Pria itu menatap kami, kumis dan jenggotnya berwarna kelabu menutupi senyumnya yang mengembang.
"Paman Surya?"
"Jalu." Paman Surya mendatangiku dan memelukku. "Kau agak kurusan sekarang, ya."
Paman Surya adalah suami Bibi May, ayah Kinanti. Dia berwajah keras, sama seperti sifatnya yang memang sedikit kaku, setidaknya dia pernah memarahiku waktu aku kecil karena mengajak Kinanti membaca catatan-catatan ayahku tentang makhluk mitos. Namun aku tahu dia tidak membenciku dan menganggapku seperti puteranya sendiri, dia hanya tidak menyukai tentang mitos, seorang yang memandang segalanya dengan logis.
Setelah mengenalkan paman dengan Bimo dan sedikit basa-basi, kami semua menikmati makan malam yang dibawa Bibi May. Saat itu aku ingin segera menanyakan tentang benda yang ku cari, namun aku sedikit ragu karena baru hari pertama kami sampai, kami tidak ingin mereka menganggap kami hanya datang untuk itu, terutama pada Paman Surya. Dia pun sama sekali tidak menyinggung tentang benda itu. Tidak banyak yang bisa diceritakan pada malam pertamaku, kami hanya mengobrol biasa sebelum mereka semua pulang ke rumah sendiri meninggalkan aku dan Bimo.
Sebelum tidur, aku ditelepon oleh Nick. Dia membicarakan tentang keberangkatan ke China dan sedikit terkejut saat mengetahui aku berada di rumah kakek. Aku hanya bilang akan singgah sebentar saja dan berusaha secepatnya ke sana. Nick menutup teleponnya setelah sebelumnya mewanti-wanti agar tidak menunda-nunda untuk berangkat ke negara tirai bambu itu.
Aku duduk sendiri di teras rumah kakek, menikmati suasana malam yang hening, jauh dari kebisingan. Gelap, rembulan tiada menampakkan dirinya. Sunyi, hanya suara binatang-binatang malam yang seolah menunjukkan keberadaannya. Halaman rumah kakek yang luas, ditumbuhi rumput-rumput pendek dan rapi, jelas sekali kalau paman dan bibi merawat rumah ini dengan baik. Tanaman pendek -entah apa namanya-, mengelilingi rumah, seperti semak sebagai pembatas halaman rumah dengan jalanan yang gelap dan sepi. Sepertinya desa ini ikut terlelap bersama istirahatnya sang mentari, begitu senja, tak ada satupun manusia yang keluar.
Srug srug...
Aku mendengar suara samar-samar dari kegelapan di halaman, berjarak sekitar lima meter di semak-semak tepat di depanku. Suara sesuatu yang mengais-ngais tanah.
Srug srug srug...
Suara itu semakin jelas karena kesunyian malam. Semak-semak dari tanaman pendek setinggi pinggang orang dewasa sebagai pagar rumah. Aku berdiri, dan suara itu berhenti. Mungkin itu hanya kucing atau anjing, tapi aku tidak melihat anjing seekorpun tadi siang.
Krosak krosak!
Aku sedikit terkejut karena suara itu seperti sesuatu yang berlari menerobos semak-semak dengan cepat. Terlalu cepat untuk seekor anjing atau kucing karena suaranya berpindah dari semak di depanku ke semak yang ada di samping kiri rumah hanya dalam beberapa detik.
Aku berjalan ke sisi rumah yang gelap, mendekati berakhirnya suara tadi. Memasang mata dan telinga baik-baik, namun tidak ada apapun yang kutangkap dengan kedua inderaku. Lampu kecil di teras terlalu remang, sinarnya tidak mampu menerpa sisi rumah yang gelap.
Kini tanaman pagar itu hanya berjarak satu meter di depanku, tidak terlihat apapun selain siluet dari semak itu sendiri. Aku yakin 'sesuatu' itu bergerak dan berakhir di sini.
Tiba-tiba aku merasakan cengkraman di pergelangan kaki kananku, dibarengi dengan suara lengkingan pendek. Secara reflek, aku memutar badan dan menendang dengan kaki kiriku.
Bug!
"Aduh!"
Kulihat Bimo yang terjengkang dan mengusap-usap lengannya. Tendangan memutarku tadi mengenainya.
"Bimo, apa-apaan sih-kau itu?"
"Aku berniat menggodamu, tak kusangka akan mendapatkan tendangan maut darimu. Kau sedang mencari apa, sih?"
"Huh," aku mendengus kesal pada Bimo dan kembali memperhatikan semak-semak tadi, "tadi kau tidak berlarian di halaman, kan?"
"Hah? Apa maksudmu?" Bimo kembali berdiri.
Aku hanya bercanda, tentu saja, mana mungkin Bimo berlarian melewati tumbuh-tumbuhan pendek ini.
"Ayo masuk, Bimo. Sudah malam dan terlalu gelap di luar."
Aku dan Bimo masuk ke dalam rumah dan dia terus menanyakan sebenarnya apa yang aku lihat, tapi dia langsung terdiam saat aku bilang, "mungkin itu 'tuyul', Bimo."
"Yang benar saja, tidak ada tuyul, yang ada goblin, Yod."
...
Pagi belum juga beranjak siang, matahari baru sebentar meluncur melintasi garis perjalanannya namun Kinan sudah berdiri di dalam rumah, menunggu aku dan Bimo yang sedang sarapan dengan tidak sabar. Dia mengenakan kemeja lengan panjang berwarna marun bermotif kotak yang lengannya disingsingkan sampai ke siku dan bercelana jeans panjang.
"Ayo, cepatlah, Luk!"
"Kau buru-buru sekali. Jangankan duduk, bahkan kau tidak menaruh ranselmu yang terlihat gemuk itu dari pundakmu." dengan santai aku menyuapkan telur ke mulutku.
"Ayolah, Yodha! Kasihan Kinanti menunggu kita." beda denganku, Bimo dengan terburu-buru menghabiskan makanannya.
Kami sudah merencanakan untuk pergi ke gunung yang ditunjuk oleh Kinanti kemarin, aku penasaran makhluk apa yang menurut Kinanti - dan kata dia menurut orang-orang juga - bersembunyi di sana.
Kinanti balik badan lalu berjalan menuju pintu depan, sekilas kulihat sebuah topi koboi tergantung di ranselnya.
Bimo meminum air putih dalam gelas di depannya, mengelap mulut, lalu keluar menghampiri Kinanti di depan rumah. Aku masih dengan santai menghabiskan sarapan saat sayup-sayup terdengar percakapan mereka.
Belum selesai aku menghabiskan sarapanku, Nick menghubungiku. Dia bilang bahwa sore nanti akan terbang ke Cina dan menyuruh untuk segera menyusul. Aku berkata akan segera menyusul setelah menyelesaikan urusan dan sedikit 'pertolongan' pada sepupu.
Aku lalu bercerita tentang adanya makhluk misterius yang diceritakan oleh Kinanti dan sesuatu yang ku alami semalam. Nick diam tanpa memotong perkataanku saat aku bercerita, sepertinya dia tertarik dan mendengarkan dengan seksama.
Kinanti berteriak dengan tidak sabar waktu aku masih berbicara dengan Nick melalui telepon, kepalanya menyembul melalui pintu depan dengan ekspresi wajah kesal. Akupun mengakhiri pembicaraan dengan Nick dan sekali lagi dia mengingatkan agar jangan berlama-lama. Huh, belum juga aku menghabiskan sarapanku, aku sudah diburu-buru oleh dua orang.
"Yod, ayo cepat!"
Dan - tambah satu lagi.
...
Sudah beberapa jam kami bertiga berjalan menaiki gunung kecil yang entah apa namanya, menyusuri jalan setapak kecil diantara tingginya pohon-pohon besar. Kabut tipis melayang, menyelimuti rimbun pepohonan. Rumput dan semak terlihat basah oleh embun karena dinginnya udara. Kinanti berjalan dengan semangat di depan kami, jalan yang menanjak tidak menguras tenaganya sedikit pun.
"Kinan, sebenarnya kau mau mengajakku kemana?" tanyaku.
"Ikuti aku saja, Luk! Dan kau akan menemukan 'mereka'."
Kinanti berkata seolah dia sudah paham betul dengan makhluk ini, aku curiga kalau ternyata dia sudah menemukan sesuatu di hutan di gunung ini. Aku ingin bercerita tentang apa yang ku lihat semalam padanya, tapi aku mengurungkan niatku.
"Sepertinya kau paham betul dengan makhluk itu, kurasa tidak hanya sekali kau datang kesini dan menemukan sesuatu."
"Menurutmu?" Kinanti menoleh dan tersenyum sambil menaikkan topi koboinya dengan telunjuk dan menaikkan alisnya, luar biasa, dia sepintas mirip Nick dalam tubuh wanita. "Harusnya kan kamu yang paham tentang makhluk seperti itu."
Aku hanya mengangkat bahu dan terus berjalan. Ku lihat jam di layar ponselku, ini sudah hampir tengah hari dan tidak ada sinyal disini.
"Apa kita akan menuju puncak gunung?" kata Bimo. "Sepertinya pemandangan dari sana akan terlihat menarik, bayangkan - kita dapat melihat matahari terbit atau tenggelam."
"Sayang sekali, Bimo. Kita tidak akan ke puncak gunung, setelah jalan menanjak ini kita akan sampai ke tempat tujuan kita." jawab Kinanti tanpa menoleh ke belakang. "tapi tenang saja, pemandangan di sana tidak kalah bagus."
Jalan setapak sempit yang kami lewati kini tidak lagi menanjak. Jalan yang hanya seperti rute untuk orang mendaki gunung, berupa tanah tak berumput ini kini benar-benar datar dan lurus kedepan hingga beberapa puluh meter.
Tiba-tiba Kinanti berbelok, berjalan ke arah pepohonan yang tumbuh rapat dan sepertinya tidak ada jalan, hanya pohon dan rimbunan semak.
"Kau mau kemana, Kinan?" aku menghentikan langkahku.
"Jangan-jangan, kau mau..." Bimo memberi tanda dengan gerakan seolah akan menurunkan celana. Aku tahu, maksudnya adalah ingin buang air kecil.
Kinanti berbalik dan melihat kami, "jangan berpikir macam-macam! Ikuti saja aku!"
Dia mengambil golok dari dalam tas lalu mengayunkannya menebas semak dan ranting, sedangkan aku dan Bimo mengikuti dari belakang. Ku lihat sepintas ekspresi wajah Bimo yang heran saat melihat Kinanti dengan goloknya, kalau aku sih sudah tidak heran lagi.
"Kau benar-benar naksir dengan wanita seperti itu, Bimo?"
"Hah?" Bimo seperti bingung dengan pertanyaanku, "dia wanita yang unik."
Bimo berjalan cepat menghampiri Kinanti dan berusaha merebut golok, namun tidak diberikan olehnya, katanya hanya dia yang tahu jalan. Aku ingin tertawa melihat rayuan Bimo ditolak mentah-mentah.
Setelah agak jauh kami menerobos semak-semak dan pepohonan, kini di depan kami terdapat tempat yang luas dan lapang. Sebuah padang rumput setinggi lutut hampir seluas lapangan bola dan dikelilingi pohon-pohon yang rapat. Ditengahnya terdapat sebuah rumah yang cukup besar terbuat dari batu dan kayu, tempat ini benar-benar tersembunyi di tengah hutan di sekitar gunung. Aku heran bagaimana Kinan bisa menemukannya, dan siapa yang mau membangun rumah di sini.
"Tempat apa itu?" kata Bimo dengan heran.
Kinanti membalikkan badan dan menatap Bimo sambil menyeringai , "rumah penyihir."
...