Pria itu berdiri menatapku dengan pandangan dan senyum yang tidak biasa, aneh, dia ayahku. Kakiku lemas meski ingin mendekatinya, namun kenapa dia hanya diam tanpa menghampiriku? Anaknya sendiri yang telah ditinggalkannya bertahun-tahun dan sedang berusaha mencarinya. Atau mungkin dia sudah tidak mengenaliku lagi karena terakhir yang dia lihat hanyalah seorang bocah kecil yang pendiam. Banyak sekali pikiran yang terbesit di dalam benakku dengan cepat hanya dalam beberapa detik.
"Ayah ...."
Tanpa menjawab pertanyaanku, dia tiba-tiba berlari lalu berbelok masuk ke deretan pepohonan. Aku tetap berdiri dan merasa bingung.
Aku berjalan cepat ke arah larinya ayahku tadi, dan rupanya ada jalan lain yang lebih sempit terletak di antara kolam-kolam yang gelap. Mungkin sebenarnya ada banyak lagi jalan-jalan yang serupa di jalan kematian ini dan Ibe membawa teman-temanku berbelok tapi aku sendiri nyasar karena terlalu terhanyut oleh suasana hening.
Mungkin ayah ingin menunjukkan jalan ke padaku, tapi kenapa tidak menyambutku dulu, sih.
Aku berjalan melalui jalan kecil tadi, pohon-pohon kelabu yang tinggi dan kurus tanpa daun menyambut di kiri dan kananku, dalam suasana remang begini pohon-pohon itu bagai monster besar dengan tangan terbuka yang siap menerkam mangsa. Sebuah pohon kelabu menjulang menghalangi jalanku dan saat akan kulewati, sepertinya pohon itu ikut bergeser. Aku bergerak ke arah sebelahnya, lagi-lagi rasanya pohon itu ikut bergerak.
"Nguh!"
Sebuah suara melenguh yang berat seperti kerbau terdengar dari atas pohon tadi. Dan saat aku mendongak ke atas...
Bum!!!
Rupanya tadi bukan pohon, melainkan tubuh besar troll. Makhluk besar dan gemuk juga bermuka buruk dari bangsa peri penghuni bawah tanah itu langsung mengayunkan tangannya kearahku seperti menumbuk ketan dan berusaha membuatku gepeng. Untung dengan sigap aku melompat ke belakang dan berguling.
"Grrrrrr..."
Troll itu berdiri lebih tegap dan muka buruknya terlihat lebih jelas. Hidung bulatnya mengembang dan matanya yang kecil terlihat semakin kecil menandakan dia sedang kesal, troll memang selalu kesal karena dia bodoh. Mulut yang lebar yang tidak bisa tertutup rapat — bibirnya dower dan berat — sehingga bisa terlihat deretan gigi serinya yang besar-besar dan kotor — mungkin bau juga.
"Seranganmu meleset, otak dua ons."
Troll tadi melangkah dengan cepat menuju ke arahku, perutnya yang buncit bergerak naik turun seirama dengan debum di tanah pada langkah kakinya. Aku menghindar dan berguling ke samping menghindari terjangan makhluk bodoh itu lalu berlari ke arah yang ingin ku tuju tadi.
Suara geraman dan dentuman terdengar di belakangku saat aku berlari, troll tadi terus mengejarku dan mengamuk sampai merobohkan beberapa pohon. Jalan yang kulewati semakin sempit dan licin diapit dua kolam gelap. Berkali-kali aku hampir terpeleset dan meluncur untung masih bisa menjaga keseimbanganku sedangkan makhluk besar yang mengejarku itu sepertinya berkali-kali terpeleset ke kolam tapi terus mengejar.
Ada sebuah pohon raksasa tumbang yang melintang di atas sebuah kolam dan menjadi seperti jembatan. Oh, ini bisa kupakai seperti di film-film saat tokoh utama dikejar monster lalu melewatinya sampai ke seberang jembatan kayu akan patah dan monsternya jatuh, akan kucoba.
Aku mulai naik dan melewati pohon raksasa yang tumbang itu dan menyeberang di atas kolam yang gelap. Cukup susah ternyata meski besar tapi pohon ini sedikit bergoyang ketika aku di atasnya.
Kreek!
Seperti dugaanku, makhluk bodoh itu ikut menyeberang mengejarku. Jika saja dia lebih pintar, dengan tenaganya dia bisa menggulingkan batang pohon ini dan membuatku terjatuh.
Brug!
Pohon ini bergoyang saat troll itu melangkah pelan di atas pohon. Karena takut jatuh, aku harus merangkak untuk sampai ke seberang. Bukan takut, tapi waspada agar tidak jatuh tepatnya.
Sedikit lagi aku hampir sampai ke seberang dan sesuai dugaanku, pohon raksasa ini sudah mulai berderak-derak menahan bobot tubuh besar troll yang berjarak tidak lebih dari lima meter di belakangku yang juga berjalan merangkak dengan perlahan. Mungkin akan terlihat sangat lucu ada dua makhluk berkejaran dengan cara merangkak diatas pohon yang bergoyang dan berderak.
Tinggal beberapa meter lagi dan aku akan sampai ke seberang kolam tapi tiba-tiba sebuah hentakan keras diiringi suara kayu patah terdengar. Pohon yang kulewati patah seperti perkiraanku tapi sayang aku belum sampai ke seberang.
Dengan cepat aku bangkit, berlari lalu melompat agar aku tidak tercebur ke kolam gelap dan hup! Aku berhasil sampai ke seberang meski dengan terjerembab ke tanah.
Kraaak! Byur!
"Nguuuh!!!"
Yak, sudah kubilang seperti di film-film, tokoh utama sampai ke seberang dan sang monster terjatuh bersama pohon yang patah. Semoga saja kolam ini cukup dalam untuk menenggelamkan troll itu yang kini tercebur ke kolam dan yang aku tahu dia tidak pandai berenang.
Aku diam berdiri memandangi makhluk besar itu yang kini menggelepar karena takut tenggelam.
"Bagus. Tenggelamlah seperti batu," kataku padanya.
Tiba-tiba dia berhenti bergerak dan astaga, kini dia bangkit. Ternyata kolam itu dangkal dan hanya menenggelamkan kakinya saja.
"Oh, sial."
Dengan marah troll tadi meraih patahan pohon dan dengan kekuatan yang luar biasa dia mengangkatnya. Menggunakan batang pohon besar sebagai senjata, dia mengayunkan benda itu padaku. Dengan cepat aku tiarap menghindar dan mungkin hanya sejengkal saja jarak benda itu mengayun di atasku, jika aku terlambat atau mendongak sedikit saja mungkin aku akan kehilangan kepalaku.
Wush! Brak!
Pohon besar itu terlempar dengan keras ke samping kanan dan menabrak pohon-pohon. Aku masih berusaha berdiri namun kini troll itu sudah di depanku. Meski jaraknya lebih dari tiga meter namun dengan satu ayunan tangannya dia bisa menjangkau aku dan membuatku menjadi selai.
"Grrrraaahh!"
Dia bersiap mengayunkan lengan raksasanya padaku yang sudah tidak bisa menghindar.
Kraaak! Bruugh!
Sebuah pohon besar tumbang dan menimpa makhluk jelek itu tepat di kepalanya hingga kepala makhluk itu pecah dan jatuh tertindih pohon tadi.
"Wow! Keajaiban di negeri ajaib," gumamku lega.
Rupanya pohon itu tumbang karena tertabrak batang pohon yang diayunkan oleh monster itu sendiri tadi.
"Ya, siapa menabur dia akan menuai, siapa yang mengayunkan pohon dia akan tertimpa pohon," setidaknya peribahasa asal-asalan itu cocok untuknya.
Aku bangkit dan berusaha membersihkan tanah di pakaianku dan saat itu ku lihat lagi dari jauh sosok ayahku yang tadi menghindariku.
"Ayah, tunggu!"
Kembali dia berlari dan menghilang diantara pepohonan yang semakin menyesatkanku ini. Bahkan sekarang mungkin aku sudah tidak bisa menemukan jalan lurus yang pertama tadi aku lewati, atau lebih buruk lagi aku tidak bisa bertemu teman-temanku.
Bulan biru terus bersinar di atas tak bergerak meluncur ke barat atau ke timur, sebenarnya aku sendiri tidak tahu arah mana barat dan timur di sini. Waktu serasa berhenti disini, atau memang bulan disini tidak mengorbit seperti di dunia manusia sana.
Aku berlari menyusul ayahku, berbelok ke deretan pepohonan. Agak lama aku berusaha mencarinya dan kini yang kutemui hanya kolam gelap yang bisu di depanku. Aku mematung menatap keheningan kolam yang begitu tenang, kemudian angin perlahan berhembus menyapu kabut tipis yang melapisi air kolam seperti kepulan asap kopi di cangkir saat kutiup.
Air kolam yang gelap bergelombang perlahan dan muncul sosok wanita dengan paras cantik bagai Lady Diana namun dengan senyum misterius sepertia Monalisa — yah, anggap saja aku membuat perbandingan seperti itu. Rambutnya yang pirang dan panjang tergerai ke belakang melayang-layang perlahan seolah dia sedang menyelam di dalam air.
Wanita itu perlahan mendekat padaku yang terdiam berdiri seperti arca, membelai pipi dan daguku dan berbisik tak jelas. Hanya sebagian yang aku dengar dari kata-katanya, sepertinya dia berkata : 'jadilah suamiku yang baik'.
Wow, aku dilamar wanita. Haruskah aku terus terpikat olehnya saja karena tubuhku sendiri pun tidak bisa kugerakkan. Aku jadi teringat Nick yang jatuh cinta pada dryad si wanita kulit pohon oak itu.
Wanita cantik ini terus mendekatkan wajahnya padaku dan bibir kami kini hanya berjarak lima centi. Keheningan dan sapuan angin lembut menambah rasa nyaman di dalam diriku ditambah kehadiran wanita ini. Tubuhku terasa tertarik menuju padanya dan entah kenapa tiada rasa janggal dan banyak pertanyaan seperti; dari mana wanita ini muncul, siapa dia, hantu atau model majalah dewasa, aku hanya ingin ikut dengannya.
Grep! Brug!
Saat aku merasa akan dibawa oleh wanita itu, aku merasa seseorang menarik bajuku ke belakang dengan keras hingga aku terjengkang ke tanah. Saat tersadar, aku melihat punggung seorang pria yang kini berhadapan dengan wanita itu dan mengacungkan telunjuk padanya. Wanita itu mundur ke belakang, menunjukkan wajah tak senang lalu menyelam dan menghilang ke dalam kolam.
"Ayah?" bisikku.
"Yod, darimana saja kau?"
Rupanya dia Bimo dan kini dia menuju ke arahku dengan wajah khawatir. Aku sangat senang melihat wajahnya namun tadi aku juga sempat berharap jika tadi itu ayahku yang mengusir makhluk wanita tadi.
"Kau mau jadi suami gwargedd anwn?" kata Bimo.
Ya, makhluk tadi itu adalah peri penghuni kolam-kolam gelap, gwargedd anwn. Mereka biasa menculik pria yang mereka lihat untuk diambil dan menjadikannya sebagai 'suami'. Mungkin dialah satu-satunya jenis peri yang dikenal oleh masyarakat jawa dan dipanggil 'peri' oleh mereka.
"Memang, sih, mereka cukup cantik. Tapi kalau aku sih ogah jadi suami mereka, Yod," kata Bimo lagi.
"Lagian siapa yang mau, Bimo," kataku lalu bangkit.
"Kau tiba-tiba saja menghilang tadi seperti ditelan kabut. Wush! Seperti sulap di acara Got Talent," kata Bimo.
"Aku melihat ayahku,"
"Kau yakin?" wajah Bimo berubah ekspresi lebih serius.
"Ya, tapi dia terus menghindar dan berlari."
Bimo menggaruk dagunya tanda dia sedang berpikir. Aku menunggunya memgucapkan sesuatu tapi terlalu lama.
"Dimana yang lain, Bimo?"
"Hah?" Bimo tersadar dari lamunannya. "Oh, mereka menunggu disana."
Bimo menunjuk ke sebuah jalan tapi kosong, tidak ada siapapun disana.
"Loh? Mereka kemana?"
...