Pria berkulit putih dan berambut panjang berwarna gelap itu mendekati kami, wajahnya khas orang timur-tengah yang berhidung mancung lengkap dengan brewok tipis. Dia mengenakan kemeja putih polos yang lengannya digulung dan bercelana longgar, membawa sebuah pedang panjang melengkung yang ujungnya meneteskan darah hijau.
"Kinanti, kau tidak apa-apa?" kata pria itu, mata gelapnya mengisyaratkan kekhawatiran.
"Aku baik-baik saja," jawab Kinanti. "Ku kira aku tak akan bertemu denganmu lagi."
Ada apa ini? Kenapa Kinanti mengenalnya? Pria itu sepertinya teman Kinanti dan entah bagaimana dia bisa ada disini. Akan ada banyak pertanyaan untuk mereka nanti.
Pria asing itu menghampiri lalu membebaskan kami, melepas semua ikatan dan membantu kami berdiri. Terlihat senyumnya mengembang saat menatap Kinanti.
"Terima kasih," kataku sambil menyalaminya setelah berdiri. "Aku Yodha dan ini Bimo."
"Lagash. Aku teman Kinanti," jawabnya.
Bimo pun bersalaman dengannya, meski begitu ekspresi wajah Bimo terlihat tidak terlalu senang padahal dia sudah bebas. Yah, mungkin saja dia cemburu karena ada pria lain yang akrab dengan Kinanti.
"Bagaimana kau bisa kemari?" tanyaku.
"Nanti saja ceritanya sambil jalan, sekarang kita harus pergi dari sini," jawab Lagash.
Kami mengambil semua barang-barang kami yang tergeletak di tanah, yang tadi telah 'diobrak-abrik' oleh goblin-goblin bodoh tadi. Bimo mengambil ketapelnya, Kinanti memungut parang dan benda lainnya ke dalam tas. Akupun mengambil milikku sendiri tentunya dan dengan cepat menyimpannya.
Lagash membawa kami keluar dari tempat itu, menembus kegelapan hingga keluar dari sebuah lorong. Tempat ini sungguh susah untuk dijelaskan. Kami berada di sebuah lubang seperti sumur raksasa dan di dinding tempat ini terdapat jalan dengan anak-anak tangga lebar yang menempel pada dinding membentuk sebuah ulir seperti sekrup dari atas sana hingga ke bawah. Di setiap dinding terdapat banyak obor dan lorong-lorong yang merupakan pintu menuju sebuah ruangan atau tempat lain --entahlah--- dan barusan aku disekap di salah satu ruangan tersebut.
"Ayo kita ke atas!" Lagash berseru pada kami.
"Tunggu!" seruku. "Aku tidak akan pergi dari sini tanpa mendapatkan kembali benda yang telah dibawa oleh Redcap."
"Benar, tapi kita tidak tahu sekarang dia ada dimana," kata Kinanti.
"Mungkin saja dia di atas, Yod," kata Bimo ikut bersuara. "Bukankah dia akan melihat isi buku itu?"
Benar juga, perlu cahaya bulan untuk membaca pesan tersembunyi di dalam buku catatan itu.
"Tenang, akupun ingin bertemu mereka," kata Lagash. "Kita akan pergi dari sini setelah mendapatkan benda yang kau inginkan."
"Kau juga ada urusan dengan mereka?" tanyaku pada Lagash.
"Ya."
Lagash mulai menaiki anak tangga yang memutar ini dan kami mengikutinya. Aku menarik lengan Kinanti agar berhenti sebentar.
"Kau sebelumnya pernah kemari dengannya, kan?" tanyaku pada Kinanti.
"Tidak sampai ke sini, hanya sampai rumah tua saja dan iya -benar, Lagash yang membawaku."
"Lalu kau bilang mengetahui sesuatu tentang ayahku, apa itu darinya juga?"
"Ya, Luk."
"Apa itu?"
"Nanti aku akan cerita semuanya, sekarang bisakah kalian berdua tidak berhenti terlalu lama?" Lagash tiba-tiba berhenti dan berkata pada kami. Bimo yang sedang berjalan di belakangnya terlihat kaget dan berhenti mendadak.
Lagash sepertinya mendengar apa yang kubicarakan. Dengan tatapan penuh harap padaku, dia menganggukkan kepalanya. Aku menoleh pada Kinanti yang berkata bahwa Lagash orang yang baik. Akhirnya kami pun melanjutkan perjalanan ke atas. Bagaimanapun, tujuanku sama yaitu ke atas sana.
Tiba-tiba terdengar suara keributan dari bawah, puluhan goblin berlarian menaiki anak tangga mengejar kami sambil berteriak. Mereka membawa palu-palu besi dan obor, seperti rombongan semut bercahaya dengan kecepatan penuh menuju arah kami.
"Ayo, cepat!" seru Lagash.
Kami berempat berlari menaiki anak tangga berusaha menghindari kejaran para goblin. Aku sesekali menoleh ke bawah dan --ya, ampun-- terlihat beberapa goblin bertangan kosong memanjat dengan cepat melalui dinding dan tidak beberapa lama, mereka mendahului kami dan menghadang kami.
"Ha!"
CRASH! CRASH!
Dengan sedikit ayunan pedang, Lagash yang berada di depan membunuh goblin-goblin yang menghadang kami. Sungguh bodoh, berusaha menghadang dengan kami yang bersenjata hanya dengan tangan kosong, tapi jika sambil membawa senjata mereka tidak akan bisa memanjat.
Suara teriakkan para goblin semakin ramai di bawah. Suara langkah kaki-kaki mungil mereka menjadi begitu berisik karena begitu banyaknya, diiringi pula dengan suara ketukan palu-palu mereka di anak tangga dan dinding yang kini lebih mirip suara dentuman menandakan kemarahan.
Beberapa dari mereka berhasil mencapai kami dan dengan sedikit usaha kami mampu menghalau mereka. Ini masih mudah, tapi jika sebagian besar dari mereka mampu mengejar dan mengeroyok, tamatlah riwayat kami. Apalagi jika sampai terjatuh ke dalam lubang, aku tidak bisa membayangkan kengerian itu.
Puncak dari lubang ini mulai terlihat, seperti atap dari kubah yang melengkung dan di sanalah anak tangga berakhir dan menuju sebuah pintu persegi yang menganga lebar.
Tiba-tiba seekor goblin terlihat berdiri di ujung anak tangga teratas. Sambil membawa obor dari kejauhan kulihat dia melakukan sesuatu, entah apa itu lalu dia pergi menuju pintu terakhir dan menghilang.
Selang beberapa detik, terdengar suara berderak-derak dari bawah sana dan bersamaan dengan teriakkan para goblin. Semakin lama suaranya semakin terdengar jelas menuju ke atas.
Aku melihat ke bawah dan kali ini lebih mengejutkan lagi. Ratusan anak tangga yang menempel pada dinding ini tiba-tiba menghilang dan masuk ke dalam dinding mulai dari bawah. Puluhan goblin yang sedang mengejar kami berjatuhan dan hanya beberapa yang sempat menyelamatkan diri dengan masuk ke dalam pintu yang ada di dinding dan sebentar lagi, kami akan mengalami nasib yang sama.
"Cepat menuju pintu itu!" teriakku.
Lagash yang paling depan dengan cepat masuk menyelinap ke dalam pintu sebuah lorong yang ada di dinding diikuti Bimo dan Kinanti. Aku yang karena daritadi terus sibuk menoleh ke bawah berada paling belakang dan beberapa detik lagi tangga yang sedang kupijak akan menghilang.
"Cepat, Yod!" teriak Bimo mengulurkan tangannya.
Aku melompat dan meraih tangan Bimo yang dengan cepat menarikku ke dalam tepat sebelum tangga yang kulewati tadi masuk ke dinding. Untung tepat waktunya dan meski jatuh tengkurap, aku tak sampai bergelantungan di tangan Bimo, aku sudah bosan dengan adegan itu.
"Tadi hampir saja," kata Kinanti sambil terengah-engah.
"Sekarang bagaimana? Kita tidak bisa menuju ke atas," kataku yang masih terduduk.
"Tidak perlu, sepertinya lorong ini juga menuju keluar," jawab Lagash.
"Kau sangat hafal tempat ini rupanya, siapa kau sebenarnya?" tanyaku.
"Aku berasal dari sini, Yodha," jawabnya.
"Maksudmu?"
"Waktu itu Lagash ...."
Kinanti ingin ikut menjelaskan tapi aku memberi isyarat agar Lagash sendiri-lah yang menjelaskannya.
"Mungkin kalian tidak akan percaya, sebenarnya ini bukan suatu rahasia dan aku yakin kalian belum mengetahuinya termasuk Kinanti juga. Aku dan kalian berasal dari jaman yang berbeda," kata Lagash.
"Apa maksudmu? Kau orang dari masa lalu atau masa depan dan kesini melalui mesin waktu? Sayang sekali, padahal aku berharap akan menemukan jawaban tentang ayahku karena Kinanti bilang kau tahu sesuatu, ternyata kau suka mengarang cerita."
Lagash hanya tersenyum dan sepertinya tidak marah dengan yang aku katakan padanya.
"Tempat ini istimewa, kau berada di sini satu tahun sedangkan di luar sana seratus tahun sudah terlewati," jawab Lagash.
"Tunggu! Berarti kau sudah disini beberapa tahun tapi di luar sana sudah ratusan tahun yang terlewatkan olehmu, begitu?" kataku.
"Ya, benar. Dan saat aku mencoba keluar sangat kebetulan aku bertemu dengan Kinanti yang merupakan saudara dari seorang Pranayodha,"
"Berarti kau sudah tua sebenarnya, dong," celetuk Bimo.
"Ya, meski aku hidup selama lebih dari tiga puluh tahun namun jika menurut penghitungan dunia luar, mungkin sudah ribuan tahun," jawab Lagash.
"Oh, bagus -lah," jawab Bimo.
Bagus lah kepalamu, Bimo. Masih saja dia membahas hal tak penting di saat seperti ini.
"Aku tidak akan bertanya bagaimana kau bertemu Kinanti. Aku hanya ingin tahu apa hubunganmu dengan keluarga Pranayodha dan kenapa kau mencarinya?" tanyaku.
"Keluargamu dikenal sebagai salah satu dari keturunan Ksatria Themeus, Yodha. Mereka yang telah mengurung Echidna dan keturunannya dan menyimpan semua 'kunci' yang tersebar di dunia. Aku adalah salah satu penjaga 'kunci' itu. Tapi beberapa bulan disini, atau mungkin puluhan tahun di dunia luar, ada beberapa kelompok orang yang ingin mengambil kunci itu," kata Lagash.
"Jika begitu, kedua benda milikku yang dibawa oleh Redcap adalah kunci untuk mengambil kunci atau segel pembebas Echidna, begitu?"
"Benar."
"Pasti kelompok itu adalah orang-orang yang pernah kutemui dan mereka bekerja sama dengan Redcap," gumamku.
"Kita harus cepat menuju ke tempat Oolky dan mengambil semuanya," kata Lagash.
"Berarti kau tahu ia menuju kemana?"
"Ya, tempat dimana benda itu disimpan."
"Baiklah, ayo!" kataku yang lalu bangkit.
"Wow! Aku tidak tahu kalau ternyata masalahnya serumit ini," kata Kinanti yang daritadi hanya memperhatikan pembicaraanku dengan Lagash. "Ternyata banyak sekali keajaiban dan Lagash ternyata sudah kakek-kakek."
"Atau lebih tepatnya fosil hidup," kata Bimo lalu terkekeh.
Kami semua melewati lorong ini dengan Lagash sebagai petunjuk jalan. Aku tak punya pilihan lain selain harus mengikutinya, meski belum sepenuhnya aku percaya padanya. Namanya pun mengingatkanku akan sesuatu, tapi entah apa.
Tak beberapa lama kami berhasil keluar melalui pintu goa yang terhalang tumbuhan rambat dan kembali ke permukaan tanah di dunia peri. Bulan biru kembali bisa kulihat, pepohonan kelabu dan kabut tipis seperti jaring laba-laba menyambut kami. Rerumputan ungu, jamur-jamur raksasa jingga dan suara-suara sayup sudah tak asing lagi di telingaku.
"Kukira aku akan kembali melihat jurang dan jembatan, kenapa sekarang kita bisa kembali ke jalan kematian?" seru Kinanti.
....