Saat aku berdiri dan wajah kami berhadapan, bisa kulihat dengan jelas, ternyata dia botak. Ayahku tidak botak tentu saja. Rupanya dia bukan ayahku, bahkan bukan manusia, dia urisk yang sebelumnya bertemu denganku saat aku nyasar. Makhluk penunggu kolam yang memiliki sepasang kaki seperti kambing dan buruk rupa itu telah menolongku. Entah kenapa pikiranku di sini hanya ayahku melulu, sebelumnya saat Bimo menyelamatkanku pun begitu.
"Maaf mengecewakanmu, aku sama sekali bukan ayahmu," katanya. "Kau baik-baik saja?"
"Oh, tentu saja. Terima kasih telah menolongku, kawan" jawabku.
"Namaku Ted. Ayo kita pergi!" kata makhluk itu tanpa menanggapi ucapanku, dan sepertinya aku tidak bertanya siapa namanya.
"Oh, oke, Ted."
Aku dan Ted siUrisk kembali berlari menjauh. Tak kulihat dimana Bimo, mungkin saat aku terjatuh tadi, dia tidak melihat dan meninggalkanku. Beberapa kali, goblin mampu menjangkau kami, tapi Ted dengan mudah menghalaunya. Aku sudah menggunakan banyak peluru, satu untuk Redcap, satu untuk Lagash, dan lima untuk seekor troll. Aku sedikit menyesal dengan yang terakhir, lima terlalu boros hanya untuk membunuh seekor makhluk, kini hanya sebutir peluru yang tersisa, beruntung Ted datang menolongku.
Tak lama, aku sampai di pinggir hutan dan keluar dari sana. Kulihat rombongan Ibe dan Kinanti berkumpul, berdiri di tempat lapang dan melambai padaku, aku dan Ted bergabung dengan mereka.
"Siapa dia?" tanya Kinanti melihat pada Ted dengan wajah terkejut.
"Dia Ted, temanku," jawabku sambil terengah-engah, lambungku sakit karena berlari tadi.
Ted tersenyum dan membungkukkan badan di hadapan Kinanti, sedangkan wanita itu dengan senyum yang dibuat-buat melambai pada Ted.
"Ayo!" teriak Ibe mengajak kami kembali pergi menjauh.
"Tunggu sebentar," kataku. "Bimo belum terlihat."
"Benar juga, dimana si bodoh itu?" kata Kinanti.
Kami belum pergi dari sana, tapi kulihat goblin-goblin keluar dari dalam hutan, berbondong-bondong mereka keluar dari sela-sela pohon seperti kutu yang bermunculan dari beras --aku pernah beberapa kali membersihkan beras sendiri waktu kecil. Semakin lama semakin banyak dan berlari menuju kami.
"Makhluk sialan ini tidak ada lelahnya," kataku.
Baru saja kami akan kembali kabur, tiba-tiba tanah bergetar dan suara raungan keras terdengar dari hutan. Goblin-goblin yang sedang mengejar kami pun berhenti dan semua menoleh ke arah hutan tempat kami keluar tadi. Makhluk-makhluk kecil beterbangan dari hutan seakan menghindari suatu bahaya yang mengerikan.
Tanah terus bergetar diiringi suar gemuruh yang semakin lama semakin terdengar lebih dekat.
Lalu tiba-tiba, muncul sesuatu yang besar dan tinggi, tingginya melebihi pohon dan keluar dari hutan dengan merobohkan pohon-pohon. Sesuatu yang besar itu mempunyai sepasang mata yang menyala biru, tubuhnya berwarna kelabu seperti batu dan berbentuk seperti manusia raksasa. Tangannya menggapai-gapai goblin-goblin di depannya yang kocar-kacir ketakutan, dan goblin yang mampu diraihnya, dilemparkan begitu tinggi dan jauh, dan sebagian goblin harus mati gepeng seperti lalat yang ditepuk dengan tangan raksasa.
"Mungkinkah itu ...." bisik salah satu knockers tidak melanjutkan kata-katanya, lalu beberapa dari mereka mulai ribut berdebat.
Kini aku tahu, 'sesuatu' itu adalah Erlkonig, sang Raja Peri yang kepalanya tadi menjadi pintu gerbang tempat menyimpan segel, dan entah bagaimana sekarang benda itu hidup dan membuka matanya yang sebelumnya terlihat terpejam dan menjadi makhluk raksasa dengan tubuh yang begitu besar dan suaranya menggelegar.
"Wow! Apalagi itu?" seru Kinanti. "Tapi apapun itu, dia sepertinya berada di pihak kita."
"Aku tidak yakin," jawab Ibe. "Dia tidak berada di pihak manapun. Lebih baik kita bergegas."
Aku tidak mendengar sebagian isi percakapan dari mereka karena terlalu kagum dengan apa yang sedang kulihat. Aku tersadar saat Kinanti menarik lenganku untuk kembali berlari. Aku pun ikut berlari menjauh dari sana meski mataku masih melihat ke arah makhluk raksasa yang sedang mengamuk itu, benar-benar mengagumkan!
"Bimo! Dimana dia?" seruku pada yang lain. "Kita harus mencarinya dulu."
Aku pun berhenti berlari. Aku tidak akan meninggalkan Bimo. Melihatku berhenti, yang lain pun ikut berhenti.
"Dasar, merepotkan saja," kata Ibe.
Aku menatap ke arah hutan dan mengingat-ingat. Aku tak melihatnya begitu aku terjatuh, lalu dia entah menghilang kemana.
"Kalian semua, pergilah dulu! Biar aku pergi mencari Bimo," kataku.
"Aku akan menemanimu," kata Ibe. "Kau tidak tahu di mana yang kita tuju, hanya aku dan knockers yang lain saja."
Aku mengangguk pada Ibe, lalu dia memerintahkan teman-temannya untuk menuju jalan keluar bersama Kinanti terlebih dahulu. Aku memperingatkan Kinanti untuk berhati-hati dan menjaga segel bersamanya sebelum akhirnya mereka pergi, dan menyuruh Ted untuk melindungi Kinanti, meski Kinanti malah terlihat ketakutan karena melihat Ted.
Aku dan Ibe kembali menuju hutan. Kali ini malah lebih sulit dari pada keluar dari sana tadi, karena di depan hutan yang sebagian besar pohon-pohonnya telah roboh itu, kini dihadang oleh batu hidup yang berukuran raksasa yang sedang mengamuk. Aku dan Ibe harus berlari dan melompat menghindari serangan Erlkonig. Telat sedikit saja, kami bisa gepeng dan menjadi dendeng untuk makan malam peri, tapi peri tidak memakan manusia, untunglah.
Goblin-goblin yang tadi menyerangku, kini tidak lagi memperdulikanku, bahkan saat aku melewati mereka. Sebagian dari mereka kabur, mati, dan yang mempunyai keberanian, berusaha menyerang Erlkonig dengan menaiki tubuhnya dan menusuk-nusuk dengan senjata mereka meski itu sia-sia, berani tapi bodoh.
Kami kembali memasuki hutan setelah melompati seekor mayat troll yang kepalanya hancur. Aku mencoba mengingat jalan yang kami lewati tadi saat keluar, tapi keadaan hutan telah berubah porak poranda.
"BIMO!!!" aku berteriak kencang memanggil Bimo.
"Ya?"
Sialan! Aku berteriak sangat kencang, malah orangnya tiba-tiba muncul mengagetkanku dari balik pohon yang roboh dan dekat sekali denganku.
"Dari mana saja kau?" tanya Ibe.
Kulihat Bimo memegangi lengannya dan sepertinya berdarah, dan yang kulihat hanya nyengir kuda. Sebuah luka sayat terlihat hingga merobek bajunya.
Lalu tiba-tiba datang Lagash dengan pedang di tangannya. Berjalan dengan kaki diseret, dia mendatangi kami. Kepala terlihat berdarah, mengalir dari kening ke wajahnya yang lusuh. Dia menatap tajam ke arah kami dengan kebencian tanpa menghilangkan senyum sinisnya.
Tak kusangka, bukannya melawan, Lagash menjatuhkan pedangnya dan mengangkat tangannya. Tanpa rasa takut, dia tersenyum dan tertawa pelan.
"Pranayodha memang hebat, tidak hanya kau, ayahmu juga. Hehehe," kata pria itu. "Dia memiliki teman-teman yang hebat, dan kau juga."
"Aku tahu jika aku dan ayahku memiliki teman yang hebat, tidak seperti kau yang sendirian," kataku masih mengancamnya dengan pistol.
Lagash mengusap rambut panjangnya dan menghela napas, "memangnya kau tahu apa tentang ayahmu? Kau harus banyak bertanya padaku, kau mencarinya bukan?"
"Kau kira dengan berkata begitu, aku tidak jadi membunuhmu?"
"Ayahmu tidak akan senang jika aku mati, Yodha. Kami sama-sama menghancurkan Novus," kata Lagash lagi.
"Berhenti bicara tentang ayahku seolah kau mengetahuinya,"
"Aku memang ...."
DOR!
Aku menarik pelatuk pistolku.