Aku tidak bercerita tentang kelompok pemuja Echidna yang ingin membebaskan monster-monster itu pada Ibe. Kurasa knocker satu ini pun tidak mengetahui hal itu, dia hanya tahu bahwa ada kumpulan manusia yang berhubungan baik dengan Ibe dan kaumnya.
"Sobat, jika kau mau mengantar kami dan dapat menemukan petunjuk tentang orangtuaku, aku akan sangat berterimakasih padamu," kataku.
Ibe mengeluarkan beberapa lembar kertas usang yang kosong, mengambil sebotol tinta dan sebuah benda lancip seperti pena yang sepertinya terbuat dari tulang. Aku sedikit heran dengan yang dilakukannya, dan saat Bimo akan bertanya, Ibe menaruh telunjuknya di bibir, memberi tanda untuk diam.
Dia menulis di kertas, 'TETAPLAH BERBICARA!'
Aku heran, bagaimana bisa seorang peri sepertinya bisa menulis dengan huruf-huruf yang digunakan oleh manusia. Lalu aku pun membalasnya, 'ADA APA, SOBAT?'
'TETAPLAH BERBICARA, MEREKA MENGAWASI!' tulis Ibe lagi sambil menampakkan wajah marah, tapi memang seperti itulah wajahnya.
"Terimakasih," jawabku sambil tersenyum padanya dan sambil menulis di kertas untuk membicarakan hal yang 'rahasia' bersamanya. "Kau cukup mengantar kami dan biar kami saja yang akan masuk ke sana."
Kami semua mengobrol dan berbicara seperti biasa di dalam rumah Ibe, termasuk Bimo dan Kinan, dan kami juga melakukan 'obrolan' menggunakan kertas yang disiapkan Ibe.
Dan akhirnya kami tahu, apa yang terjadi di dunia peri ini. Sebelumnya, peri-peri di sini, bersahabat dengan manusia dan yang paling mereka percaya adalah para Ksatria Themeus, yaitu orang-orang yang mengurung Echidna dan menyimpan kuncinya di sini.
Setelah mereka menghilang, muncul seseorang yang mengaku sebagai raja dan berkuasa di sini. Bekerja sama dengan peri-peri 'hitam' yang cenderung memusuhi orang-orang Themeus, pria yang bernama Lagash ini memaksa dan mengancam seluruh peri. Hampir seluruh knockers yang merupakan saudara dan keluarga dari Ibe dipaksa mengikutinya.
Tujuan dari Lagash hampir sama seperti orang-orang Novus –seperti Adam Arnett dan lainnya—yaitu membebaskan apa yang telah dikurung, akan tetapi Lagash berdiri sendiri bahkan cenderung memusuhi mereka. Akhirnya aku tahu ternyata Ibe malah lebih mengetahui dari pada aku sendiri tentang hal itu.
Ibe melakukan hal ini –mengobrol menggunakan kertas—karena dia selalu diawasi, saat ini mereka mungkin tidak bisa melihat ke dalam rumah, namun dinding pun memiliki telinga.
Kinan pun akhirnya mengaku dan bercerita tentang Lagash, tapi dia melakukan itu karena dia memang sebenarnya telah curiga dan khawatir denganku. Daripada membiarkan aku diburu olehnya, lebih baik langsung menghadapinya.
Kami merencanakan apa yang akan kami lakukan, tetap berpura-pura seolah tidak mengetahui apapun dan mengikuti 'skenario' yang telah disusun oleh Lagash bahwa Ibe diperintahkan untuk membawa kami pada Redcap.
Ibe lalu menulis sebuah tulisan yang lumayan panjang dengan huruf-huruf yang tidak bisa kubaca, menggulung kertas tersebut dan menyelipkannya di bawah tempat tidurnya. Dia memberitahuku lewat tulisan bahwa kami tidak sendiri, pesan tadi untuk teman-temannya.
"Lalu kapan kita akan kesana?" tanya Ibe padaku.
"Sekarang juga," jawabku.
"Huh, manusia memang suka tergesa-gesa, ya."
....
Beberapa knockers keluar menghampiri kami dan Ibe dari kegelapan pohon-pohon. Mereka membawa palu tambang dan sebagian ada yang terluka. Ternyata jumlah mereka lumayan banyak, mungkin lebih dari dua puluh.
Kami semua berkumpul menjadi satu kelompok dan berhadapan dengan Lagash yang sepertinya telah pulih. Pria gondrong itu berdiri dan berteriak, lalu dari kegelapan muncul berbondong-bondong goblin dalam jumlah besar, puluhan .... tidak -- ratusan! Makhluk-makhluk kecil itu terus keluar dari kegelapan. Tidak hanya goblin, aku bisa melihat beberapa ekor troll yang besar.
"Rupanya kalian tidak bodoh," kata Lagash dengan wajah tenang dan mengusap darah pada lukanya. "Aku siap main kasar."
"Kau sudah main kasar dari awal, tahu!" teriak Kinanti.
"Sepertinya kita kalah jumlah!" kata Bimo.
"Kau takut, Bimo?" tanyaku.
"Sama sekali tidak."
Bimo mengeluarkan ketapel dan memasang kuda-kuda, wajahnya tidak menunjukkan takut sedikitpun meski musuh begitu banyak. Sedangkan Kinanti, dengan ekspresi wajah tegang, dia menggenggam goloknya dengan erat.
"Tidak seperti Bimo yang sok jago, aku tidak akan bohong jika aku memang sebenarnya takut," kata Kinanti tanpa aku tanya.
Suara raungan dan erangan terdengar dari makhluk-makhluk tanah pengikut Lagash yang siap memburu kami yang kalah jumlah.
Redcap yang terluka parah dan berada di samping Lagash, perlahan-lahan bangkit dengan bertumpu pada tongkatnya yang berbahaya. Aku masih ingat bagaimana dia menggunakannya untuk memotong tubuh goblin tanpa terlihat. Dan tiba-tiba, dengan gerakan yang sangat cepat, makhluk itu melesat ke arah kami dengan menggunakan tongkatnya.
Dor!
Bruk!
Tubuh Redcap yang melompat terjatuh ke tanah setelah suara ledakan pistol. Aku yang menembaknya. Pistol pemberian Albert dari Tuan Rusman ini selalu kubawa sejak awal dan mungkin tidak ada yang mengetahuinya, bahkan pada saat goblin-goblin itu mengikatku dan yang lainnya tadi, benda ini digeletakkan begitu saja di tanah karena mereka tidak tahu.
Semua menampakkan wajah terkejut, bukan hanya Lagash, tapi semuanya, kecuali Bimo sepertinya.
"Luk, kau punya pistol!"
"Ya, Kinan. Jangan berkata keras seperti itu."
Kinanti memukul bahuku, entah apa maksudnya.
Lagash menatapku, seolah baru pertama kali melihat yang namanya pistol. Mungkin senjata ini membuat pria angkuh itu sedikit gentar. Mungkin.
"Hooo, ternyata kau memiliki senjata yang berbahaya, Yodha," kata Lagash. "Aku terlalu meremehkanmu, ternyata kau mempersiapkan segalanya termasuk dengan makhluk cebol berjenggot itu juga."
"Menyerah saja, Lagash. Lepaskan kami dan suruh semua makhluk-makhluk itu pergi," kataku.
"Oolky mungkin ceroboh sehingga membuka celah dan bisa kau serang, tapi tidak denganku," kata Lagash lagi.
Ya, ampun. Ternyata Lagash memang berasal dari jaman entah kapan. Dia kira pistol ini seperti pedang, apa?!
Dor!
"Aaargh!"
Aku menembak kaki Lagash hingga ia jatuh bersimpuh.
"Aku bisa membunuhmu dari jauh, Lagash! Bahkan aku bisa membunuh seluruh pasukanmu itu!"
Semoga saja dia tidak tahu kalau pistol juga punya peluru yang terbatas. Lagash diam sambil menunduk, lalu tiba-tiba mengangkat wajahnya dan menatapku dengan penuh kemarahan.
Ctak!
Sebuah kerikil mendarat di kepalanya, namun tidak terlalu keras, dan aku tahu siapa pelakunya.
Tiba-tiba dua ekor troll yang tubuhnya besar berdiri menutupi Lagash hingga sosoknya tidak terlihat. Lalu goblin-goblin yang sangat banyak itu mulai berlarian ke arah kami.
Aku menembaki troll yang melindungi Lagash, tapi rupanya mereka sangat kuat. Seekor troll roboh setelah lima peluru bersarang di tubuhnya, tapi muncul troll yang lain.
Beberapa goblin telah mencapai kami. Kami semua berhadapan dengan susah payah dengan mereka, bahkan aku merasakan luka sayat di kaki.
"Lari!" teriak Ibe. "Semuanya ikuti aku!"
Kami semua berlari mengikuti Ibe dan dikejar oleh banyak sekali goblin. Berlari berkelok-kelok menghindari pepohonan. Sedangkan di belakang kami, tubuh-tubuh goblin yang kecil dengan mudahnya menghindari itu, dan troll yang badannya besar, berjalan dengan merobohkan pohon-pohon mengejar kami. Sekilas bisa kulihat cahaya-cahaya hijau berhamburan berlari menjauh, para pixie pasti ketakutan dengan kekacauan ini.
Ibe dan knockers lain, meski kecil tapi mereka pelari yang hebat. Aku harus berusaha berlari lebih cepat untuk mengimbangi kecepatan mereka, dan Kinanti, tak kusangka dia seperti atlet marathon olympiade. Aku dan Bimo berlari paling belakang, bukannya kami payah, berlari melalui hutan yang remang-remang bukanlah hal yang mudah. Ingat itu. Belum lagi akar-akar besar yang menyembul dan tak terlihat sangat menyulitkan untuk berlari cepat.
Aku tersandung sesuatu dan jatuh, dan saat itu juga seekor goblin membawa belati melompat ke arah tubuhku. Sepersekian detik lagi, belati goblin itu akan menancap di tubuhku, tapi sebuah tendangan dari seseorang mementalkan tubuh goblin hingga menabrak pohon dengan konyolnya.
Dia –yang menendang goblin tadi—berdiri di depanku dan mengulurkan tangannya membantuku berdiri. Remang-remang hanya bisa kulihat siluetnya tapi aku yakin dia adalah seorang pria.
"Ayah?" bisikku.