Redcap, begitulah dia disebut atau dipanggil. Sesuai dengan namanya, dia memakai tudung berwarna merah darah seolah menunjukkan bahwa kematian akan selalu membayangi jika di dekatnya. Makhluk dari bangsa peri yang cukup legendaris. Hidung dan daun telinganya sama-sama lancip, hampir mirip wajah seekor tikus, dengan kumis dan jenggot berwarna putih. Tongkat yang dipegangnya itu membuat siapapun berpikir dua kali untuk mendekatinya.
Lalu terdengar keramaian dari bawah dan tak lama puluhan goblin memanjat dan berlari melalui tangga-tangga kayu yang berderak setiap mereka menginjaknya lalu berhenti di sekeliling.
Goblin-goblin yang berlompatan dan bergelayutan di sekitar kami, berteriak dan meraung-raung dengan membawa palu dan tongkat besi. Seperti sekumpulan pasukan yang berteriak menunjukkan bahwa mereka siap membantai musuh mereka kapan saja dan tinggal menunggu perintah dari jenderalnya.
Redcap menatap kami dengan seringainya, penampilannya cukup menyeramkan. Meski begitu, tingginya hanya beberapa senti dari Ibe.
"Hahaha!" dia tertawa keras sambil menghentakkan tongkatnya. "Haha .... haah .... uhuk! Uhuk!"
Red Cap membungkukkan badan sambil mengelus dadanya. Badannya yang tadi tegap kini bungkuk dan berusaha tetap berdiri dengan bersandar pada tongkatnya, merintih sambil terbatuk-batuk.
"Aduuuh. Bergaya biar kelihatan seram, menguras tenaga juga buat aku yang sudah tua ini," katanya.
Dia berjalan terhuyung-huyung hanya beberapa langkah lalu berhenti dan menatap kami lagi. Wajahnya yang tadi terlihat cukup menyeramkan, kini terlihat renta dengan keriput jika diperhatikan.
"Kalian takut, kan, dengan aksiku tadi? Khukhukhu ...." kata Red Cap sambil mengusap janggutnya.
"Kau tidak bisa membedakan mana ekspresi takut dan terkejut, Redcap," jawabku.
Raut wajah makhluk itu tidak berubah sama sekali dengan perkataanku. Senyumnya masih tampak.
"Wah, gagal ternyata. Sudah kuduga. Khukhukhu. Tak salah lagi, orang yang satu ini lebih berani dari yang lain," katanya sambil menatapku. "Seorang Pranayodha, bukankah begitu?"
Yah, kata-katanya barusan mengagetkanku tentu saja.
"Kok, dia bisa tahu?" bisik Kinanti di sampingku.
"Memangnya kenapa dengan keluargaku, Redcap?" tanyaku.
Tiba-tiba seekor goblin kecil melompat dan mendarat di atas balkon tempat kami berdiri. Matanya yang hijau menyipit menatapku, membawa sebuah palu dia berdiri di antara aku dan Redcap.
"Jangan terus-terusan memanggil Redcap. Kau sangat tidak sopan. Panggil dia dengan namanya," kata makhluk itu membela kehormatan tuannya.
"Ya ya, sebutkan namanya!" tiba-tiba Bimo berkata dengan santai, kukira selama ini dia masih belum sadar akan keterkejutannya --dengan wajah melongo menatap semua ini-- tapi ternyata dia terlihat biasa saja.
"Dia adalah pemimpin di dunia peri ini, seorang yang terkuat dan terpintar yang bisa memerintah peri apapun. Hanya dengan mengacungkan telunjuk, semua makhluk akan me ...."
"Sudah, sudah! Namanya terlalu panjang. Aku tak mampu menghapalnya. Sebut nama panggilan saja," kataku dan terdengar tawa kecil dari Kinanti dan Bimo.
Redcap terkekeh sambil menatap goblin yang ngoceh di depannya tadi, lalu melirik ke arah lain sambil mengelus-elus tongkatnya.
Lalu kembali goblin tadi berbicara.
"Panggil dia Yang Mulia Oky,"
"Buh .... huahahaha!" Bimo tertawa keras sambil membungkuk dan menepuk-nepuk lututnya. "Oky? Namanya imut sekali! Gyahahaha!"
Aku menutup mulut dengan kepalan sebelah tanganku untuk menyembunyikan wajah yang menahan tawa. Tawa Kinanti pun terdengar keras dan waktu kulirik dia sedang memukul-mukul punggung Bimo sambil tertawa, mereka terlihat cocok sekali.
Brak!
Seekor lagi goblin melompat ke lantai balkon dan memukulkan palunya ke lantai kayu lalu melotot pada kami lalu berkata dengan keras.
"Kalian akan menyesal telah menertawainya seperti itu! Kalian akan mati seperti drawf yang konyol, meraung memohon ampun seperti banshee dan tubuhmu akan dipotong-potong sebagai persembahan cerberus lalu ...."
Crassh!
Tiba-tiba goblin tadi berhenti berbicara dan mematung. Lalu badannya terbelah menjadi dua bagian atas dan bawah dengan terpotong secara diagonal. Darah hijau menyembur ke lantai bersamaan dengan jatuhnya kedua potongan badan.
Goblin di sebelahnya terlihat ketakutan dan berusaha lari, namun sedetik kemudian dia bernasib sama dengan temannya. Ujung tongkat yang tajam milik Redcap terlihat meneteskan darah hijau, meski kulihat dia tidak melakukan apapun. Sepertinya dengan kecepatan tak terduga, dia menebas kedua goblin tadi. Bagaimana bisa? Bahkan aku hampir tidak melihatnya. Apalagi jika melihat dia yang berjalan saja sudah susah seperti itu.
"Membuatku malu saja," kata si Redcap dengan lirih lalu menatap kami yang menghentikan tawa karena adegan sadis tadi.
"Aku adalah Oolky, bukan Oky," dia berbicara dengan lebih keras dan serak. "Selamat datang di kerajaanku."
"Kami tidak butuh sambutanmu!" kata Kinanti.
"Oh, ya?"
Oolky menjentikkan jarinya lalu beberapa goblin melompat dan mendarat di belakangnya, berbaring tengkurap dan menumpuk-numpuk tubuh mereka dengan yang lain seperti mayat tepat di belakang Oolky. Makhluk tua bertudung merah itu mengusap-usap punggungnya seperti orang yang sakit pinggang lalu menduduki mereka seperti sebuah kursi. Terlihat sekali bahwa dia memang 'raja' bagi goblin-goblin ini.
"Aaah .... nyaman sekali. Aku sudah menyiapkan semua sambutan bagi kalian. Mengirim peri-peri gigi ke rumah gunung, menyuruh Ibe menyambut kalian dan mengantarkan kalian masuk kesini. Khukhukhu!" kata Oolky.
Aku melirik pada Ibe yang sedang tersenyum berdiri di samping Oolky. Bedebah kecil itu sudah menipu kami.
"Apa kau juga yang mengirim makhluk-makhluk kerdil itu ke desa?" tanyaku.
"Apa, iya? Ah, aku lupa karena sudah pikun," Oolky menggaruk-garuk samping kepalanya. "Oh, tentu saja. Yaa, itu aku. Aku tahu bahwa ada sesuatu yang berharga di desa itu, terutama di rumah Pranayodha. Tapi kami tidak menemukannya. Juga soal seorang keturunan Pranayodha yang pasti akan datang kembali ke desa jika ada sesuatu terjadi dan berhubungan dengan makhluk mitologi seperti kami. Makanya aku menyuruh peri-peri gigi itu untuk membuat ketakutan di desa, tak kusangka kau akan datang lebih cepat dari yang kuduga."
Aku memang datang ke desa tapi bukan karena keributan makhluk-makhluk itu. Hanya sebuah kebetulan saja waktu aku bermaksud mencari benda itu lalu Kinanti yang bercerita tentang makhluk kerdil pengganggu desa dan jika bukan karena dia yang membawaku ke rumah tua di gunung, aku tidak akan sampai kesini.
"Berarti seperti yang kau perkirakan, aku sudah sampai kemari. Lalu apa tujuanmu menantiku?" tanyaku pada Oolky.
"Tentu saja tujuanku sama denganmu, mengambil suatu benda berharga," kata Oolky.
"Aku tak tahu benda apa yang kau maksud."
"Khukhukhu. Kau boleh berpura-pura, tapi kau tidak punya pilihan selain mengambil benda itu."
Tiba-tiba aku merasa sebuah pukulan keras mendarat di kepalaku tanpa kuduga.
....
Aku tersadar waktu merasa wajahku disiram dengan air berbau masam dan sangat dingin. Saat itu juga aku tahu bahwa aku duduk di tanah dengan tangan dan kaki yang terikat. Kulihat Bimo dan Kinanti pun dalam keadaan yang sama.
Kini kami sudah berada di tempat lain dari yang tadi. Mereka entah bagaimana caranya telah membawa kami kemari, sebuah tempat gelap yang hanya di terangi beberapa obor, seperti sebuah sudut ruangan di dalam goa yang sempit.
Oolky bersama Ibe dan empat ekor goblin --yang salah satunya membawa sebuah ember-- berdiri di depanku. Dia sedang memegang dan melihat-lihat buku catatanku, sedangkan Ibe menimang-nimang benda perak lambang singa milkku. Rupanya waktu pingsan tadi, mereka mengambilnya.
Dua ekor goblin yang sedang bersamanya sedang mengaduk-aduk isi tas Kinanti, dan saat menemukan sebuah senter, mereka terlihat keheranan. Keduanya berebut benda yang sepertinya asing bagi mereka, saling tarik-menarik dengan bahasa aneh yang sangat cepat. Saat senter itu menyala keduanya terlihat heran, secara bersamaan mereka berkata "Oooh ... " sambil menatap senter lalu kembali berebut.
Benda-benda kami yang lain berserakkan di tanah, sepertinya mereka telah menggeledah dan mengeluarkan apa yang kami bawa, tapi hanya beberapa benda yang mereka kenal dan membuat mereka tertarik. Ponsel-ponsel, ketapel Bimo, tali-tali dan parang milik Kinanti juga beberapa benda lain berserakkan dan didiamkan oleh mereka.
"Sudah bangun?" tanya Oolky.
"Apa yang kau inginkan dariku, Redcap?" kataku.
"Khukhukhu .... "
"Oh, jadi kau ingin memiliki buku dan benda perak itu, Oky?" tiba-tiba Bimo berkata keras. "Ambil saja dan bebaskan kami!"
"Yang benar saja, Bimo. Buku itu penting," bisikku padanya.
"Khukhukhu. Aku sudah tahu darinya kalau rahasia buku ini adalah cahaya dari bulan biru," kata Oolky sambil menunjuk pada Ibe. Sejak bertemu Oolky sepertinya Ibe hanya bisa menyeringai saja tanpa banyak bicara.
"Kalau sudah tahu, maka bebaskan kami. Ambil saja buku dan benda perak itu, itu semua yang kalian butuhkan, kan, Oky?" kata Bimo.
Kali ini aku melotot pada Bimo, tapi dia sama sekali tidak melihatku. Sedangkan Kinanti hanya diam menatap Oolky.
"Namaku Oolky."
"Ah, sama saja! Dasar orang tua bernama imut nama merek minuman!" teriak Bimo marah-marah.
"Kita lihat nanti saja, apa yang akan ku lakukan pada kalian setelah melihat ini," kata Oolky sambil melambaikan buku catatanku.
"Jaga mereka!" kata Oolky lagi pada para goblin yang ada disini sambil melangkah pergi.
Ibe mengikuti Oolky setelah sebelumnya memukul kepala goblin yang sedang berebut senter lalu menghilang ke kegelapan.
Kini kami bertiga ditinggalkan oleh Oolky dan dijaga empat ekor goblin yang membawa palu. Dua dari mereka melihat ke arah kami, sedangkan dua yang lain masih penasaran dengan beberapa benda milik kami.
"Sialan, keras sekali pukulan mereka tadi hingga aku pingsan," kata Bimo menggerutu. "Mungkin kepalaku sedikit benjol."
"Kinan ...."
"Ya, Luk?"
"Alasanmu membawaku kesini bukan hanya karena makhluk-makhluk itu, kan?" tanyaku padanya.
"Tentu saja karena itu ...."
"Dan kau pun pernah ke rumah tua itu sebelumnya, bukan begitu?"
Kinanti yang tadi menatapku dengan wajah kesal, memejamkan matanya dan menghela napas.
"Baiklah, Luk. Ya, aku pernah ke rumah itu. Sekali. Lalu ada sesuatu yang ku ketahui dan harus membawamu serta."
"Sesuatu apa?"
"Tentang Paman Edward, ayahmu ...."
"Aaarkh!"
Baru saja aku terkejut dengan kata-kata Kinanti, kini ada lagi yang mengejutkan. Salah satu goblin yang menjaga kami berteriak, sebuah belati menancap di kepalanya lalu dia ambruk ke tanah. Ketiga goblin lainnya terkejut menatap temannya yang mati. Lalu sebuah belati lagi melesat dari kegelapan dan menancap di dada salah satu salah satu dari mereka.
Dua goblin tersisa melihat kedua temannya mati berlari menuju kegelapan asal belati tadi melesat sambil membawa senjata.
Crash!
"Argh!"
Slash!
Terdengar suara teriakkan dan daging terpotong dari kegelapan di depanku. Kami bertiga hanya bisa terpaku, mendengar dan menatap kegelapan. Hanya menduga-duga apa yang sebenarnya terjadi.
"Aaarkh .... "
Sesuatu muncul dari kegelapan, menggelinding dan berhenti di depan kakiku yang sedang duduk. Sebuah kepala goblin yang berlumur darah hijau dengan ekspresi terkejut dan ngeri menatapku kosong, seolah memberi tahu sebagai pesan terakhir kematiannya bahwa dia terkejut setengah mati -mungkin tepatnya full mati karena dia memang sudah mati- dengan apa yang dilihatnya sebelum dia dibunuh.
Lalu terdengar langkah kaki dan tiba-tiba seorang pria muncul dari kegelapan melihat kami.
"Lagash!" seru Kinanti.
....