Entah apa yang aku pikirkan hingga mampu membunuh manusia yang sudah tidak berdaya. Peluru menembus dada Lagash hingga ia jatuh bersimpuh di depanku.
"Aku akan mencarinya sendiri. Aku tidak percaya sama sekali omong kosongmu, orang yang pandai berpura-pura,"
Mata Lagash menatapku, lalu beralih ke Bimo. Berdiri di atas lututnya, dia masih tertawa sesak dengan mulut yang mengeluarkan darah.
"Kau lah yang mengacaukan dunia peri disini," kata Lagash, entah ditujukan padaku atau Bimo, lalu dia mati jatuh terjerembab ke tanah.
"Ayo, pergi!"
Seperti sebelumnya, jalan untuk kesana pun dihalangi oleh Erlkonig yang besar dan sedang mengamuk. Benar-benar melelahkan.
Tiba-tiba tanah terlihat gelap untuk sesaat. Lalu terjadi lagi, seolah bulan di atas sana berkedip.
Ternyata itu adalah bayangan seekor makhluk yang sangat besar yang terbang melintasi langit hingga menutupi bulan biru. Apa itu naga? Tapi siluetnya tidak terlihat seperti naga karena sayapnya berbeda. Griffin? Tidak ada griffin sebesar itu. Tapi apapun itu, makhluk raksasa itu menyerang Erlkonig hingga makhluk batu itu roboh dan sinar matanya hilang.
Setelah Erlkonig roboh dan tak bergerak, makhluk yang terbang tinggi hingga hanya terlihat siluetnya saja itu, terbang menjauh. Suara kepakan sayapnya sangat keras, dan sepertinya dia bertubuh mirip manusia raksasa dengan cakar burung.
Tak beberapa lama kami sampai ke tempat dimana kami bisa menuju dunia manusia. Di sana, Kinanti dan yang lainnya menanti kami. Sebuah tempat tersembunyi seperti tempat di mana kami tiba di dunia peri ini. Sebuah bukit yang ditumbuhi pohon besar kelabu di atasnya, dengan lorong yang mulutnya ditutupi sebagian akar-akar besar pohon itu, lorong yang menuju dunia manusia.
"Sobat, kau yakin tidak akan ikut denganku?" kataku pada Ibe.
"Dunia manusia itu menyebalkan, tidak ada gwonne hangat di sana," jawab Ibe.
"Banyak ulat di dunia manusia untuk membuat minuman kesukaanmu itu," kata Bimo. "Tapi ulat untuk makanan burung. Kau mau? Hahaha."
"Hei, kau, orang bodoh. Jika aku berkunjung ke dunia manusia, akan kusiram wajahmu itu dengan sepanci gwonne yang baru matang!" kata Ibe marah-marah.
"Oh, aku menantikan itu," kata Bimo. "Datanglah kapan saja."
Mereka berdua lalu bersalaman dan kulihat kedua tersenyum, wajah Ibe berubah ramah.
Aku mengucapkan salam perpisahan pada Ted dan knockers lainnya, dan meninggalkan dunia peri. Sebelumnya, Ibe berkata bahwa pintu satu ini jarang digunakan. Tapi aku yakin, itu tetap menuju duniaku.
Aku meninggalkan dunia peri dengan segala kemisteriusannya, rahasia yang ada di sana. Meski begitu, masih banyak pikiran yang mengganjal tentu saja. Bertemu dengan Lagash, membuka rahasia baru tentang 'perburuan' Echidna dan keturunannya. Dan kata-kata Lagash yang sepertinya mengetahui benar tentang ayahku, membuatku berpikir, apakah keputusanku untuk menghabisinya adalah keputusan yang benar, bukankah harusnya dia bisa menjadi kunci untuk mencari ayahku? Tapi ketidak jujurannya membuatku sama sekali tidak mempercayainya. Aku bahkan belum seluruhnya menguak dari mana ia berasal.
Ada satu hal lagi, saat aku menemukan Bimo, tak lama berselang Lagash muncul, dan keadaan mereka sangat payah, apakah Bimo bertarung dengan Lagash? Kurasa iya. Tapi bagaimana Bimo bisa melawannya, sedangkan Lagash kukira cukup hebat dalam berkelahi meski terluka. Aku mengetahui semuanya tentang Bimo, atau mungkin belum, kadang dalam pikiranku ada sesuatu pertanyaan yang tidak sanggup untuk kutanyakan padanya. Entahlah, yang penting Bimo dan kami semua selamat. Lebih penting lagi, aku mendapatkan segel itu dan menguak misteri makhluk tanah yang tersembunyi.
File makhluk tanah ditutup.
....
Orang-orang berlalu-lalang di jalanan dari tanah. Seorang wanita muda menggunakan kemben dari kain batik, tersenyum dan menganggukkan kepalanya padaku saat kami berpapasan. Rambutnya disanggul, berkulit kuning langsat, dan berwajah manis tanpa riasan, dia berjalan sambil membawa sebuah bakul nasi berisi sayuran. Lalu seorang bapak-bapak bertelanjang dada dan hanya mengenakan celana dililit kain jarik, menyapa kami dengan ramah sambil memikul sebuah pikulan yang berisi singkong.
Kami berada di sebuah desa di kaki gunung. Kukira, kami akan muncul tidak jauh dari rumah gunung di mana kami masuk ke dunia peri, tapi sepertinya ini cukup jauh. Dan anehnya, seluruhnya yang ada di sini tampak kuno, seperti berada pada jaman kerajaan jawa jaman dahulu. Rumah-rumah kayu, jalanan dari tanah, dan pakaian tradisional yang sederhana.
"Kau ingat kata-kata Lagash yang mengatakan bahwa waktu di dunia peri berbeda dengan dunia manusia?" kata Bimo.
"Ya, aku ingat," jawabku.
"Apa mungkin kita terdampar ke masa lalu?" kata Bimo lagi.
"Seharusnya ke masa depan, kan?" sahut Kinanti. "Waktu di sana lebih lambat, jadi harusnya ke masa depan, tapi seberapa jauh, aku tak tahu."
"Ya, benar kata Kinan," kataku.
"Lalu kenapa kita melihat hal yang kuno seperti ini?" tanya Bimo
Aku tidak menjawab pertanyaannya, aku sibuk mengawasi sekeliling dan mencari jalan untuk pulang. Kudengar Bimo dan Kinanti mengobrol beradu argumen di belakangku.
"Permisi, Pak," sapaku pada seorang pria bertubuh besar yang berdiri di balik meja kayu penuh dengan sayuran, sepertinya dia seorang pedagang. "Ini desa mana, ya?"
"Oh, saudara mau kemana?" pria itu tidak menjawab, malah balik bertanya, tapi wajahnya sangat ramah.
"Saya akan menuju ke desa Wening, Pak," jawabku.
"Anda tinggal berjalan lurus saja mengikuti jalan ini," kata pria itu menunjukkan jalan menggunakan ibu jarinya.
"Terima kasih," kataku dan memberi salam padanya.
Kami berjalan menyusuri jalanan yang sepertinya sebuah pasar, karena di kiri dan kanan jalan, terdapat pedagang-pedagang sayuran, seluruhnya sayuran hijau yang segar. Dan anehnya, orang-orang yang datang membeli tidak memberi si pedagang uang, mereka hanya menyapa dan mengobrol dan mengambil sayuran. Enak sekali, sebuah pasar gratis? Tapi ada beberapa yang melakukan barter dengan menukar sayuran dengan kain atau singkong dan jagung.
Lama kami berjalan, sepertinya jalan ini tidak berujung, hingga kami merasa lelah. Tiba-tiba, dari belakang seseorang memanggil.
"Mas!"
Ternyata itu adalah pria yang tadi, pedagang sayur yang kami tanyai. Dia menghampiri kami dengan setegah berlari dan sambil tersenyum.
"Ada sesuatu yang ingin saya sampaikan," kata pria itu, wajahnya berbinar-binar seperti melihat artis yang ingin sekali ditemui.
"Ada apa, Pak?" tanyaku.
"Saya lupa bilang, saat kalian keluar dari sini, lebih jangan perhatikan apapun, pandanglah ke bawah saja!" katanya.
Aku heran dengan yang dikatakannya, bahkan Bimo dan Kinanti saling bertanya padahal mereka sama-sama tidak tahu jawabannya.
"Kenapa harus seperti itu?" tanyaku.
"Pokoknya saya mohon turuti saja. Dan ini, ada sesuatu untuk anda, bukalah jika sudah tiba di rumah. Selamat jalan," kata pria itu tersenyum lalu berlari menjauh.
Kami bertiga saling berpandangan dan mengangkat bahu bersama-sama. Aku melihat pemberian pria tadi, sebuah kantong kain berwarna hijau tua yang diikat rapat dengan sesuatu yang cukup berat di dalamnya, aku lalu mengantonginya.
"Bagaimana?" tanya Kinanti.
"Turuti saja," jawab aku dan Bimo bersamaan.
"Kalian sama konyolnya,"
Aku menuruti yang dikatakan oleh pria tadi, berjalan tanpa memperdulikan sekitar, menutupi mataku seperti teropong dan hanya memperhatikan langkah saja. Aku merasa konyol seperti memakai kacamata kuda. Semakin lama, jalan yang kami lewati mulai di tumbuhi rumput, hingga akhirnya kami berjalan di atas rumput sama sekali. Suara keramaian pasar pun lenyap.
"Hei, apa sudah boleh kita mendongakkan kepala?" kata Bimo di belakangku. "Sudah pegal, nih."
Aku menurunkan tangan dan melihat sekitar, kini kami berada di padang rumput di kaki gunung. Sama sekali tidak ada tanda-tanda akan keberadaan desa tadi.
"Wah, sepertinya kita habis melewati desa hantu," kata Bimo.
"Ngomong yang benar!" kata Kinanti memukul lengan Bimo.
"Hahaha. Kau takut hantu rupanya," seru Bimo.
"Kalau aku takut, aku tidak mengajak kalian ke gunung!" kata Kinanti.
"Bimo betul, kau takut hantu, Kinan," kataku.
Kini giliranku kena pukul oleh wanita muda yang mengerikan itu.
....
Kami tiba di rumah kakekku, dan ternyata Nick yang marah-marah sudah ada di sana. Awalnya aku merasa aneh karena sehari sebelumnya, dia menghubungiku dan berada di Cina, tapi rupanya benar kata Lagash, kami sudah hampir tiga bulan tidak pulang, padahal kami hanya sehari di dunia peri.
Paman Surya dan Bibi May hampir saja lapor ke polisi, untung sebelumnya mereka dihubungi oleh Nick yang sudah curiga saat aku memberitahunya tentang adanya makhluk tanah sebelum aku berangkat. Untung Paman Surya tidak mengamuk padaku, tapi kata Nick, dia sudah jadi tumbal dengan mendengarkan omelan marah-marah pamanku.
Aku bercerita pada Nick tentang semua yang ku alami, dan wajah Nick begitu semangat. Dia menyuruhku untuk bersiap-siap, bukan untuk ke Cina, tapi ke Tibet, Himalaya.
....
Aku membuka kantong pemberian pria yang berasal dari desa misterius itu, yang akhirnya aku tahu bahwa itu adalah Desa Nglimuni, desa yang tidak terlihat. Aku membuka tali yang mengingkat kantong, lalu menuangkan isinya ke telapak tangan. Sebuah benda yang terbuat dari perak, seperti milikku sebelumnya, namun kali ini berbentuk persegi enam dengan ukiran naga di dalamnya.