"Sudah kuduga, kalian juga melewati lubang menanjak yang berujung ke tempat kami tadi, kan?"
"Iya, benar. Makanya tadi pagi saya menyuruh Cahyono melihat karena malamnya kami melihat cahaya api. Jika kesana malam akan bahaya kalau sampai tergelincir."
"Sebenarnya anda bisa memberi sinyal dengan membuat api juga dari sini." Bimo mulai dengan gaya sok tahunya.
"Hoi, Bemo. Kau lihat ada bekas api unggun disini tidak?"
"Tidak, Prof." Bimo menggeleng dan mengernyitkan dahi. "Ooh, maaf, ya saya mengerti, kalian tidak bisa membuat api."
"Nah, itu kau tahu. Kau sebenarnya pintar, tapi juga bodoh. Hahaha."
Bimo hanya nyengir kuda, kena lagi dia diejek oleh Nick.
"Oh, ya, anda belum menjawab yang tadi. Apa yang terjadi dengan teman kalian?"
Ali terlihat murung sesaat. "Waktu kami akan menaiki papan dan menyusuri goa beberapa duyung mengejar kami, papan yang kami gunakan hampir tenggelam karena tidak kuat menahan beban. Waktu itu salah satu dari mereka berhasil mendekat dan Karim meloncat menyerbunya."
"Ya, dia berteriak 'cepat pergi dari sini! Biar saya tangani, nanti saya menyusul' , lalu dia menghilang di kegelapan." Cahyono kembali menirukan suara temannya lalu dia murung.
Albert mengelus-elus pundak anak buahnya itu, dia cocok sekali sebagai kapten dengan sikapnya. Aku malah sedikit meremehkan Ali, dia muda dan berbadan kekar tapi terlalu mengandalkan orang lain, bisa dibilang dia penakut. Bahkan seorang Cahyono yang berbadan kecil disuruhnya mengecek keberadaan kami tadi.
"Kita cari teman anda dan jalan keluar dari sini." Aku menuju ke arah jurang, melihat ke laut mencari keberadaan kapal kami.
"Apa kita nyalakan suar saja sekarang untuk menandai kita?" Albert datang mendekatiku.
"Hmm... tapi untuk turun ke bawah sangat berbahaya meski menggunakan tali." Aku menengok ke bawah, dan memang, ini lebih tinggi dari tempat kami tadi.
"Lebih baik kita susun rencana, mungkin ada jalan keluar yang lain di bawah sana," kata Bimo yang kali ini angkat bicara, "jika memang tidak ada, kita kan bisa lewat jalan masuk tadi. Aku siap menghadapi duyung lagi."
"Kau kan tidak melakukan apa-apa di jalan masuk tadi, Bemo. Hanya nangkring di atas."
"Kata siapa, aku menggunakan ini, Prof." Bimo mengacungkan ketapelnya pada Nick.
Aku kembali duduk di atas batang kayu, "kalian lihat lubang yang lain tadi di terowongan? Sepertinya itu mengarah ke bawah."
"Ya, aku lihat," jawab Nick dan Bimo bersamaan.
"Anda berdua pernah melewati lubang itu?" tanyaku pada Ali dan Cahyono, mereka menggelengkan kepala. "Kita coba kesana untuk mencari Karim, dan yakinlah kalau dia masih hidup."
"Baik," jawab Cahyono, dia cukup pemberani.
"Kita cari tempat dimana kalian pertama kali sadar, jika mereka bisa membawa kalian masuk berarti di situ pasti ada jalan keluar, jadi kita harus bersiap menghadapi mereka kembali."
"Bagaimana kalau tidak ada?" Ali terlihat cemas.
"Kita kembali dan melalui jalan yang kami lewati tadi. Kapal tidak terlihat dari sini, artinya mereka ada di sisi lain."
Setelah beberapa saat kami bersiap-siap kembali untuk menjalankan rencana menemukan Karim. Aku dan Albert mengisi kembali pistol kami dengan peluru. Nick mengganti batere senter kepala kami. Ali dan Cahyono memetik beberapa buah dari pohon bercabang untuk dibawa, entah buah apa, tapi kata mereka dari itu mereka bisa bertahan hidup. Pantas mereka seperti orang kesetanan waktu makan bekal dari Albert tadi. Sedangkan Bimo, memungut batu-batu kecil untuk amunisi ketapelnya.
Kami berjalan melalui lubang menurun yang kami temukan di dalam terowongan tadi, aku berjalan paling depan bersama Bimo. Lubangnya cukup lebar hingga kami bisa berjalan berdampingan dua orang. Tak kuduga, Cahyono tanpa kesulitan melaluinya.
"Yod, ada yang sedikit mengganjal cerita mereka tadi."
"Yang mana?"
"Mereka hilang malam hari, kan? Tapi waktu ditemukan oleh Karim, mereka bisa melihat dengan jelas di dalam, dan mereka bilang ada bagian yang cukup terang."
"Hmm... berarti mereka sadar sudah pagi hari. Karim bersembunyi menunggu untuk membangunkan mereka. Mungkin saat itu duyungnya terlalu banyak."
"Bukan, Yod. Waktu mereka disadarkan Karim, banyak duyung disana. Dan Karim bilang 'cepat bangun nanti kalian dimakan', jika maksudnya dimakan duyung, mereka sudah jadi tulang belulang saat itu."
Aku sedikit terkejut dengan analisis Bimo. Benar juga, berarti Karim bersembunyi dan menunggu karena ada sesuatu yang lain saat itu, sesuatu yang bisa memakan mereka, dan Karim mengetahuinya.
"Bimo, jika dugaanmu benar, kurasa kita sekarang sedang memikirkan hal yang sama."
Bimo mengangguk sambil mengatupkan erat bibirnya. Kami terus berjalan sampai samar-samar mendengar suara gemericik air dan terdengar pula suara lain, suara mendesis di bawah sana.
Kami tiba di ujung lorong yang jalannya terus menurun tadi. Tak kusangka, kami tiba di tempat yang diceritakan oleh Ali dan Cahyono, sarang para makhluk itu.
Sebuah kolam lebar, mungkin empat kali besar kolam renang olimpiade. Ditengah kolam terdapat batu datar dan lebar, tempat Karim menemukan Ali dan Cahyono. Di sisi-sisi dinding goa yang mengitari kolam, terdapat beberapa mulut goa. Tempat ini seperti pusat dari persimpangan lorong-lorong goa di dalam pulau karang ini.
"Disini! Ini tempat pertama kali kami bangun!" Cahyono tiba-tiba menerjang maju menyelaku dan Bimo yang berada di depan.
"Tapi mereka dimana?" Bimo maju lagi menyingkirkan tubuh kecil Cahyono.
Aku menengok ke kanan kiri melihat keadaan, sangat sepi, tak terlihat satu duyung pun.
"Lihat, Yod. Mungkin itu jalan keluarnya, itu bagian paling terang." Bimo menunjuk ke sebuah lorong dari beberapa lorong goa yang terdapat di samping kolam besar di dalam pulau ini. Goa yang terjauh dari tempat kami berada.
Kolam yang airnya tenang, jernih, berkilauan diterpa sinar dari lorong lebar itu.
"Kenapa anda waktu sadar tidak langsung menuju kesana saja?" tanyaku pada Ali.
"Waktu itu banyak duyung yang menghadang dari arah sana, Tuan Yodha. Apalagi waktu itu saya panik."
Aku hanya mengangkat alis dengan jawaban Ali. Aku maju lebih dekat ke kolam. "Kita harus mencari sesuatu yang mengambang agar bisa keluar ke sana, dan lagi kita belum menemukan Karim."
"Ali, kau tadi bercerita tentang bangkai kapal, kau ingat di mana menemukannya?" Albert bertanya pada Ali.
Sejenak Ali memandang berkeliling, mengingat sesuatu lalu menunjuk ke arah salah satu goa. "Kurasa di sebelah sana, Kapten."
Aku memandang sekitar, lalu menemukan jalan sempit yang mungkin bisa membawa kami kesana, kalaupun terpeleset dan jatuh ke kolam, sepertinya bagian pinggir kolam tidak terlalu dalam.
"Ayo lewat sini!" perintahku pada yang lain, dan langsung menyusuri jalan tadi, "ini akan membawa kita kesana. Kebetulan itu goa terdekat dari sini."
"Tunggu," suara Albert menghentikan langkahku, "kita harus memakai ini lagi, kan?"
Albert mengeluarkan headphone 'ajaib' dari tasnya, ada tiga, punya Nick sudah hilang tadi.
"Apa itu, Kapten?" tanya Cahyono.
"Ini alat agar kita tidak terkena pengaruh dari nyanyian duyung. Profesor Nicholas yang menciptakannya."
Cahyono mengambil satu dan mengamatinya, lalu menoleh pada Nick, "wah, anda memang jenius, Profesor."
Nick memasang muka yang sama sekali tidak enak dilihat olehku, tersenyum konyol sambil membusungkan dada dan mengibas-ngibaskan tangan di bawah dagunya.
"Aah, kau terlalu memuji, Tuan Cahyono. Saya kan memang jenius, meski ada seseorang yang tidak mengakuinya. Hahaha." Nick menyombongkan diri sambil melirikku.
"Pasti orang itu bodoh, ya, Prof. Anda kan memang pintar." Cahyono mengacungkan jempolnya.
"Ya, sangat bodoh." Nick menganggukkan kepalanya sambil mengedipkan mata pada Cahyono. Bimo menutup mulutnya, menutupi senyum agar tak terlihat olehku. Sialan, semua.
"Ehm! Kapten, serahkan dua benda itu pada Tuan Ali dan Cahyono, sisanya kau pakai sendiri."
"Lalu anda bagaimana, Tuan Yodha? Profesor dan Tuan Bimo juga."
"Sepertinya duyung itu tidak akan bernyayi di tempat ini, kalian pakai saja untuk berjaga-jaga." sebenarnya aku sendiri tidak yakin, tapi memang duyung yang terlanjur menyerang secara fisik sepertinya tidak akan 'bernyanyi' lagi.
"Ya, betul." Nick menimpali. "Kalau memang seandainya salah satu dari kami terkena pengaruh duyung, sadarkan kami saja."
"Baiklah." Albert memberikan headphone untuk Ali dan Cahyono, dan memakai satu untuk dirinya.
Air pada sisi kolam di dalam goa ini tidak terlalu dalam, tapi di bagian tengah dan mulut-mulut goa terlihat cukup dalam, cahaya dari mulut salah satu goa dan senter kepala kami tidak mampu menembus dasarnya meski airnya jernih.
Aku berjalan terdepan, jalan yang sulit karena hanya deretan batu karang sempit yang menyembul dari permukaan air. Kadang aku harus menenggelamkan kaki di bagian yang dangkal karena tidak ada pijakan.
Tak berapa lama kami sampai di salah satu mulut goa, celanaku kembali basah, tapi masih untung hanya sampai lutut, Cahyono basah hingga sampai ke pinggang.
Mulut goa ini sangat lebar, dan air yang masuk ke dalamnya tenang dan dalam, aku berjalan masuk melalui sisi-sisi pada dinding yang masih bisa kami lewati. Hingga kami tiba di tempat penuh dengan bebatuan.
Perlahan cahaya dari senter kepalaku menyapu sebuah benda panjang, sebuah bangkai kapal kayu tua tergeletak di bebatuan. Kapal yang tidak terlalu besar, tapi juga tidak kecil. Sedikit lebih kecil dari kapal yang kami tumpangi sampai kesini.
"Bagaimana benda itu bisa sampai kemari?" Bimo maju mendekat ke kapal.
"Mungkin saat air pasang, benda itu masuk ke sini. Tapi masuk bersama manusia atau tidak, aku tidak tahu."
"Kapal itu!" Ali menujuk pada kapal, "pecahan dari kapal itu yang ku gunakan."
Aku mendekat ke bangkai kapal, "Ini sudah tidak bisa dipakai, bahkan mengambang pun tidak. Menggunakan kayu dari badannya sangat beresiko tenggelam."
"Hei, Junior." Nick menatap ke seberang tempat di dalam goa, "sepertinya kita berada di tempat yang lapang. Lihat! Sangat gelap, hingga cahaya senter kepala ini tidak menyentuh dinding."
Benar juga, dari tadi aku tidak memperhatikannya. Bahkan di tempat aku berdiri sekarang bukan lagi bebatuan, tapi seperti lantai dari batu karang yang sangat lebar. Dan dinding goa ini tidak terlihat melalui senter kepala kami.
"Aku punya ide, Yod." Bimo berjongkok diantara pecahan kapal, mengusap-usapkan jarinya lalu menunjukan padaku, "lihat apa yang ku temukan."
Aku melihat apa yang dia temukan, semoga sesuatu yang berguna, Bimo biasanya menunjukan hal yang tidak berguna. Aku mendapati genangan-genangan benda cair berwarna kuning mengkilat di sekitar kapal.
Aku menyentuhnya dan mencium aromanya, "Ini minyak, minyak ikan paus dari jaman dulu saat orang-orang masih belum menemukan minyak bumi."
"Betul. Lihat! Minyak ini juga banyak menempel di dinding-dinding di dalam badan kapal. Ini alasan kenapa saat air pasang minyak ini tidak hilang, meski air naik, minyak tertahan pada langit-langit bangkai kapal. Dan saat air turun, benda ini turun melalui dinding lambung kapal secara perlahan, jadi tidak terbawa arus air surut." Bimo menjelaskan dengan wajah tersenyum dan menunjuk-nunjuk pada dinding di dalam lambung kapal yang pecah. Aku sedikit terkesima dengan analisisnya.
"Wah, ternyata kau pintar, Bemo. Hahaha. Kita bisa membuat obor dengan itu, kan?"
"Betul, Prof. Mungkin kita harus mengorbankan beberapa pakaian kita untuk membuatnya."
Kami lalu membuat obor dengan kain yang direndam minyak kemudian dililitkan pada kayu dari pecahan kapal. Aku mengorbankan dua kaos kaki ku untuk membuatnya, meski sebelumnya harus kuperas sekuat tenaga karena basah.
Kami membuat empat obor besar dan menyalakannya hampir bersamaan. Saat semua obor menyala dan menerangi tempat ini, kami melihat sesuatu yang menakjubkan.
Ternyata tempat kami berdiri adalah lantai batu yang sangat luas, sedikit jauh di depan kami terdapat beberapa kapal-kapal yang cukup besar, berjajar dengan kayu-kayu penyangga yang menyilang di bawahnya, kapal-kapal itu saling berhimpitan seperti sengaja ditata.