Ternyata bukan hanya ada simbol dengan gambar singa yang terdapat di dalam buku catatanku, di beberapa lembar berikutnya, terdapat simbol-simbol dengan gambar yang berbeda. Ada sebuah simbol dengan gambar naga di dalam sebuah perisai segitiga dengan dua sisi yang melengkung seperti bentuk tameng pada masa kerajaan di jaman dulu dan juga simbol-simbol dengan gambar yang lain yang berbeda-beda.
Selain itu terdapat pula simbol-simbol yang tertulis berderet seperti tulisan dengan huruf kuno yang tidak kumengerti, mungkin huruf Mesir kuno tapi itu tidak mirip hieroglyph, atau mungkin huruf kuno semacamnya dan tertulis dengan jelas di lembar terakhir. Itu hanya terdiri dari beberapa huruf yang ditulis dengan ukuran yang besar hingga memenuhi satu halaman dan halaman selanjutnya.
"Apa artinya tulisan ini?" kataku pada diriku sendiri.
"Mungkin itu huruf kuno yang sudah punah, Yod,"
Aku melirik pada Ibe yang melirik padaku dan sepertinya mendengar apa yang barusan aku dan Bimo katakan.
"Mungkin sobat kecil kita ini tahu," kataku seraya mendekati Ibe.
Saat aku hendak menyerahkan buku catatanku pada Ibe, tiba-tiba Bimo dengan cepat mengambilnya dan mengeluarkan ponsel miliknya lalu memotret simbol-simbol dan tulisan aneh yang ada dengan benda elektroniknya itu.
"Untuk jaga-jaga, karena kalau sudah keluar dari sini kita sudah tidak bisa membacanya lagi, kan?" kata Bimo.
"Ya, kau benar, Bimo," jawabku.
HOOOOONK! HOOOOOONK!
Tiba-tiba terdengar suara keras seperti suara terompet dari tanduk atau semacamnya yang biasa digunakan untuk menandai suatu peperangan atau berkumpulnya pasukan di abad dahulu. Suara itu terdengar jelas dari dalam jurang yang terbentang di hadapan kami.
"Ayo, kita harus cepat! Kalian yang lamban itu hanya akan mencelakakan kita semua!" kata Ibe.
"Suara apa tadi?" tanya Kinanti.
Tidak ada yang menjawab pertanyaan dari Kinanti.
Aku mengambil buku catatanku dari tangan Bimo lalu semuanya kini mengikuti kemana Ibe berjalan. Kukira awalnya dia akan membawa kami menyeberangi jurang melalui jembatan gantung, ternyata tidak. Ibe berjalan ke arah kanan menyusuri bibir jurang dan berhenti di sana. Saat aku tiba di samping Ibe yang berada di bibir jurang, dapat ku lihat ternyata ada sebuah tangga batu sempit dan menuju ke bawah sana. Dari atas terlihat bahwa ternyata di bawah sana rupanya ada sebuah kehidupan. Cahaya jingga dari api kerlap-kerlip terlihat dari atas dan menyinari sedikit bagian dari dasar jurang yang cukup dalam ini.
"Apakah ini yang kau maksud dengan perkampungan peri yang lain, Sobat?" tanyaku pada Ibe.
"Ya. Di bawah sana adalah tempat para goblin tinggal dan menambang logam-logam berharga. Dan sangat kebetulan, benda yang kau cari ada di sana," jawab Ibe.
"Ayo kita kesana!" kata Bimo.
"Jangan tergesa-gesa, bodoh! Meski kecil, mereka sangat liar jika bergerombol, ceroboh sedikit kita bisa kehilangan nyawa," kata Ibe.
"Madu yang berharga dijaga lebah-lebah yang ganas. Sudah kuduga tidak akan mudah mendapatkan benda itu," kataku. "Kita butuh senjata untuk kesana. Ibe, kau bisa gunakan palu tambangmu untuk melawan musuh, dan Kinan, maaf aku melibatkan hal yang berbahaya denganmu, namun kurasa kau akan baik-baik saja dengan golokmu itu."
"Tenang, Luk. Kau belum melihat aksiku yang sesungguhnya." Kinan memainkan goloknya seperti pendekar silat dan mengakhiri gerakannya dengan menyarungkan senjata tajam itu ke pinggangnya dan menjentikkan ujung topi koboinya. Yah, kurasa kekhawatiranku sedikit berkurang.
"Bimo?" Aku berpaling padanya karena aku tahu dia tidak membawa senjata apapun.
"Kau masih ingat ini, kan?"
Bimo mengeluarkan sesuatu dari sakunya, sebuah ketapel besi pemberian Albert dan tentu saja aku masih mengingatnya, tapi kurasa itu tidak terlalu berguna.
"Hahaha," Kinanti tertawa melihat senjata yang akan dipakai oleh Bimo. "Kau mau berburu burung?"
Kata-kata Kinanti sama persis dengan yang dikatakan Nick saat itu, dan reaksi Bimo pun tetap sama, dengan penuh keyakinan menyelipkan ketapel itu ke ikat pinggangnya.
"Kau belum melihat aksiku dengan ini, Cantik," kata Bimo sambil memainkan alisnya dengan genit pada Kinanti.
"Huh, mana ada keren-kerennya pakai senjata mainan anak-anak seperti itu," jawab Kinanti.
"Kau sendiri bagaimana, Yod?"
"Tenang saja, aku akan baik-baik saja," jawabku.
Mereka semua memandang aneh padaku saat aku berkata seperti itu, namun kulihat sekilas Bimo tersenyum.
Kami semua mulai turun melalui tangga menuju ke dasar jurang, sebuah undak-undakan yang terpahat dan menempel di dinding jurang. Obor-obor terdapat di sisi-sisi yang kami lalui, berderet dengan jarak yang jauh dan menyinari jalan yang kami lalui. Cahaya biru bulan mulai tergantikan dengan cahaya jingga dari api obor. Bisa kulihat meski remang, dinding jurang di depan sana berongga-rongga dan gelap. Aku seperti diawasi dan menanti apakah ada sesuatu yang tiba tiba muncul. Ujung-ujung dari jurang ini tak terlihat karena gelap, mungkin dulunya ini adalah ngarai atau lembah sempit dengan sungai dan mengering atau semacamnya. Entahlah, tempat ini begitu aneh.
Di dasar jurang terdapat sebuah mulut goa, tapi lebih tepat disebut pintu karena sepertinya sengaja dibuat dengan bentuk persegi simetris dan berukuran lebar. Di sampingnya terdapat dua obor yang menerangi dan tidak ada siapapun yang menjaganya.
Dengan perlahan dan waspada, kami berjalan hingga sampai ke dasar lalu mendekati pintu masuk itu. Sayup-sayup terdengar suara ramai dari dalam goa, kurasa ada banyak sekali yang tinggal di dalamnya. Lalu terdengar suara beberapa makhluk yang bercakap-cakap dan sedang menuju keluar dan kami semua pun berlari menjauh ke sisi lain untuk bersembunyi.
Ada beberapa batu yang besar dan cukup bagi kami semua untuk bersembunyi di belakangnya dan tempatnya jauh dari penerangan obor. Dengan jelas dari tempat kami bersembunyi terlihat tiga makhluk kerdil keluar dari dalam mulut goa dan salah seorang diantaranya membawa sebuah obor sedangkan yang lainnya membawa senjata seperti belati. Kulit mereka berwarna kehijauan dengan hidung dan telinga yang runcing dan tidak memiliki rambut. Mereka berbicara dan kadang saling memukul satu dengan yang lain.
"Itukah para goblin?" bisik Kinanti.
"Ya, mungkin mereka bertugas menjaga pintu masuk itu," jawab Ibe.
"Tunggu mereka menjauh lalu kita masuk dengan diam-diam," kataku.
Sepertinya ketiga goblin itu hendak menuju ke atas, mereka berjalan menuju tangga dan saat itu kami dengan mengendap-endap mendekati pintu masuk. Ibe berada di depan kami dan memimpin jalan kami karena dia yang lebih tahu tentang tempat ini.
Kami telah masuk ke dalam, berjalan dengan sikap waspada terhadap apapun yang akan kami hadapi. Tempat ini seperti lorong di labirin yang sebelumnya kulewati, bentuk dan besarnya pun hampir sama. Di dalam terasa lebih hangat daripada di luar, mungkin karena ada obor-obor yang terpasang di samping kiri kanan dinding lorong goa buatan ini.
Terdapat persimpangan di ujung lorong dan Ibe membawa kami mengambil jalan sebelah kiri, mungkin ini akan menjadi labirin kedua yang akan kulalui tapi aku tidak khawatir karena Ibe sudah hapal tempat ini seperti dia sendirilah pembuatnya.
"Sepertinya banyak sekali jumlah mereka, tapi kenapa tidak ada satupun yang muncul?" kata Bimo.
"Ibe memilihkan jalan teraman untuk kita, Bimo," jawabku.
Kukira Ibe akan berkata sesuatu tentang pendapatku, tapi ternyata dia diam saja.
"Ambil satu obor di dinding itu! Kita akan melalui jalan yang lumayan gelap," kata Ibe.
Aku menurutinya, mengambil satu obor dan kembali mengikuti Ibe yang berbelok ke sebuah lorong yang lebih sempit dan gelap. Bisa kulihat dengan cahaya api obor yang kubawa, di dinding lorong yang ku lalui terdapat banyak pahatan-pahatan dengan gambar makhluk-makhluk mitologi dan kebanyakan menggambarkan jenis-jenis peri dengan kehidupannya, seperti relief pada candi yang menggambarkan kehidupan manusia pada masa itu. Sejenak aku berhenti berjalan dan terpaku pada satu gambar, seekor makhluk mirip kurcaci dengan tudung panjang dan memakai kain panjang yang berdiri di atas kurcaci-kurcaci lain yang terlihat kesusahan. Wajahnya menyeringai kejam dan mengerikan.
"Hei, beri aku penerangan disini!" seru Ibe padaku yang tiba-tiba berhenti berjalan.
"Kau lihat apa barusan?" tanya Bimo padaku.
"Entahlah, Bimo. Aku tidak yakin tapi aku merasakan sesuatu yang buruk."
Setelah agak lama kami berjalan, kami tiba di ujung lorong dan sepertinya buntu. Ibe meraba dinding di depan kami lalu menemukan sebuah celah kecil dan memasukkan telapak tangannya kesana.
Graaak! Graaak!
Dinding itu terbuka dan terangkat ke atas dengan perlahan dan cahaya jingga kembali menyinari kami. Sebuah ruangan luas ada di depan kami dan kami semua kesana.
Kini kami berada di tempat seperti sebuah balkon besar pada gedung bertingkat dan di bawah kami ada tempat yang sangat luas dan dalam seperti pertambangan dengan tangga-tangga kayu dan batu dengan ratusan atau bahkan ribuan makhluk kerdil yang sedang bekerja keras disinari cahaya dari ribuan obor.
Graaak! Bum!
Pintu di belakang kami tertutup. Dengan perasaan kagum dan juga ngeri, aku memandang berkeliling dengan pemandangan yang sama sekali tidak kusangka sebelumnya. Kurasa Bimo dan Kinanti pun tidak bisa berkata apa-apa. Dan yang lebih tidak kusangka dan membuatku lebih ngeri, seekor makhluk mirip kurcaci tiba-tiba turun menaiki sebuah papan kayu yang diikat dengan dua tali yang dikerek ke bawah dan dia berdiri di atasnya.
Menggunakan tudung lancip berwarna merah seperti darah dan jubah yang senada, dia menyeringai dengan wajah buruknya pada kami. Membawa sebuah tongkat panjang terbuat dari tulang dan ujungnya terdapat benda tajam seperti kapak segitiga.
"Hahaha!" makhluk itu tertawa tergelak lalu melompat tepat di hadapan kami.
Kami semua tidak berkata apapun selain waspada, tapi ada yang mengejutkan lagi. Ibe tiba-tiba berjalan menghampiri makhluk itu lalu berdiri di sampingnya dan ikut memperhatikan kami bertiga, dan Ibe pun ikut menyeringai bersamanya.
...