Hari sudah agak siang, kami berlima memulai perjalanan. Malam tadi, aku dan Bimo akhirnya harus tidur berdesak-desakkan dengan Nick karena tenda yang satunya dipakai oleh Paman Liu dan April. Tadi pagi, Bimo sudah berkenalan dengan April saat kami sarapan dan tanpa malu-malu meminta diajari kungfu olehnya.
Jalan yang kami lalui semakin menanjak dan salju semakin tebal. Beberapa kali kaki kami terperosok dan kadang harus dibantu untuk meloloskan kaki dari cengkeraman salju.
Saat kami sudah berjalan beberapa jam, tiba-tiba langit terlihat kelam diikuti angin dan salju yang turun. Aku melihat pada Paman Liu dan Nick yang berjalan di depan, mereka berhenti sejenak dan bercakap-cakap tapi aku tidak bisa mendengarnya.
"BAGAIMANA INI?!" teriakku pada mereka yang di depan.
"Hust! Jangan berteriak, Yodha! Nanti saljunya longsor!" kata Bimo di belakangku.
"Itu hanya mitos," kata April yang berada di sebelahku.
"Sebenarnya kita harus mendirikan tenda," kata Paman Liu dengan keras. "Tapi dengan kecepatan angin seperti ini kita tidak mungkin melakukannya."
"LALU BAGAIMANA?!" tanya Bimo di belakangku dengan berteriak. Dasar, Bimo. Baru saja meyakini kalau tidak boleh berteriak, sekarang dia melakukannya setelah April mengatakan itu hanya mitos.
"Kita tetap maju," kata Paman Liu. "Lihat! Di depan ada dinding batu yang lumayan tinggi, kita bisa mendirikan tenda dengan mudah di sana."
Paman Liu menunjuk pada sebuah tempat yang berada di sisi bukit batu kecil yang datar seperti dinding dan bisa sedikit melindungi kami dari angin. Jaraknya agak jauh sekitar 20 meter dari tempat kami sekarang, dan berjalan ke sana dengan badai salju seperti ini tidaklah mudah.
Aku dan Bimo berjalan susah payah di belakang karena menggendong ransel besar dan April dengan setia menemaniku berjalan dengan pelan sambil membawa tas punggung konyol. Sedangkan Nick dan Paman Liu, mereka sudah hampir sampai di tempat yang tadi dimaksud. Mereka benar-benar orang-orang tua yang egois.
Tiba-tiba aku dikejutkan dengan suara berisik dan teriakan Bimo di belakangku, disusul dengan salju yang kupijak terasa bergetar. Aku menoleh ke belakang dan kulihat Bimo menghilang.
Salju di belakangku seperti terbelah menjadi dua bagian dan meninggalkan retakan lubang panjang yang menganga. Hampir saja aku terjengkang dan jatuh, masuk ke sana.
"TOLONG!" Suara Bimo terdengar dari dalam retakan yang terlihat semakin melebar.
Aku segera menghampiri dan terlihat Bimo sedang bergelantungan memegang batu di bibir jurang yang baru saja terbentuk karena longsoran salju ini. Rupanya kami melewati patahan batu dan kami tadi lewat di atas jurang. Karena salju yang menumpuk dalam waktu yang panjang, jurang ini tersamarkan namun kini saljunya longsor.
Aku membantu Bimo naik dengan susah payah dibantu April. Badai salju semakin kencang saat kami berhasil menarik Bimo kembali ke atas.
"Apa benar tadi itu hanya mitos?" tanya Bimo dengan terengah-engah.
"Ayo, kita harus segera menyusul Nick," kataku pada mereka.
Karena salju yang turun begitu lebat disertai angin, aku sama sekali tidak bisa melihat tempat di mana Nick dan Paman Liu berada meski jaraknya sudah dekat. Meski begitu, kami bertiga tetap berjalan ke sana sambil menundukkan wajah menghindari badai. Hingga kami tiba di tempat mereka, ternyata mereka berdua sudah tidak berada di sana.
"Mana mereka?" tanya Bimo.
Aku tak bisa menjawab dan bingung dengan apa yang terjadi saat sedang menolong Bimo tadi. Belum ada sepuluh menit mereka tadi berada di sini dan sekarang menghilang seperti aksi sulap David Coverfield. Kulihat wajah April sangat cemas, antara takut dan gugup.
"Mungkinkah mereka berada di sisi yang lain? Di sebelah belakang bukit batu ini mungkin?" tanya Bimo.
Sebenarnya aku ragu dengan pendapat Bimo. Tempat sekarang ini kelihatan paling aman sebagai tempat darurat untuk menghindari badai karena terlidung dinding batu. Apa alasan Nick dan Paman Liu untuk mencari tempat lain? Sedangkan badai sedang kencang-kencangnya.
"Kalian berlindung di sini saja, biar aku yang naik ke atas dan mencari mereka," kataku.
"Tapi badainya kencang, Yod! Bahaya!" kata Bimo.
"Sebentar saja," kataku sambil menaruh ranselku yang berat.
"Aku ikut! Aku harus mencari ayahku," kata April.
"Sama. Aku juga sedang mencari ayahku. Tapi sekarang tolong kau di sini saja." Aku meyakinkan April karena meski dia wanita ahli kungfu, badai ini berbahaya untuknya. Kungfu tidak bisa melawan badai salju Himalaya.
Tiba-tiba April bergegas maju menyerobot jalanku dan langsung berlari dengan cepat ke balik batu yang jalannya menanjak dan sosoknya menghilang. Aku berlari menyusulnya.
Tapi baru saja aku akan berbelok, April kembali lagi dengan masih berlari dan meraih tanganku. April menarikku dan juga Bimo untuk merapat ke dinding batu dan dia memberi isyarat dengan menaruh telunjuk di bibirnya.
Karena melihat tingkah April, secara spontan aku menoleh ke arah dia lari tadi. Selang beberapa detik setelah kami berdiri mematung, sebuah sosok besar muncul dari sana. Dia berjalan pelan dan berdiri dengan tegak, lalu berhenti beberapa meter dari tempat kami tanpa menoleh ke sini.
Makhluk itu tinggi, mungkin hampir tiga meter. Badannya besar dan kekar tertutup bulu-bulu yang sangat lebat dan panjang berwarna putih kelabu, hingga bulu di kakinya bisa menyentuh salju tempatnya berdiri. Seluruh tubuhnya ditutupi bulu kecuali pada wajah, tangan dan telapak kaki. Sepintas wajahnya seperti gorila tapi bagiku malah mirip seorang pertapa yang memakai mantel bulu, karena ada kumis panjang yang tumbuh di atas bibirnya.
Makhluk itu terus menatap ke depan dan aku berharap jangan sampai dia melihat ke sini. Dia mendengus, lalu dengan cepat berjalan ke depan ke arah kami datang tadi.
Untuk beberapa saat kami tidak bergerak atau berkata apapun selain memandang ke arah makhluk itu pergi dan tak terlihat lagi karena badai salju.
"Semoga dia jatuh ke jurang tadi," kata Bimo dengan pelan.
Kami bertiga lalu terduduk bersamaan sambil bersandar ke batu setelah setengah mati menahan nafas dan jantung yang berdetak cepat. Kulihat wajah April masih tersirat rasa khawatir dan takut.
"Tenanglah, bukankah ayahmu sudah hafal betul tempat ini dan bukan pertama kali ke sini?" kataku menenangkan April.
"Memang, tapi terakhir dia ke sini sudah sepuluh tahun yang lalu." April menangkupkan kedua telapaknya yang bersarung dan menempelkannya ke bibir.
"Ayahmu spesial, April, seperti ayahku. Jangankan badai salju dan makhluk tadi, badai topan dan makhluk paling mengerikan pun tak mudah mengalahkan mereka. Apalagi dia bersama Nick, dia kuat dalam menghadapi apapun."
Saat aku sedang berbicara dengan April, rupanya Bimo mengeluarkan peralatan dari dalam ransel. Dia membuka selimut bulu dan kami jadikan alas untuk duduk untuk menghindari dingin menunggu badai reda, lalu tenda yang harusnya didirikan, kami gunakan kainnya untuk menyelimuti tubuh kami yang duduk berhimpitan. Sekali lagi, Bimo terlihat cukup pintar dan serius untuk beberapa saat. Ya, cukup pintar saja, karena sangat pintar tak cocok untuknya.
"Apa ayahku pernah berkata –jika badai salju seperti ini, para Meh-Teh akan bermunculan?" kata April.
"Meh-Teh?" tanyaku dan Bimo secara bersamaan.
Belum sempat April menjawab, terdengar suara geraman yang mengejutkan kami dari arah depan. Sepertinya makhluk itu kembali ke sini.
....