kami sambil tersenyum hingga giginya kelihatan lagi.

"Eh, anda kenal Profesor Nicholas?" tanya Bimo tiba-tiba setelah melihat tingkah pria itu.

"Profesor Nicholas siapa, ya?" kata orang itu sambil memiringkan kepalanya.

"Anda pura-pura pikun lagi," kata Bimo.

"Tidak. Aku tidak kenal satu profesor pun di dunia ini," kata orang itu.

"Jawab aku, Tuan Yeti," kataku. "Kenapa mereka membawaku ke sini. Atau mungkin lebih tepatnya, apa alasanmu ingin menangkapku?"

"Sssh ... tidak, tidak. Aku tidak ingin menangkapmu. Duduk dulu, ayo silahkan duduk lagi."

Kami semua pun duduk kembali.

"Oh, ya. Aku belum memperkenalkan diri. Namaku Harry, Harry Wahl."

"Harry Wahl?" Aku sepertinya pernah mendengar nama itu.

....