"Themeus, Novus. Nick, apa ayahku itu orang Themeus?"
"Aku bahkan baru tahu istilah itu, Junior. Jika nama itu adalah sebutan untuk orang-orang yang berusaha menahan para monster untuk tetap pada tempatnya, mungkin jawabannya adalah --ya!"
Nick yang duduk di sebelahku menjawab pertanyaan tanpa menatapku, pura-pura sibuk dengan membolak-balik majalah tentang pariwisata di tangannya. Tidak mungkin jika dia hanya punya sedikit pengetahuan tentang hal itu karena sudah bertahun-tahun bersama ayahku.
"Menurutmu, seperti apa dunia pada masa lalu saat masih penuh perseteruan antara manusia dengan monster?"
"Mungkin kau bisa membayangkan sendiri, Junior. Yang aku takutkan, sebentar lagi dunia akan kembali seperti dulu lagi."
Semoga itu tak akan terjadi, aku harus segera menguak misteri ini dan mencegah segalanya. Aku yakin ayahku pun berusaha seperti itu.
"Apa yang sudah kau ketahui tentang negeri abadi yang tersembunyi di Himalaya, Nick?"
"Tidak banyak, Junior. Aku terlalu sibuk belajar tentang makhluk-makhluk legenda hingga melupakan tetang 'tempat-tempat' legenda. Tapi tenang saja, aku sudah mendapatkan banyak petunjuk tentang itu dari teman ayahmu yang kemarin telah aku kunjungi."
"Lalu apa saja yang kau peroleh dari kunjunganmu ke Cina waktu itu?"
"Yaah. Aku bertemu dengan seorang lelaki tua yang berpenampilan kuno seperti terisolir dari dunia luar, sedikit pendiam dan pikun."
"Maksudmu?"
"Penampilannya seperti tabib-tabib Cina kuno, kau tahu?"
Nick memperagakan gerakan seolah dia mempunyai jenggot yang panjang dan sedang membelainya, lalu dengan konyolnya dia menggerak-gerakkan tangannya seperti memperagakan jurus sebuah aliran beladiri lalu tertawa terkekeh dan kembali membaca majalahnya.
"Mungkin kau bertemu dengan Wong Fei Hung, Nick."
Nick tertawa keras mendengar perkataanku hingga bisa kulihat beberapa orang yang duduk tidak jauh dari kami menatapnya,merasa terganggu.
Di kursi yang lain, kulihat Bimo sudah berada di alam mimpinya. Tidur lelap dengan posisi duduk dengan tubuh menekuk ke samping, melihatnya pun membuat punggungku pegal sendiri.
Aku menggeser pantat dari tempat dudukku lalu menatap ke luar dari jendela. Kumpulan awan-awan putih seperti kapas yang menggumpal berada di bawahku, bersemu jingga karena kilau matahari yang sudah condong ke arah barat. Termangu bertumpu pada tangan kiri, aku membayangkan apalagi yang akan kuhadapi dan kutemukan nanti. Perjalan panjang baru dimulai.
....
Kami tiba di sebuah kota bernama Lasha, ibu kota dari Tibet. Setelah perjalanan yang cukup melelahkan karena setelah turun dari pesawat yang mendarat di sebuah kota di Cina, kami meneruskan perjalanan ke sini dengan kereta api. Sebenarnya ada sebuah bandara kecil di kota ini, tapi kami tidak bisa langsung menuju ke sana, dan naik kereta api menurutku ide yang lumayan.
Jika menyangka Tibet adalah sebuah negara pada saat ini, maka itu salah. Karena Tibet adalah sebuah provinsi dengan otonomi khusus di bawah kekuasaan Cina. Mungkin dulu iya, Tibet sebuah kerajaan yang dipimpin oleh Dalai Lama dan bukan bagian dari Kerajaan Dinasti yang ada di Cina. Cukup rumit sebenarnya jika aku berbicara tentang sejarah kerajaan yang sudah lama aku kagumi ini, tempat yang suci dan menyimpan sejuta misteri. Kalau terlalu panjang lebar bercerita tentang penjajahan dan lain-lain, bisa-bisa aku ditangkap oleh pihak berwenang dari Cina.
Lhasa tempat yang begitu menakjubkan, kota campuran antara kuno dan modern, berteknologi namun bernuansa tradisional dengan kemegahan Istana Potata yang menjulang. Jalanan lebar dan tidak banyak kendaraan yang berlalu-lalang, tapi di sini sangat dingin, tentu saja karena ini adalah pegunungan Himalaya. Puncak-puncak bersalju abadi terlihat jelas dari sini, seolah kita bisa menggapainya dengan genggaman tangan.
Aku memandang ke arah deretan puncak-puncak bersalju, ke sana-lah besok kami akan kembali berpetualang dan menghadapi segala misteri. Aku tak sabar lagi.
....
Pagi hari saat matahari masih bersinar hangat dari timur, masih dalam keadaan mengantuk, kubuka jendela kamar penginapan yang menghadap ke halaman tengah di sebuah penginapan bergaya Cina kuno --Nick yang memilih penginapan ini-- dengan lantai dari batu-batu persegi yang ditata rapi dan deretan tanaman-tanaman bunga pendek. Aku melihat seorang pria berada di tengah halaman itu, melakukan gerakan-gerakan pelan tapi teratur seperti senam atau seperti jurus beladiri, entahlah. Pria dengan wajah oriental yang sudah cukup tua dengan rambut pendeknya yang sudah kelabu disisir rapi ke belakang, dan dia memiliki jenggot sampai ke leher. Berbaju khas Cina kuno berwarna hitam dengan bagian putih memanjang dari dada ke bawah dan bercelana hitam, jika kau pernah melihat film-film kungfu, maka mungkin kau akan menyangka bahwa dia adalah salah satu aktor di film itu.
Tanpa sadar aku terus memperhatikan orang tersebut cukup lama, menikmati setiap gerakan yang dibuat olehnya, tenang dan hanyut seperti air yang mengalir. Aku iseng meniru gerakannya dari dalam kamar, meski tidak sama karena kumodifikasi sendiri, lumayan buat senam pagi.
Saat masih menirukan gerakan-gerakan asing itu dan berbalik, ternyata Bimo sudah berdiri di ambang pintu kamar yang terbuka dan tentu saja melihatku sedang melakukan 'senam pagi' tadi.
"Sedang apa, sih?" tanya Bimo padaku yang menghentikan gerakan dan mematung cukup lama.
"Ehm," aku langsung berdiri tegap dan menghadap ke Bimo. "Kau benar-benar tidak bisa mengetuk sebelum masuk ke rumah atau kamar orang."
Bimo memang seperti itu, ingat -kan, saat tiba-tiba dia masuk ke perpustakaan sambil membawa kertas laporan?
"Hei, saat masuk ke rumah di atas gunung itu, aku mengetuk pintu dan permisi dulu. Aku sudah berubah, Yod."
"Dasar, bodoh," gumamku pelan.
"Kau dipanggil Profesor, aku akan menunggumu di sebelah halaman. Kita makan, Yod."
"Ya, ke sana-lah dulu. Aku akan mencuci muka."
Bimo lalu pergi meninggalkan kamarku. Sepertinya dia pun baru bangun, bahkan dia belum mengganti pakaian dari kemarin mungkin karena masih merasa dingin sehingga dia terus memakai jaket tebal.
Setelah mencuci muka dan mengenakan pakaian hangat, aku menuju ke sebuah teras di samping halaman yang kulihat tadi. Di sana terdapat sebuah meja makan yang sudah penuh makanan. Nick dan Bimo sudah duduk di sana ditemani seorang yang kulihat tadi melakukan gerakan senam.
"Itu, dia," kata Nick melihatku sambil tersenyum. Sepertinya kata-kata tadi ditujukan pada si pria tua.
Aku menganggukan kepala saat akan bergabung bersama mereka. Pria itu menatapku cukup lama tanpa ekspresi, aku agak risih diperhatikan seperti itu.
"Junior, ini Liu teman ayahmu yang pernah kuceritakan, kau bisa memanggilnya Paman Liu. Dan - Liu, ini putra satu-satunya dari kolegamu itu, tentu saja aku juga pernah menceritakannya padamu, hahaha."
Aku tersenyum dan kembali menganggukkan kepala pada Paman Liu tanpa berkata apapun, begitu juga dia, tidak berkata apapun dan melihatku, bedanya tidak ada senyum darinya.
"Kalau aku -sih sudah kenalan tadi," kata Bimo yang seperti biasanya suka menyambung pembicaraan. "Bahkan aku sudah memintanya mengajariku gerakan taichi."
Bimo memperagakan sebuah gerakan dengan tangan yang kulihat pagi tadi.
"Jadi itu namanya?" kataku sambil menyuapkan bubur ke mulutku.
"Benarkah kau anaknya Edward?" tanya Paman Liu padaku tiba-tiba. "Kau tidak terlihat seperti dia."
Masih dengan wajah kaku, dia menatapku. Aku mulai sedikit tidak suka pada sifatnya.
"Tentu saja, lihat saja wajahnya," Nick yang menjawab pertanyaan Paman Liu.
Paman Liu masih saja melihatku dengan pandangan yang tidak mengenakkan.
"Kau masih hijau tentang dunia bawah," katanya lagi
"Dia masih muda," kembali, Nick yang menjawabnya.
"Kau tidak sehebat ayahmu."
"Ya, seperti itulah," jawabku dengan nada kesal. "Aku tidak sehebat dan tidak akan pernah bisa sehebat beliau, karena tidak ada seorangpun yang bisa sehebat ayahku termasuk anda, Paman. Dan aku akan membuktikan setidaknya aku bisa saja lebih hebat dari anda."
Aku menyuapkan bubur dengan cepat ke mulutku dan merasa sangat marah.
"Hahaha," tiba-tiba Paman Liu tertawa, yang sebelumnya kukira dia akan marah pada jawabanku. "Jawabanmu tadi meyakinkanku kalau kau adalah seorang Pranayodha."
Nick dan Bimo ikut tertawa mendengar jawaban Paman Liu yang sebelumnya terlihat tegang. Suasana pun mencair saat kami sarapan bersama. Paman Liu yang tadi terlihat kaku pun bisa beberapa kali tertawa dengan candaan Bimo dan Nick.
"Jadi kalian siap memulai perjalanan?" tanya Paman Liu.
"Tentu saja, Paman," jawab Bimo tanpa ragu-ragu.
"Tidak mudah untuk menemukan tempat terlarang itu, dan semoga kalian punya sedikit pengalaman berkemah."
"Berkemah?" tanya Bimo lagi.
"Ya, tentu saja. Tapi kita akan berkemah beralaskan salju yang menusuk tulang."
Bimo menggerakkan badan seolah sedang menggigil mendengar kata dari Paman Liu, membayangkan betapa dinginnya nanti.
"Dan hati-hati dengan makhluk yang satu ini."
Paman Liu melemparkan selembar kertas kusam yang sudah berwarna kecoklatan ke meja. Kami bertiga selain Paman Liu, kompak melihatnya. Terlihat gambar wajah yang digambar dengan tinta dan digambarkan dengan cara sketsa tradisional namun terlihat cukup jelas. Sebuah wajah dengan mata bulat lebar, mulut dan hidung besar dan kepala yang dipenuhi bulu, hampir seperti gorila tapi memiliki hidung yang berbeda.
"Aku tahu makhluk yang satu ini," kata Nick.
....
"Hei, kau bilang kalau kau bisa sehebat ayahmu dan lebih hebat dariku, kan?" tanya Paman Liu. "Kalau begitu ayo kita bermain sekarang."
"Memangnya apa yang Paman maksud dengan 'hebat'?"
"Aku belum pernah mengalahkan Edward bermain catur cina, kau bilang bisa lebih hebat dariku, kan? Ayo kita buktikan," kata Paman Liu.
Aku hanya menggaruk kepala dan menyesali kata-kataku tadi.
...