Chereads / Detektif Mitologi / Chapter 9 - Wanita Pohon

Chapter 9 - Wanita Pohon

Tubuhku perlahan terseret, terbenam ke dalam pohon tanpa bisa meronta, berteriak pun tidak bisa. Perlahan bagian depan tubuhku tertutup kulit pohon, menyelimutiku hingga tertutup seluruhnya kecuali sedikit di bagian wajahku, sehingga aku masih bisa bernapas dan melihat keluar.

Ketiga orang tadi sampai di depanku, mereka berhenti, menoleh ke kanan kiri, tapi mereka tidak menemukanku yang tersembunyi di dalam pohon oak. Aku bingung antara harus meronta membebaskan tubuhku dari dekapan entah apa di pohon ini, atau diam saja karena ini membuatku tak terlihat oleh kawanan tadi.

Setelah beberapa saat mereka menghilang, kembali ditelan kabut dan lari entah kemana. Aku merasakan dekapan di tubuhku mulai mengendur, tubuhku perlahan kembali keluar sampai terlepas seluruhnya dan jatuh berlutut.

Aku duduk dan melihat pada pohon oak tadi, aku melongo, kagum dengan apa yang ada di hadapanku saat ini. Sesosok makhluk berujud wanita cantik, berambut panjang hitam kehijauan bagai daun, dengan sebagian kulit menyerupai kulit kayu, berdiri menempel pada pohon. Dia tersenyum dan menatapku.

"Dryad ...." Aku berdiri perlahan memegangi lutut. "Kau baru saja menyelamatkanku, terima kasih."

Dryad itu tersenyum, memiringkan kepalanya tanpa berkata apa-apa. Dia berada di bagian yang agak tinggi hingga aku harus mendongak untuk melihat wajahnya. Aku memperhatikan benda mengkilap berada di atas kepalanya, sepertinya aku mengenalnya.

Sadar dengan apa yang aku perhatikan, dryad itu mengerjapkan matanya, lalu menarik benda itu dari rambut hitamnya. Sebuah ranting kecil bergerak di depannya dan mengambil benda itu yang lalu menuju ke padaku.

Aku meraihnya, sebuah hiasan rambut bermotif daun dari emas milik Julia. "Jadi begitu, ya. Kau sudah pernah bertemu dengan mereka."

Aku tersenyum memperhatikannya.

"Apa kau tahu sekarang mereka dimana?"

Dryad itu menggeleng, wajahnya terlihat sedih.

"Oh, tidak apa-apa. Aku akan mencari mereka. Hanya sekarang mungkin aku tersesat."

Aku memandang sekeliling, semua pohon tampak sama, aku bingung harus lewat mana.

Kreeek!

Aku menoleh ke arah suara tadi, sebuah pohon pinus di sebelah kananku seperti mengeliat dan menjatuhkan butiran salju.

"Kau mau menunjukan jalan untukku, ya?"

Dryad itu tersenyum dan mengangguk. Dia sama sekali tidak bicara, atau memang dryad tidak bisa bicara? Ah, Yodha lebih tahu hal ini daripada aku, padahal aku sendiri profesor.

"Kau tidak hanya cantik tapi baik, kalau saja kau manusia, kau akan ku jadikan istri."

Aku berharap dia akan tertawa jadi aku bisa mendengar suaranya, tapi rupanya tidak. Bahkan rayuanku tidak membuatnya tersipu malu.Ttentu saja, bodoh! Dia kan dryad. Tapi aku melihat sepertinya senyumnya semakin mengembang tadi, aku gemas jadinya.

"Ini, kau akan tampak lebih cantik kalau memakai ini, Julia benar menghadiahkan ini padamu." Aku mengulurkan tanganku mengembalikan hiasan rambut pemberian Julia untuk dryad yang cantik ini.

Tidak menggunakan ranting bergerak seperti waktu menyerahkannya tadi, kali ini dia meraih langsung dengan tangannya. Tubuhnya dicondongkan ke depan mendekat padaku, hingga rambut panjangnya yang seperti daun dan menempel pada pohon seakan terlepas dan teruntai ke bawah menyapu wajahku. Oh, makhluk ini cantik sekali.

Dia meraih benda tadi dari tanganku, aku menyentuh tangannya dengan ujung jariku. Tak kusangka tangannya berhenti, seperti sengaja agar aku lama-lama bisa menyentuhnya.

Dia menunduk dan memperhatikan aku yang mendongak menatap wajahnya. Wajahnya yang cantik, matanya yang hitam, seperti menyiratkan dia sedang membaca ekspresi wajahku.

Wajah kami semakin dekat dan berhadapan, aku berusaha maju dan semakin mendekatkan wajahku padanya, aku berusaha menciumnya. Mimpi apa aku jatuh cinta pada dryad.

Saat bibir kami mulai mendekat, dia mundur dan menempelkan kembali tubuhnya pada pohon. Sedangkan aku? Dengan wajah bodoh hanya mencium angin.

"Ah, sial ...." Tentu saja dia dryad, mana tahu dia berciuman itu apa.

Dryad tadi kembali memiringkan kepalanya seolah bertanya, 'kau kenapa?' Ah, menyebalkan sekali.

"Oke, terimakasih kau menolongku, ehm... jadi aku harus mengikuti pohon yang nanti bergetar saat aku lewat, kan?"

Dryad tadi kembali tersenyum, "Oh, hentikan senyum itu, kau bisa membuatku pingsan. Oke, aku akan kesana, sampai jumpa lagi."

Aku berjalan mundur ke arah pohon pinus yang mengeluarkan bunyi tadi, sambil terus melambaikan tangan dan memperhatikan dryad cantik penyelamatku.

Saat aku semakin jauh, dia tersenyum dan kulitnya, rambutnya, seluruh tubuhnya berubah seperti kulit pohon oak dan menghilang dari penglihatan.

Setelah aku melalui pohon pinus tadi, beberapa meter dari batas penglihatanku karena kabut, sebuah pohon kembali menggeliat, mengeluarkan bunyi dan menjatuhkan salju. Aku menuju ke arahnya, dan terus seperti itu. Dryad tadi menunjukan aku jalan, tapi entah jalan menemukan Yodha atau jalan pulang dan keluar dari hutan ini, aku lupa menanyakannya karena terlalu terpesona.

Aku terus menyusuri hutan sesuai petunjuk pohon yang bergetar, hingga aku sampai di ujung dan keluar dari hutan. Tapi ini bukan tempat aku masuk tadi, tidak ada mobil yang kupakai kemari atau mobil yang kuduga dipakai oleh Yodha, aku berada di tempat yang lain.

....

Tas besar milik Albert rupanya berisi banyak sekali air minum dalam botol, pantas lumayan berat. Aku paham karena di sini pasti susah untuk mendapatkan air tawar.

"Ini, minumlah dulu, Nick!" Aku mengulurkan botol air mineral padanya.

Nick meminum isinya hingga setengahnya. Sepertinya dia kehausan setelah bercerita dengan semangat meski tak ada ekspresi itu terpancar dari wajahnya, bisa dibilang malah sedikit murung.

"Setelah itu aku beberapa kali kembali ke sana, tapi tidak mendapatkan petunjuk apapun, bahkan wanita tua itu menghilang. Maafkan aku, Junior."

"Bukan salahmu, Nick. Kau sudah berusaha, aku juga paham maksudmu mengatakan padaku mereka telah tiada."

"Kenapa anda tidak lapor polisi setempat saja, Profesor?" ternyata Albert juga memperhatikan cerita Nick.

"Aduh, Kapten. Mana mungkin hal seperti itu diceritakan pada polisi, mereka tidak akan percaya dengan Orthros dan yang lainnya," jawab Bimo, menjawab pertanyaan yang bukan ditujukan padanya. Dia memang begitu.

"Sudah, tentu saja aku sudah melaporkannya."

"Hah?" Bimo melongo pada jawaban Nick, sedangkan Albert meliriknya sambil menahan tawa.

"Tapi tentu saja tanpa menceritakan tentang Orthros dan isu ritual aneh itu. Aku hanya bilang temanku mungkin diculik waktu berkunjung kesana, tapi sama saja, mereka tidak dapat apa-apa."

"Nick, kau yakin mereka masih hidup? Lalu bagaimana dengan Profesor Adam itu?"

"Aku yakin, Junior. Sebelum akhirnya membawamu dan hidup di sini, aku pergi lagi ke Wales ke rumah Adam yang ikut hilang waktu itu. Tapi ternyata rumahnya hanya rumah sewaan dan telah ditinggali orang lain. Dan kata pemilik rumah, barang-barang telah dibawa oleh seseorang yang mengaku kerabatnya. Dia tak tahu siapa dan dimana mereka."

"Berarti alasanmu membawaku kesini bukan hanya karena alasan kakekku tapi juga catatan yang pernah kau baca bahwa jawa adalah pusat koloni mereka, bukan begitu?"

"Ya, Junior, sebuah kebetulan, bukan?"

"Berarti mungkin benar seperti kata saya tadi, pasti ada hubungannya dengan Nyi Roro Kidul." Albert sepertinya tidak mau hanya menjadi pendengar pembicaraanku dan Nick.

"Kapten, anda benar-benar penggemar film kolosal." Sudah kuduga, Bimo akan menimpali setiap perkataan Albert.

"Tapi, Tuan Bimo. Itu adalah mitos, legenda, pasti berhubungan."

"Hmm ...." Bimo menggaruk-garuk dagunya, gaya sok tahunya muncul.

Aku hanya memandangnya sekilas dan menggelengkan kepala.

"Nick, setelah ini, mau kan kau membantuku menemukan Echidna?"

Nick menatapku, tidak ada ekspresi terkejut di wajahnya, dia pasti sudah menduga apa yang akan aku pikirkan setelah mendengar semuanya.

"Tentu, Junior. Bisa saja kita malah menemukan 'ibu para monster' itu di sini," Nick tersenyum.

Nick yang konyol dan suka tertawa sesaat terlihat berbeda. Ya, hanya sesaat, karena kembali lagi dia tertawa saat melihat wajah Bimo dan Albert yang melongo saat Nick bilang Echidna ada di sini.

Cahaya senter kepala kami mulai meredup, bahkan punyaku sudah berkedip, keadaan sekitar kami jadi kelihatan lebih gelap. Kami memutuskan untuk kembali berjalan menyusuri lubang yang jalannya kini semakin menanjak.

Dalam pikiranku masih berkecamuk misteri hilangnya orangtuaku dan siapa mereka, orang-orang yang menyembah Echidna dan mempunyai koloni hampir di seluruh penjuru dunia. Apa tujuan dan yang mereka dapat, hingga ratusan atau mungkin bahkan sudah ribuan tahun mengadakan ritual persembahan hingga menjadi budaya.

Suku-suku kuno di beberapa belahan dunia memiliki budaya yang ternyata Echidna ada di belakangnya. Atau mungkin Echidna-lah yang dimanfaatkan suatu kelompok untuk mencapai sesuatu. Ah, akan ku ungkap semua meski membutuhkan waktu yang panjang. Sepertinya obsesiku bukan hanya menguak misteri orangtuaku, tapi rahasia dunia.

"Sepertinya kita hampir sampai di ujung lorong ini," kata Bimo yang berada paling depan.

Aku melihat ke arah depan, agak jauh dari tempat kami, sebuah cahaya remang-remang nampak dari bulatan yang sepertinya bibir dari lorong yang menanjak ini. Bimo cepat-cepat menuju kesana, begitu juga Albert di belakangnya yang sedikit kesulitan karena membawa tas besar.

"Wow!" Suara Bimo terdengar lagi setelah dia keluar dari goa sempit yang menurutku lebih cocok dipanggil lorong ini, "kau harus melihat ini, Yod."

Ujung lorong terlihat semakin terang saat aku mendekatinya, lalu angin yang bertiup perlahan menerpa wajahku begitu aku keluar. Aku mendapati diriku berada di bagian samping luar pulau karang dengan tanah yang rata, bahkan disini ditumbuhi beberapa pohon bercabang yang tidak terlalu tinggi, dan sebagian ada yang mati, kering.

Berada di ketinggian kira-kira lima belas meter dari atas laut, seperti balkon pada rumah bertingkat dan aku disuguhi pemandangan matahari yang sudah terbenam separuhnya di depanku. Langit dan laut berwarna sama, jingga keemasan. Aku sedikit lega, melepas senter di kepalaku dan menarik napas dalam-dalam setelah lama berada di kegelapan goa pulau karang ini.

"Kita bermalam dulu disini!" perintahku pada yang lain.

"Setuju, ini tempat yang sempurna." Nick menaruh tasnya lalu berjalan mendekati tebing, "asalkan kau tidak punya penyakit tidur sambil berjalan, atau kau akan berakhir disana."

Aku maju untuk menengok ke bawah jurang, batu-batu karang yang lancip berada di bawah kami. Sedangkan di belakang kami, tebing pulau karang menjulang tinggi hingga puncaknya.

"Indah sekaligus mengerikan," kata Bimo yang tahu-tahu sudah berada disampingku.

Ternyata di bagian-bagian samping dan tebing-tebing pulau karang ini banyak terdapat tempat seperti ini, bahkan ada yang ditumbuhi banyak pohon.

"Tuan-tuan! Saya menemukan mulut goa sempit lagi disini!" Aku menoleh pada Albert yang menunjuk pada sebuah lubang di belakang pohon.